Hari pertamaku di kelas dua, dan hari pertama pula aku harus bisa mengendalikan kencangnya degupan jantungku karena berada dekat dengan Davi. Pekan ini masih pekan orientasi siswa kelas satu. Selama seminggu ke depan kami akan dibebas tugaskan dari pelajaran-pelajaran yang membuat kepala kami berkedut karena pusing.
Seperti halnya ritual yang dilakukan ketika berada di kelas baru, wali kelas kami, Bu Tira, meminta orang-orang di kelas untuk saling mengenalkan diri masing-masing. Lalu, setelah itu, Bu Tira meminta para siswa untuk memberikan suara dalam pemilihan ketua kelas.
Tentu saja Davi yang memenangkannya meskipun ia tidak dengan sukarela mencalonkan. Semua orang tahu Davi itu orang yang sangat baik, maka tak mungkin ia diragukan menjadi ketua kelas kami satu tahun ke depan. Dan aku termasuk ke dalam orang yang memilih Davi.
Dengan sedikit malas, Davi berjalan ke depan kelas.
“Nah, Davi, silahkan memberi sambutan,” kata Bu Tira mempersilahkan Davi sedikit mengungkapkan perasaannya karena terpilih menjadi ketua kelas.
“Emm…. Gimana ya? Aku gak pernah ngebayangin jadi ketua kelas sih, tapi mudah-mudahan aku bisa bekerja sebaik mungkin selama setahun ke depan. Makasih temen-temen yang terlalu berinisiatif milih aku,” katanya seakan menyindir orang-orang yang telah memilihnya.
Seluruh ruang kelas tertawa dengan ucapan Davi.
“Sekarang kamu pilih sendiri pengurus yang lain,” kata Bu Tira.
Setelah memilih ketua kelas, biasanya ketua kelaslah yang punya andil untuk memilih beberapa orang sebagai pengurus yang membantunya nanti.
“Saya pilih Raka Bu, jadi wakil ketua kelas,” tunjuk Davi pada Raka.
“Naha urang?” protes Raka. ‘Kenapa aku?’.
“Cepet ah ke sini,” titah Davi.
Raka terlihat sama malasnya ketika berjalan ke depan kelas.
“Kamu sih,” protes Raka.
“Kamu juga milih aku kan?” tebak Davi. “Gak usah protes.”
“Lanjut bendahara,” kata Bu Tira yang tidak mendengar perdebatan kecil ketua dan wakilnya itu.
“Bendahara si Nadin aja,” tunjuk Raka pada perempuan yang duduk di barisan terdepan.
Perempuan bernama Nadin itu sedikit memukul pelan tangan yang di pakai Raka untuk menunjuknya.
“Oh, boleh, boleh.” Davi menyetujui usulan Raka.
Nadin pun akhirnya berdiri di samping Raka.
“Tinggal sekertaris ya,” kata Bu Tira.
“Kalau sekertaris saya pilih Tasya, Bu. Dia dulu sering bolak-balik ruang guru sambil bawa buku-buku, kan?” tebak Davi yang membuatku terbelalak tak percaya.
“Oh iya. Tasya dulu sekertaris di kelas kita, kok.” Mia justru membuat aku semakin sulit untuk menolak.
“Eh tunggu! Tapi aku kan cuma pengganti sekertaris yang dulu,” kataku.
Prisil seperti tidak berpihak padaku. Ia menarikku hingga berdiri dan mendorongku agar keluar dari mejaku. “Udah sana sekalian PDKT,” bisik Prisil yang membuatku menyenggolnya pelan.
Semua orang sedang melihatku sekarang, termasuk Davi yang tersenyum dan mengangguk ketika kami tak sengaja saling bertatapan.
Berada di dekatnya saja, degup jantungku secepat ini. Apalagi jika harus sering berkomunikasi dengannya, dan kini, entah dorongan darimana namun kakiku sedang melangkah ke arahnya.
Setelah hampir sampai di depan kelas. Aku berinisiatif berdiri di samping Nadin yang berada di sebelah kiri Raka, sementara Davi berada di arah sebaliknya dari Raka. Yang penting, menjauh dulu dari Davi.
Tak disangka, sebelum aku benar-benar melangkah, Davi menarikku hingga membuatku mau tak mau berdiri di sampingnya. Mungkin bagi kalian ini hal biasa, tapi jika kalian berada pada posisi sebagai orang dengan perasaan yang lebih, kalian akan tahu bahwa hal kecilpun akan begitu berarti jika disebabkan oleh orang yang kalian kagumi.
Kulihat sejenak Prisil, Mia, dan juga Citra mengulum senyumnya. Membuatku semakin salah tingkah dibuatnya.
“Baiklah. Jadi apa ada yang kurang setuju dengan kepengurusan ini?” tanya Bu Tira.
Akupun melihat sekeliling kelas, berharap ada satu tangan yang terangkat lalu menolak aku sebagai sekertari kelas.
Sayangnya. Nihil! Tidak ada satupun dari mereka, bahkan ketiga sahabatku sejak tadi hanya cengar-cengir tidak jelas. Membuatku mencoba mengalihkan perhatian dari mereka.
“Oke kalau semuanya setuju. Tugas sekertaris dan ketua kelas nanti tolong buat bagan kepengurusan ya? Sisanya kalian tinggal diskusikan dengan kelas mengenai uang kas kelas,” terang Bu Tira.
Dan kami semua mengangguk, meski aku mengangguk dengan berat hati.
Aku tidak tahu apakah hal ini patut aku syukuri atau tidak. Satu sisi, mungkin semesta sedang membantuku agar selangkah lebih dekat dengan Davi, namun di sisi lain, sepertinya butuh perjuangan lebih agar detakkan jantungku biasa-biasa saja jika berada di dekat Davi.
Setelah Bu Tira keluar kelas, hingga jam istirahat kami saling memperkenalkan diri masing-masing. Aku menghampiri meja Nadin setelah jam istirahat tiba.
“Nadin,” panggilku.
“Iya, Tasya.”
“Mau tanya nama lengkap kamu, Bu Tira bilang absensi kelas belum beres dibuat,” ucapku.
“Oh, boleh, boleh. Kamu udah buat bagannya?”
“Ini.” Aku memperlihatkan bagan yang kubuat di atas selembar kertas yang kuminta dari Citra.
Lalu Nadin menuliskan namanya di dalam kotak dengan tulisan ‘Bendahara’ di bagian atasnya.
“Nih.”
“Makasih ya,” kataku. “Oh iya, kamu tau nama lengkap Raka sama Davi?” tanyaku.
Baiklah. Meski mengagumi Davi, tapi aku tidak hapal nama lengkapnya.
“Si Raka mah aku tau, kita sekelas dulu. Sini aku tulisin.” Nadin pun menuliskan nama lengkap Raka persis seperti tadi. “Tapi kalau Davi aku kurang tau. Mereka lagi keluar ya?”
“Iya nih,” jawabku. Atau sebenarnya itu hanya alibiku saja, agar tidak berinteraksi dengan Davi.
Jika dibilang manusia aneh, aku akan setuju jika orang-orang menamaiku dengan sebutan seperti itu. Sebab, mengagumi seseorang membuatku merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Aku selalu deg-degan, bahkan selalu dibayang-bayangi bagaimana jika aku salah tingkah dan orang tersebut justru menjadi tidak suka padaku.
Lebih baik untuk memperhatikannya dari jauh, dan dalam jarak yang aman. Tak perlu banyak-banyak interaksi yang nantinya membuatku semakin menyukainya lebih dan lebih. Jika aku tak berani mengungkapkan perasaanku, maka jangan sampai perasaanku berkembang terlalu jauh.
Sialnya! Nadin tiba-tiba memanggil Davi yang tak kusadari jika ia sudah kembali ke kelas.
“Apa?” tanya Davi begitu ada di sampingku.
Aku tak sedikitpun menoleh ke arahnya. Aku lebih menfokuskan diri untuk meredakan degupan jantungku.
“Nama panjang kamu apa? Tasya lagi bikin bagan nih,” kata Nadin.
“Oh udah, Sya. Mana sini aku tulis,” kata Davi.
Aku menggeser kertas itu ke arah Davi. “Ini,” kataku.
Aku memperhatikan Davi yang sedang menulis namanya, sementara tangannya yang lain sedang memegang sekotak kopi dingin.
“Davi Akbar Kavindra,” kata Davi seperti mengeja namanya sendiri. “Ini.” Ia memberikan lembar kertas itu padaku, tak lupa dengan senyuman khasnya.
Ini mungkin hanya dugaanku, tapi senyuman Davi seperti menghipnotis orang-orang yang melihatnya untuk ikut tersenyum pula. Dan itu sedang terjadi padaku.
“Makasih,” kataku. Makasih, untuk senyuman yang membuat jantungku kembali berdegup kencang, Dav.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas