Sebut nama Negara ini sekali saja, maka seluruh dunia pasti mengenalnya. Sumber daya alam yang melimpah dan keindahan alam yang tiada tandingan selalu menjadi decak kagum Negara lain. Hamparan hutan yang menghijau menyejukkan mata menjadi penghasil nafas untuk umat manusia. Tapi semuanya secara cepat berubah dengan hadirnya era perindustrian. Manusia-manusia di Negara ini dengan cepat menyulap pohon-pohon tinggi menjadi gedung-gedung pencakar langit. Perusahaan-perusahaan besar berupaya mengeruk segala bahan tambang yang tak ternilai harganya, layaknya penjajah yang tengah mengeksploitasi.
“Kapten jack, 30 detik lagi.” Pilot memberitahuku lewat radio.
Aku segera mengecek perlengkapanku, senapan serbu dengan akurasi terbaik, rompi anti peluru dengan beberapa magasen terselip dan tas yang berisi peralatan militer. Salah kalau ada yang mengira aku sedang melakukan operasi kemanusiaan atau pun di tengan peperangan. Perusahaan-perusahaan besar yang tengah mengeruk bahan tambang itu pastinya membutuhkan tentara-tentara bayaran untuk mengamankan tempat pertambangannya. Medan hutan yang tak mereka kenali serta serangan-serangan suku pedalaman yang kerap membuat kerusakan pada fasilitas tambang. Tapi aku tak mempermasalahkan itu karena bayarannya cukup menggiurkan.
Helicopter terus melintas jauh ke dalam hutan, medan yang terjal dan pohon-pohon tinggi tak menjadi halangan lagi. Sudah berapa ribu pohon yang mereka tebas untuk membuat jalan masuk saja, bahkan tak sedikit juga yang dibakar habis. Mereka sepertinya ingin mengubah hutan ini menjadi komplek pertambangan, wajar saja kalau mereka mendapat perlawanan sengit dari suku setempat.
Aku mendarat tepat di kantor utama dari pertambangan ini. Letaknya cukup strategis, disini aku bisa melihat hampir semua kegiatan pertambangan, sehingga mudah untuk mengawasi.
“Selamat datang kapten Jack, kepala tambang sudah menunggu anda di dalam” Ujar seseorang yang memakai pakaian tambang lengkap.
Usai membalas jabat tangannya aku pun mengikutinya masuk ke dalam gedung.Mandor yang tadi mengantarku pun mempersilahkan masuk dan bergegas pergi meninggalkanku. Aku perlahan masuk ke ruangan itu, kusambut sebuah kursi di depan meja kepala tambang dan bergegas duduk dengan santai. Kepala tambang itu sedang sibuk menandatangani berlembar-lembar kertas, entah apa isinya yang pasti bukan surat perjanjian damai dengan suku-suku yang akan kuhadapi nanti.
“Maaf membuat anda menunggu kapten.” Ujar kepala tambang sambil merapikan berkas-berkasnya.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Sebelumnya perkenalkan nama saya Heri, saya kepala tambang di perusahaan yang menyewa anda.” Seraya dia mengulurkan tangannya.
“Jack”
“Baiklah kapten Jack, mungkin aku jelaskan dulu situasinya” Ujar Heri bergegas bangkit dari duduknya dan menyambar peta yang terpampang di dinding belakangnya.
Sekejap sudah terbujur peta yang menggambarkan hutan ini, pertambangan dan beberapa titik yang sering terjadi penyerangan. Tanpa harus dijelaskan situasinya pun aku sudah mengerti hanya sekedar melihat peta ini.
“Anda adalah tentara bayaran paling terkenal, memiliki tingkat keberhasilan 100% bahkan pada misi-misi tersulit sekalipun. Tapi kali ini kami membayar mahal anda untuk melatih pekerja kami dan mempersiapkannya untuk sebuah penyerangan” Ujar Heri mulai serius.
“Apa? Melatih pekerja anda?” Jawabku dengan sedikit terkejut.
“Tidak kapten, kami butub sebuah pasukan. Anda jangan khawatir, segala peralatannya telah kami siapkan. Kita pasti menang dengan senjata api” Heri menjawab dengan percaya diri.
Ini bukan masalah persenjataan, tapi ini masalah kesiapan dalam berperang. Suku-suku itu pastinya adalah para pejuang tangguh dengan mental pemberani, terlebih lagi mereka pasti lebih menguasai medan. Mental dan penguasan medan adalah hal dasar yang harus dikuasai setiap peperangan.
Ini sangat konyol sekali, pekerja-pekerja ini tak pernah mengenal senjata sebelumnya, bahkan berbaris saja mungkin mereka lupa. Hutan memang medan pertempuran yang lebih banyak menggunakan insting dan perasaan dari pada penglihatan dan logika. Maka kulakukan sebisaku melatih pekerja-pekerja ini hingga beberapa hari kemudian. Tak ada kemajuan yang signifikan, tapi setidaknya mereka sudah bisa menembak lurus kedepan.
“Kapten Jack, siapkan mereka. Kita akan menghadang para suku itu sebelum mencapai pos perbatasan.” Perintah Heri secara mendadak.
“Mereka tak siap pak” Jawabku sambil menggeleng.
“Mereka sudah bisa menggunakan senjata api, tak ada yang perlu ditakutkan, kita pasti menang kapten” Jawab Heri dengan kesal.
Aku sudah mengira kalau orang-orang ini bakal keras kepala. Tanpa menjawabnya aku langsung berdiri di tengah lapangan tembak. Salah seorang pekerja kusuruh mengambil senjatanya.
“Bidikkan senapanmu, lalu tembak aku.” Teriakku pada pekerja itu.
Semua orang langsung tercengang mendengarnya, terlebih pekerja yang kuteriaki dia langsung pucat karena kaget.
“Tembak aku, atau kutembak kau.” Teriakku sambil membidikkan pistolku padanya.
Dia tetap terdiam pucat sambil memeluk senapannya, menggelengkan kepalanya tanda tak mau melakukannya. Sebuah tembakan kulepaskan dan mengenai tanah di sampingnya. Dia mulai gugup dan membidikkan senapannya padaku dengan tangan gemetar. Tembakan kedua kulepaskan dan mengenai tanah lebih dekat dengan kakinya. Sialnya amunisinya habis dan berusaha mengisinya sebelum tembakan ketigaku meluncur. Aku berjalan mendekati Heri, membiarkan pekerja itu yang masih berusaha memasang magasen, padahal hal itu sudah sering mereka lakukan berkali-kali.
“Mereka belum siap.” Bisikku pada Heri sambil berjalan mengambil peralatanku.
Sore itu juga kami berangkat menuju lokasi pencegatan. Kami ada sekitar 30 orang pekerja yang dibekali persenjataan lengkap. Agar penyisiran jadi lebih luas maka kubagi menjadi 5 kelompok yang menyisir segaris. Entah perintah ini berdasarkan apa, tapi situasinya sangat tak baik. Gerimis turun dengan lebat, membuat kabut tipis pun mulai menyelimuti hutan. Kabut ini pasti adalah strategi suku-suku itu untuk menyergap kami. Aku sudah memberi peringatan Heri mengenai kabut ini, tapi dia malah memerintahkan kami menyisir lebih dalam, dia amat terobsesi menumpas suku-suku itu.
Kami terus berjalan menyusuri hutan lebih dalam. Kabut yang tebal pun menyambut kami, bahkan aku tak bisa memantau kelompok lainnya. Hutan menjadi sunyi, suara gerimis yang terdengar membuatku sulit berkonsentrasi pada suara-suara sekitar. Terdengar sebuah teriakan yang tinggi sekali dan nyaring, lalu disusul dengan suara tembakan beruntun. Sepertinya beberapa kelompok tengah diserang, para pekerja disini pun mulai gemetar ketakutan. Aku benar-benar memiliki perasaan buruk mengenai hal ini, segera kuperintahkan mereka untuk mundur.
Baru beberapa langkah sudah terdengar auman harimau yang menuju ke arah kami, spontan kami langsung berlari masuk ke hutan lebih dalam. Kemudian kami disambut dengan hujan ribuan panah yang tak sempat kami sadari. Beberapa pekerja sudah tekapar terkena anak panah, lengan dan kakiku juga tak luput terkena mata panah. Ini benar-benar sebuah penyergapan, kabut ini menutupi keberadaan mereka. Mereka kirimkan harimau agar kami menggunakan senapan, dari suara senapan itulah mereka tahu posisi kami dan melepaskan hujan panah. Kepalaku mulai berkunang-kunang, aku tersandung dan akhirnya terjatuh ke sungai, semuanya terasa gelap.
Perlahan-lahan mulai terang saat seberkas cahaya matahari mengenai wajahku. Aku kini tengah berada di sebuah tenda yang beratapkan jerami dan daun-daunan. Di sampingku ada seorang wanita tengah membuat sesuatu dalam mangkuk yang terbuat dari batok kelapa. Kulihat luka di lengan dan kakiku seperti dibubuhi semacam dedaunan. Pikiranku pun mulai berjalan normal dan menyadari bahwa mungkin aku telah ditolong oleh gadis ini sewaktu aku hanyut di sungai.
“Minumlah obat ini.” Ujar wanita itu seraya membantuku untuk bangun.
“Maaf, apa yang terjadi padaku?” Ujarku sambil diiringi bahasa isyarat, buat jaga-jaga kalau dia tak paham bahasaku.
“Aku menemukanmu terhanyut di sungai, kulihat kau luka cukup parah sehingga kami membawamu kemari” Jawabnya dengan lancar.
“Kamu mengerti dan bisa bahasaku?” Tanyaku keheranan.
“Tentu saja, tapi mungkin hanya aku di suku ini yang sedikit mengerti bahasamu.” Jawabnya dengan senyum lagi.
Tiba-tiba masuk seorang laki-laki tua yang memakai banyak aksesoris seperti kepala suku, dan mungkin saja dia lah kepala sukunya. Di sampingnya dikawal dua pemuda berbadan kekar dan besar, wajahnya pun nampak sangar dengan sebilah pedang ditangannya. Kepala suku itu sedikit bercakap-cakap dengan wanita itu dengan bahasa mereka.
“Namamu siapa? Dan dari mana asalmu? Dan apa yang terjadi padamu?” Tanya wanita itu padaku.
Jika kujawab kalau aku adalah tentara bayaran perusahaan tambang itu, maka aku mungkin akan dibakar hidup-hidup oleh mereka.
“Namaku Jack, aku adalah pendaki gunung yang tersesat. Saat aku mencari jalan pulang tiba-tiba aku diserang oleh suku sekitar, lalu aku lari dan menyelamatkan diri dengan terjun ke sungai.” Jawabku dengan tenang.
Lalu wanita itu menjelaskannya ke kepala suku dengan bahasa mereka. Kepala suku itu manggut-manggut, sepertinya mereka percaya.
“Kalau boleh aku ingin mempelajari kehidupan suku kalian dan teknik berburu dan berperang suku kalian. Aku sangat ingin mendapat mengalaman itu.” Tambahku.
Wanita itu pun menterjemahkannya dan sepertinya kepala suku itu agak terkejut. Dia termenung cukup lama lalu akhirnya mulai menjawabnya dan langsung pergi meninggalkan kami.
“Mulai besok kamu bisa mengikuti segala aktivitas kami.” Jawab wanita itu dengan senyum.
Mulai saat itu petualangan baruku dimulai, Hari berganti hari, aku belajar mengenal hutan, menyatu dengan unsur kehidupannya. Aku bisa merasakan hutan ini seperti terhubung secara luas. Dalam kesunyian hutan suara sekecil apapun, sejauh apapun dapat kurasakan. Berhari-hari aku melatih instingku untuk menyadari keberadaan target.
Minggu berganti minggu, aku mulai belajar menggunakan senjata-senjata mereka yaitu pedang, tombak dan panah. Aku belajar menombak ikan, mendengarkan aliran sungai dan merasakan pergerakan ikan. Berburu hewan dan melacak jejaknya, juga menggunakan insting dan bau. Atmosfer yang diciptakan oleh pepohonan ini benar-benar mempertajam indra manusia.
Bulan berganti bulan, aku belum pernah merasakan kehidupan setenang ini. Kesunyian alam ini seakan memberi kehidupan bagi suku ini. Memang benar alam tak mungkin dilawan, tapi bisa kita manfaatkan kalau kita bisa berdamai dengannya. Sayangnya ketika proyek tambang itu mengusik hutan, kehidupan suku ini pun juga terusik.
Ambisi Heri untuk menumpas suku-suku ini pun tak dapat dibendung lagi. Dia mengerahkan hampir 200 pekerja dengan persenjataan lengkap untuk menyisir hutan ini. Sepertinya aku tak bisa tinggal diam, kini aku sadar bahwa tindakan penambangan ini adalah salah, aku harus memperbaiki semuanya.
Malam ini semua kepala suku berkumpul. Disini ada suku yang menguasai barat hutan, mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan hewan-hewan buas. Ada lagi suku bagian timur hutan, mereka ahli memanah dan berburu. Dan yang terakhir adalah suku ini, menguasai bagian utara hutan, ahli dalam memainkan pedang dan pertempuran jarak dekat. Malam itu juga kami menyusun strategi untuk menghadang serangan esok pagi.
Maka hari penyerangan pun tiba, ratusan pekerja nampak bergerak menyisir hutan menuju ke utara. Satu-satunya kesempatan kami adalah menyerang saat mereka melintasi sungai besar. Arus sungai yang cukup deras membuat para pekerja itu kewalahan melintasinya. Lalu dari dalam air muncul puluhan buaya memangsa mereka. Tak cukup sampai disitu, kawanan harimau dan beruang menyerang mereka dari dalam hutan, serentetan tembakan menyalak disertai jeritan mereka yang terkena terkam. Kini mereka terjepit antara sungai dan hutan, Saat itulah kuberi aba-aba untuk meluncurkan hujan panah, ratusan panah melesat dan mendarat menghantam apapun yang ada di depannya. Binatang-binatang buas itu hanyalah penggiring agar para pekerja berkumpul di suatu area sempit, saat itulah hujan panah akan sangat ampuh membasmi mereka.
Aku memimpin sepasukan kesatria pedang menghampiri pasukan pekerja yang tengah terluka dan sekarat itu. Heri sendiri tak dapat lari karena kakinya tertembus tiga anak panah.
“Kapten Jack? Kaukah itu? mengapa kau bersama mereka?” Ujar Heri terkejut saat melihatku.
“Kuberi kau satu kesempatan untuk membereskan tambangmu pergi dari hutan ini. Kalau tidak kami yang akan membereskannya” Jawabku sambil mengacungkan pedangku ke mukanya.
Dia pun menyetujuinya dan bergegas pergi bersama sisa-sisa pasukannya, membereskan semuanya dan enyah dari hutan ini selamanya. Mungkin memang alam sengaja menempatkan tambang-tambang berharga itu jauh ke dalam hutan agar tak terjamah manusia-manusia rakus, dan alam juga menempatkan suku-suku ini untuk menjadi penjaga hutan ini. Suku-suku inilah yang akan menjadi barikade penghadang mesin-mesin yang berniat meratakan hutan ini. Memang benar alam tak mungkin dilawan, tapi bisa kita manfaatkan dengan cara berdamai dengannya, saat kita melawan alam maka selanjutnya dia akan membinasakan kita.