Terkadang aku ingin menyalahkan semesta. Kenapa aku harus terlibat dalam situasi-situasi yang memungkinkan aku berduaan dengan Davi. Beri garis bawah, berduaan! Apa semesta tidak mengerti rasanya luka di dalam dada? Atau semesta meminta senja untuk memberi momen mendebarkan ketika hati Davi sudah dimiliki yang lain? Mereka melihatku tidak sih? Tokoh yang hanya bisa meringis menatap kenyataan yang tak seindah mimpi itu!
Mila datang menemuiku, entah siapa yang memberitahukan perempuan itu jika sore kemarin Davi sibuk mengerjakan tugas bersamaku, juga dengan Adi tentunya.
“Tasya! Aku heran sama kamu. Udah dibilangin jangan deketin Davi, tapi kenyataannya kamu masih ganjen sama dia,” kata Mila sinis, sangat sinis. “Ahh, atau bener ya kata orang-orang, kamu tuh pengganggu hubungang orang!” Mila menunjuk tepat ke wajahku.
Aku menghela nafas. Sesak karena patah hati tak pernah terasa lebih hebat lagi, hingga ucapan menohok Mila tak mempan padaku.
“Aku ngerjain tugas sama Adi juga,” kataku.
“Halah! Gak usah alesan. Ganjen mah ganjen aja, jangan sok-sok suci kamu. Anak beasiswa gak jelas kayak kamu tuh, gak tau diri. Gak tau tempat!” kata Mila lagi dengan tatapan meremehkannya.
Sakit hati? Iya. Sakit hati sekali? Kurasa hubungan Mila dan Davi melebihi apapun yang paling menyakitkan di alam semesta ini.
Kau mungkin tak bisa merasakannya, tapi cinta di masa remaja sepertiku itu terlalu rumit untuk disederhanakan, terlalu sakit untuk dikatakan ‘baik-baik saja’, juga terlalu luar biasa untuk menjadi biasa-biasa saja. Ini kali pertama aku jatuh cinta pada seseorang, dengan berbekal pengetahuan minim cara mendekati gebetan, dengan menjadi si pengagum bisu, aku akan kalah telak dengan Mila yang mendeklarasikan perasaannya dengan jelas pada Davi.
Bahkan ketika aku hebat dalam urusan cinta-cintaan, aku akan tetap kalah dari si pemberani yang mau melafalkan cintanya dengan jelas. Cinta itu sesuatu yang kompleks, jika kau tak menjelaskannya dengan rinci, selamanya kau tak akan pernah mengerti.
“Aduh! Ratu, kamu berisik ya!” Entah darimana Prisil sudah berada di belakangku.
“Kamu lagi, kamu lagi,” kata Mila.
“Tau gak apa yang paling mengerikan soal Davi?” tanya Prisil. “Dia punya pacar yang terlalu mengekangnya.”
“Maksud kamu apa?!”
“Maksud aku, kamu tuh pacar yang buruk. Kamu gak percaya sama Davi, kamu juga terlalu mempersempit dunianya, kamu terlalu takut buat kehilangan dia. Yang artinya, kamu tuh gak pernah bisa percaya sama diri kamu sendiri.”
Prisil memegang pundakku. Entah apa maksudnya, padahal yang biasanya mudah mengamuk adalah dirinya.
“Dan yang pasti, Tasya jauh lebih baik dari kamu. Dia selalu percaya diri meskipun ada orang yang merendahkannya,” ujar Prisil. “Heran deh, apa sih yang diliat Davi dari kamu?”
Prisil menampilkan wajahnya yang seperti seorang designer yang tengah memperhatikan hasil karya orang lain dengan raut wajah yang meremehkan. “Semuanya sih, B aja!”
“Anjir apa-apaan sih maneh?!”
Mila berjalan dengan angkuhnya dan menarik baju Prisil dengan kasar. Tapi entah bagaimana, Prisil justru bisa membalikkan keadaan dengan menarik lengan Mila sama kasarnya.
“Aing (aku) peringatin ya! Kamu gangguin Tasya atau ngerendahin dia lagi, aku yang bakal rebut Davi dari kamu!”
Prisil melepas lengan Mila secara kasar. Lalu ia menarik tanganku menjauh dari Mila yang mungkin akan mengamuk tak lama lagi.
“Dasar pengecut!” teriak Mila.
“Hah apa? Kamu cemburu? Cemburu gak ada yang ngebela kamu ya? Jir kasian banget sia!”
Aku tak menoleh ke arah Mila. Malas. Dan entah bagaimana Prisil bisa menemukanku berada di lapangan sekolah yang cukup sepi saat istirahat.
“Makasih, Sil,” kataku.
“Patah hati aja udah bikin kamu kacau, Sya. Terus di tambah si gelo (gila) itu? Cukup Sya, cukup. Aku gak suka liat kamu sedih terus,” jawab Prisil.
Prisil melepas genggaman tangannya di lenganku dan menoleh ke arahku. “Jangan salah paham, serius aku mah gak akan ngambil Davi dari kamu kok.”
“Aku juga percaya kali, Sil.”
“Sebel sih! Dia kurang ajar banget soalnya. Gak bisa di diemin aja, Sya.”
“Iya tau.”
“Tiba-tiba aku pingin nepok jidat Davi terus aku bisikin gini, ‘saha maneh?’ (Siapa kamu?) Terus di jawab gini sama Davi, ‘aing maung’ (Aku macan) gitu. Biar kayak acara paranormal.”
“Hahahaha….” Aku tertawa terbahak-bahak. “Please, Sil. Nonton The Conjuring 2 aja kamu nangis. Apalagi kalau beneran kayak gitu.”
“Hahahaha…. Udah ah, ke kelas yuk!”
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas