Seperti hari-hari biasanya di sekolah, aku menghabiskan waktuku dengan mendengarkan penjelasan guru, juga mengobrol dengan sahabat-sahabatku ketika jam sedang kosong. Kadang kami menertawakan sesuatu yang jelas-jelas tidak ada unsur lucunya, tapi hal sederhana itulah yang membuatku terhibur, juga merasa tidak sendirian di sekolah.
Aku sangat bersyukur memiliki sahabat-sahabat seperti mereka, mereka tak pernah menganggapku sebelah mata atau berbeda dengan mereka, justru aku merasa mereka bisa mengkondisikan sesuai dengan keadaanku yang sederhana ini. Mereka juga mengerti bahwa terkadang ada posisi yang sulit aku jelaskan, dan mereka menghargainya dengan tidak banyak bertanya padaku.
“Jadi, setelah filmnya di puter, aku sama si A Panji duduk paling depan. Walaupun kita ambil yang midnight, gila sih! Banyak banget yang pacaran di bioskop sampe penuh. Nah, itu film horor kan? Wajar dong aku teriak. Tau gak? Aku malah ditegur sama petugas bioskopnya dong! Katanya jangan berisik,” ujar Mia menceritakan kejadian ia ditegur oleh petugas bioskop saat hari Sabtu lalu.
“Hahaha….” Sontak kami bertiga tertawa terbahak-bahak.
“Kata si petugasnya, ‘Teh maaf jangan teriak.’ Sugan aing kudu ceurik kitu nempo jurig?” kata Mia lagi dengan raut wajah kesalnya. ‘Memangnya aku harus nangis kalau liat hantu?’
“Hahaha….” Kami kembali tertawa.
“Yaampun, Ia. Hidupmu konyol banget sih!” komentar Citra yang memegang perutnya karena banyak tertawa.
Aku dan Prisil menyeka air mata kami. “Kenapa sih sampe ditegur? Emang yang lainnya pada kalem?” tanya Prisil.
“Gak tau! Jadi berasa aing yang salah tau gak? Kan wajar dong kalau setannya muncul aku teriak.”
“Iya sih, serius konyol banget. Bodor!” komentarku.
Aku ikut duduk di salah satu kursi yang ada di depan kelas, tepatnya di samping Mia. Sementara Prisil dan Citra sedang bersandar di dinding pembatas yang menghadap langsung ke lapangan sekolah.
“Trus si A Panji gimana?” tanya Citra.
“Si eta kalahkah nyarekan aing,” jawab Mia. ‘Dia malah marah ke aku.’
Mia menggelengkan kepalanya dan aku menepuk pelan pundaknya. “Lain kali kalau nonton setan mending ketawa aja, Ia,” kataku. “Biar gak di marahin lagi.”
“Terus kata si petugasnya, ‘Teteh sehat?’ gitu?” kata Mia sambil beranjak dari duduknya dan menirukan sikap petugas yang menegurnya dulu.
“Si Mia lagi stress kayaknya,” kata Citra. “Ia, Sya. Sini liat anak kelas tiga lagi tanding sepak bola sama anak kelas dua. Terus berantem sama anak cheers gara-gara gangguin mereka latihan.”
Akupun menghampiri dinding dan melihat ke arah lapangan. Memang terjadi sedikit perdebatan, dan kulihat ada Mila di sana. Ia salah satu anggota cheers sekolah kami. Juga ada Davi yang sepertinya sedang melerai.
“Si Mila mah dalang,” komentar Citra.
“Dalang?” kata Prisil heran.
“Dalang kerusuhan. Hahaha….”
“Si Citra bisaan lah,” komentar Mia.
Tak lama keributan itupun menghilang, dan tim cheers sepertinya memenangkan perdebatan itu dan melanjutkan latihan mereka di terik siang hari itu.
“Kok lagi istirahat malah latihan?” tanyaku.
“Mereka katanya mau jadi pembuka acara apa gitu, gak tau,” jawab Citra. “Sya, padahal kamu cocok loh jadi anak cheers?”
“Hah aku?”
“Iya, kamu kan lumayan lincah, Sya,” tambah Mia. “Coba angkat tangan kamu kayak anak cheers trus lompat-lompat.”
Aku mengikuti ucapan Mia, tapi rasanya justru seperti sedang bermain lompat tali. “Kayak main lompat tali ih!” kataku.
“Bukan,” kata Prisil. “Kayak lagi dikejar-kejar katak satu lusin kamu, Sya.”
Sontak lagi-lagi komentar Prisil membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dan Mia justru mengikutiku yang kembali melompat-lompat tidak jelas, membuat keributan diantara kami tidak bisa dilerai sama sekali.
Setelah kami lelah dengan ocehan yang tidak jelas itu. Kami pun kembali memperhatikan anak-anak cheers yang sedang latihan. Ada Davi dan Raka juga beberapa anak laki-laki lain yang tidak aku kenali, mereka semua sedang menonton anak-anak cheers.
Tak lama, Mila menghampiri Davi dan Davi memberikan minuman kepada Mila. Lalu Mia pun duduk di samping Davi, meminta Raka menggeser tempat duduknya yang semula berada di samping Davi.
“Jangan cemburu,” kata Prisil.
“Siapa yang cemburu?” tanyaku.
“Kalau gak cemburu, kenapa liat Davinya seintens itu sih?” goda Prisil.
“Sil, udah deh. Aku balik kelas ahh!”
“Cemburu mah cemburu aja, Sya. Gak usah pura-pura!” teriak Prisil yang terdengar olehku.
“Nggak, Sil!” teriakku balik.
Aku hanya tidak suka dengan pemandangan tadi. Bukan cemburu, lebih tepatnya aku iri pada Mila. Ia bisa dekat dengan Davi, dan aku hanya bisa memandang Davi dari jarak aman. Cemburu dan iri itu beda kan?
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas