Hai....
Bertemu lagi denganku. Kali ini aku ingin mengucapkan terimakasih untuk teman-teman yang setia membaca karya pertamaku ini. Semoga teman-teman semua dapat terhibur dengan cerita cinta tarik ulur abu-abu antara Tasya dan Davi.
Oh iya! Jangan lupa like dan komentarnya ya. Aku akan sangat berterimakasih untuk teman-teman yang mau membantuku dengan memberikan saran dan kritik yang membangun.
Happy Reading
.
.
.
Aku berusaha untuk menghindar dari Davi. Terlebih aku tak ingin mengganggu hubungan mereka berdua, untuk menata hatiku kembali pun pada saat itu susahnya minta ampun. Segala macam cara aku lakukan senormal mungkin agar Davi tidak merasa aneh dengan sikapku ini.
“Tasya sini aku bantu,” kata Davi saat aku akan membawa tugas-tugas yang diperintahkan guru untuk dibawa ke ruang guru.
Persis sebelum Davi sampai ke meja guru, aku sudah mengambil tumpukan buku-buku tersebut, “Gak apa-apa Davi, gampang kok.” Kalian harus tahu, berat rasanya terlihat baik-baik saja di depan tersangka utama yang mematahkan hatimu.
Atau di saat jam istirahat, ketika Davi mencoba membantuku membawa nampan berisi makanan. “Ku bantu,” tawarnya.
Beruntungnya ada Citra dan dengan sengaja ia memberikan nampan yang ia bawa ke arah Davi, “Meja kita di pojok tuh,” kata Citra.
Semua kulakukan asalkan menjauh dari Davi sejauh-jauhnya, menjaga jarak yang cukup aman untuk meredakan rasa nyei di ulu hatiku. Juga menyemangati hidupku kembali, Davi bukanlah satu-satunya alasan untuk aku bahagia, dia hanya segelintir dari ribuan alasan yang kupunya.
~KALA SENJA~
Saat pulang sekolah, suatu hari aku sengaja meminta salah satu temanku untuk membantu mengerjakan tugas Fisika yang akan di kumpulkan keesokan harinya. Namanya Adias, atau biasa dipanggil Adi. Dia termasuk siswa pintar di angkatan kami, dan dia selalu menjadi anak emas guru-guru. Tapi meski begitu, Adi tidak pelit ilmu, ia justru dengan senang hati membantuku yang notabene hanya teman sekelasnya.
“Kalian mau ikut gak?” tanyaku.
“Aku sama Mia capek kemaren abis ekskul. Nyontek aja besok,” jawab Citra.
“Retweet,” kata Mia yang artinya sama dengan ia setuju dengan ucapan Citra.
“Kalau Prisil?”
“Udah beres kok. Tapi gak tau bener atau kagak. Gimana besok aja, aku duluan ya, Sya,” pamit Prisil.
“Oh ya udah deh. Kalian hati-hati ya,” kataku.
Akupun menghampiri meja Adi. Saat itu koridor sekolahku sudah cukup sepi, mungkin beberapa siswa masih berlalu lalang karena ada kegiatan ekskul, juga suara-suara teriakkan penyemangat dari anak cheers.
“Makasih ya, aku jadi ngerepotin,” kataku.
“Gak apa-apa, Sya. Kayak ke siapa aja,” kata Adi. “Aku juga sengaja belum ngerjain, biar sekalian.”
Wajar bila Adi ini menjadi anak emas. Aku lihat catatannya sangat komplit. Setiap pertanyaan yang ia tanyakan pun dicatat olehnya. Pantas saja nilai-nilai dia selalu paling tinggi.
“Jadi kalau kamu kali bagian ini terus dikurangi baru dapat hasilnya,” kata Adi menerangkan salah satu rumus yang tidak kupahami.
“Jadi harus dikali dulu? Gak langsung di kurang?” tanyaku.
“Iya. Kalau kamu langsung kurangi, nanti hasilnya minus. Justru nanti gak sesuai sama teorinya.”
Aku mengangguk paham. “Kamu bagus ngejelasinnya, gampang ngerti,” pujiku.
“Makasih.”
Setelah tiga soal, kami istirahat sejenak. Aku beberapa kali bertanya mengenai Adi, dan aku jadi mengerti kenapa Adias bisa sepintar itu, hobinya belajar, kegiatannya belajar, saat libur pun yang ia lakukan membeli buku pelajaran. Katanya ia bercita-cita ingin menjadi teknisi, ia tidak ingin ikut-ikutan keluarganya yang sebagian besar berprofesi sebagai dokter.
Tak lama dari situ, ada suara pintu yang terbuka. Membuat kami berdua mengalihkan perhatian kami pada pintu tersebut. Aku cukup terkejut melihat Davi muncul dari balik pintu, dengan seragamnya yang sedikit acak-acakan.
“Kalian masih disini?” tanya Davi.
“Iya,” jawab Adi. Sementara aku hanya bisa memandangi kehadirannya yang mendadak ini.
“Ngapain?” tanya Davi yang dengan inisiatif mengambil salah satu kursi dan menempatkannya di hadapanku. Aku pun mengalihkan perhatianku pada catatan milik Adi.
“Kita lagi ngerjain tugas, Dav. Tugas Fisika,” jawab Adi.
“Ada tugas?” tanya Davi.
“Iya, besok kan di kumpulin.”
“Yahh, aku gak tau. Ikutan dong!”
Duh, kenapa sih Davi selalu muncul di saat aku sedang menghindarinya. Apa semesta tidak melihat usahaku untuk menjauh dari pacar orang? Lagipula hatiku belum terbiasa untuk menjadi biasa-biasa saja padanya.
“Boleh, boleh. Aku mau beli minum dulu. Minta Tasya yang ajarin aja ya,” kata Adi yang tanpa persetujuanku sudah melenggang pergi keluar kelas. Meninggalkan aku dan Davi berdua di kelas. Bagaimana jika Mila tahu dan terjadi kesalah pahaman?
“Jadi gimana Tasya?” tanya Davi yang tak kusadari sudah membuka buku catatannya.
“O-oh, jadi gini,” kataku sedikit salah tingkah dan membuka-buka buku catatanku barusan. “K-kalau kamu masih gak ngerti, nanti minta di jelasin lagi aja sama Adi.”
“Aku pasti ngerti kok penjelasan Tasya,” kata Davi yang membuat hatiku seperti diterbangkan keluar angkasa.
Ucapan Davi tanpa ia sadari melambungkanku ke awan dan menghancurkan hatiku yang baru saja dibangun kembali. Iya. Hancur semua. Rata dengan tanah. Pertahananku akhirnya runtuh kembali hanya dengan satu kalimat sederhana.
Mungkin aku ini aneh, masih tetap mencintai Davi dan tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Meskipun kini ia tak lagi sendiri, nyatanya hatiku tak berniat untuk berhenti mencintainya, dalam bisu dan sunyi.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas