Hari kedua acara pensi. Di hari ini, khusus untuk anak-anak kelas tigalah yang akan mengisi rangkaian acara pensi di hari kedua ini. Kudengar beberapa siswa dari kelas satu dan dua ada juga yang akan mengisi acaranya.
“Kak Edgar katanya tampil lagi,” kata Prisil yang duduk di sampingku.
“Lagi?” tanya Mia.
“Yee! Gak denger kemaren anak-anak kelas satu sama kelas dua fans beratnya Kak Edgar teriak-teriak ngomongin itu?” ujar Citra.
“Lah aku mana peduli soal begituan, Cit!” protes Mia.
“Udah deh, masa lagi nonton aja kalian masih ribut,” kataku.
“Masih pagi ini teh!” tambah Prisil.
Meski masih jam delapan pagi, aku dan ketiga sahabatku ini sudah duduk di kursi penonton. Acara di mulai 15 menit lagi, dan sepertinya kami berempat begitu antusias melihat acara di hari kedua.
“Emangnya anak dekor gak kerja, Sya?” tanya Citra yang sepertinya heran melihatku sesantai ini.
“Nanti kita mah sore menjelang malam, di bantuin sama anak logistik,” jawabku.
“Masangin lampion itu?” tanya Prisil dan kubalas dengan anggukan.
“Enak ya, sekolah di hari Sabtu, gak belajar, sampe malem lagi. Malam mingguan di sekolah ini mah namanya,” ujar Mia.
“Yang punya pacar sih enak bisa lama-lama sama pacarnya,” tutur Citra yang sebenarnya menyindir Mia itu.
“Saha nu bobogohan ih!” protes Mia. ‘Siapa yang pacaran ih?’
Membuat aku dan Prisil tertawa melihat Mia yang salah tingkah seperti itu. Mia yang biasanya menjadi stand up comedy diantara kami, yang tak pernah sekali pun mendengarnya menceritakan laki-laki yang disukainya, kini sedikit demi sedikit ia membuka hatinya untuk orang yang terduga, Raka maksudnya. Yang pintar bergurau itu. Sudahlah, menurutku mereka cocok, apalagi yang ditunggu-tunggu?
Tak jauh dari tempat kami duduk. Intan dan Dewi melambaikan tangannya padaku. Mereka duduk cukup jauh dari tempatku, namun karena lapangan masih sepi, aku masih bisa melihat mereka dengan jelas.
“Tasya kita mulai kerjanya kapan ya?” tanya Intan.
“Nanti aja pas jam empat, Tan,” jawabku. “Lampionnya tinggal di pasang. Buat api unggun juga udah ada kok di Ruang Osis.”
“Oh oke deh!”
“Selamat menikmati penampilan Kak Edgar lagi ya, Sya! Jangan baper,” tambah Dewi yang membuatku terkejut.
Dan membuat Citra dan Mia seakan mendapatkan bahan bully-an padaku.
~KALA SENJA~
Acara pensi di hari kedua itu lebih menyenangkan dibanding kemarin. Secara mengejutkan ternyata beberapa guru-guru laki-laki membuat sebuah band dan menyanyikan lagu-lagu lawas. Yang entah kenapa membuatku tertarik dan menjadi ladang kehebohan sendiri bagi para siswa yang menontonnya.
Stan-stan makanan pun masih berjajar rapi, beberapa kali aku menikmati makanan-makanan yang ada di sana. Dan kini aku sedang menyeruput Ice Lemon-ku.
“Tasya!” Davi memanggilku tiba-tiba. Entah darimana kedatangannya hingga membuatku benar-benar terkejut, terlebih ia memegang lenganku.
Hampir saja aliran darahku berhenti mendadak.
“I-iya Davi?” balasku senormal mungkin.
Ini kali pertama, semenjak kejadian malam itu, Davi maupun aku saling memanggil nama satu sama lain seperti biasanya.
“Kamu sampai kapan di sekolah?” tanya Davi.
Oh! Aku lupa jika Davi anggota logistik.
“Sampai malam sih, Dav. Ada apa? Kamu gak bisa bantuin nata lampion?” tebakku.
“Oh, nggak.”
Aku mengangguk. Pertanyaanku seperti tidak terwakilkan semua oleh jawaban singkat dari Davi. Membuat keramaian di sekeliling kami dikalahkan oleh rasa canggung yang meruak di sekitarku.
“Tasya! Ayo nonton lagi, bentar lagi Kak Edgar tampil tuh,” panggil Mia.
“Iya tunggu! Davi, aku duluan ya,” kataku buru-buru menjauh dari hadapan Davi.
Aku menghampiri Mia yang baru saja berbincang dengan Raka, ia sudah membawa beberapa kantong plastik berisi makanan yang dipesan Prisil dan Citra.
“Si Davi kenapa?” tanya Mia.
“Cuma nanyain dekor lampion ntar sore,” jawabku asal.
“Oh,”
Begitu aku kembali, lapangan sekolah sudah dipenuhi oleh orang-orang yang sebagian besar berasal dari kaum hawa. Yang kutebak mereka pasti menunggu penampilan Kak Edgar.
“Seterkenal itu ya calonmu, Sya,” komentar Mia.
“Calon apaan sih, Ia,” protesku.
Tapi dibanding kemarin, hari ini sepertinya penggemar Kak Edgar semakin banyak saja. Aku bahkan harus menepi untuk bisa menonton pertunjukan Kak Edgar. Prisil dan Citra pun sudah duduk di pinggir lapangan, mungkin agar tidak menghalangi penggemar Kak Edgar garis keras itu.
“Nih!” kataku memberikan kantong plastik berisi pesanan Prisil dan Citra.
“Padahal kemaren gak serame sekarang,” komentar Citra.
“Karena anak kelas satu sama kelas dua sekarang jadi penonton,” kata Prisil menanggapi.
“Dibandingkan Davi, Kak Edgar seterkenal itu ya,” kata Citra lagi. “Tuh, Sya! Sikat sana.”
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
Tak lama, penampilan Kak Edgar dan teman-teman satu band-nya itu pun muncul. Tentu saja teriakan anak-anak perempuan yang memanggil nama Kak Edgar mendominasi saat itu.
Kak Edgar menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris yang tidak kutahu judulnya, namun suasananya berubah menjadi sendu dan orang-orang yang tadi meneriaki nama Kak Edgar tak lagi terdengar namun justru larut dalam alunan lagu yang dinyanyikan oleh Kak Edgar.
Iya. Kak Edgar sosok laki-laki yang begitu dikagumi banyak orang. Orang hebat yang memiliki segalanya, yang bisa dengan mudah mendapatkan apapun yang ia inginkan. Dan herannya, ia menyukai perempuan biasa-biasa saja dan tak menonjol sepertiku. Menurutku itu sebuah keajaiban, ketika Pangeran sebuah kerajaan jatuh cinta pada seorang karyawan dari kedai roti kecil. Aku pun kagum pada Kak Edgar, dengan kesempurnaan begitu sangat yang melekat pada dirinya.
Tanpa sadar mata kami saling bertatapan. Kak Edgar memandangiku lama meski ia masih menyanyikan lagunya. Aku pun kembali tersenyum melihatnya memandangiku seperti itu. Lalu Kak Edgar seakan tertular dan ikut tersenyum.
Ingat apa yang pernah Kak Edgar katakan padaku?
‘Kata Dilan, senyummu itu bagus.’
~KALA SENJA~
Di saat siswa-siswa lain tengah menunggu acara pensi selanjutnya. Divisi dekor tengah bekerja menata api unggun juga lampion-lampion yang sudah terpasang menggantung di sekeliling lapangan sekolah dengan dibantu oleh anggota dari divisi logistik.
“Nyalain sekarang, Sya?” tanya Dewi.
“Iya sekarang aja lampion mah. Lagian gak ada angin kok, kayaknya aman-aman aja,” jawabku.
“Oke!”
Aku menghampiri orang-orang yang tengah menyiapkan api unggun di tengah-tengah lapangan. Kulihat Davi yang sedang mengatur penempatan balok-balok kayu sebagai pembatas orang-orang untuk melihat api unggun tersebut.
“Ada lagi yang belum?” tanyaku menghampiri Luna.
“Nggak, Kak. Udah beres semua. Kursi-kursi tadi udah dipindahin, terus anak-anak acara lagi siap-siap buat acara api unggun,” jawab Luna.
“Oh. Ya udah kalau gitu istirahat dulu. Tadi aku bawain makanan, di simpen di ruang basket, bawa aja. Bagiin buat yang lain,” jawabku sambil pergi berlalu.
“Oke, Kak. Kakak mau kemana emangnya?” tanya Luna.
“Nyari Kak Edgar,” jawabku sedikit kencang. “Duluan ya, kalau ada apa-apa chat aku aja.”
Sejak Kak Edgar selesai tampil, aku justru tak bisa menemukannya. Kuhubungi pun ia tak menjawab. Padahal ada yang ingin kukatakan, lebih baik tak perlu menunggu api unggun agar kami bisa menikmatinya. Tapi sepertinya Kak Edgar sengaja mengatur semuanya agar berjalan persis seperti yang ia rencanakan.
Aku ingin secepatnya ia mendengar jawabanku.
~KALA SENJA~
Dan benar. Hingga petang datang, aku tak bisa menemukannya. Kak Edgar sungguh mengatur segalanya dengan apik dan terkondisikan untukku. Bahkan beberapa orang yang kuketahui sebagai teman Kak Edgar pun, tak tahu menahu di mana laki-laki itu. Justru dengan seperti itu, Kak Edgar membuatku semakin merasa cemas dan memacu kerja jantungku lebih cepat dan lama.
Orang-orang tengah berkumpul di sekeliling api unggun yang belum dinyalakan itu. Lampu-lampu hias juga lampion-lampion yang menggantung mengelilingi mereka menjadi satu-satunya sumber cahaya bagi mereka. Para guru pun tengah menikmati petang dipinggir lapangan. Siswa-siswa tengah menyanyikan lagu-lagu dengan kompaknya. Membuat suasana menjelang malam itu terasa romantis jika dilihat dari lantai dua sekarang, sepertiku kini.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Panggilan Kak Edgar menyadarkan segala keromantisan yang sempat kurasakan kini. Segeralah aku menjawabnya.
“Kak!” panggilku.
“Hahaha… Kamu nyariin aku dari tadi ya?” katanya di sebrang sana.
“Kakak dimana?” tanyaku begitu tidak sabarnya.
“Tasya,” panggilnya. “Sebelum kamu tau aku dimana. Boleh aku bilang sesuatu?”
Aku mengerutkan keningku. “Bilang apa?”
“Terimakasih udah buat aku jatuh cinta di akhir cerita putih abu-abuku. Asal kamu tau, meski cuma sebentar, tapi aku udah sayang kamu lebih lama dari itu.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Kak Edgar. “Makasih Kak, udah sayang sama aku,” jawabku.
“Aku di bawah pohon beringin nih, sendirian. Mau ke sini?” tanyanya.
Itu adalah tempat aku dan Kak Edgar bekerja sama mengecat gapura. Tepatnya di belakang panggung, bersebrangan dengan posisiku kini.
“Aku ke sana Kak, tunggu!”
Aku menutup panggilan Kak Edgar dan bergegas menghampirinya dengan detak jantung yang beradu cepat dengan langkah kakiku.
Aku bergegas menuju anak tangga untuk menghampiri Kak Edgar, namun indra penglihatanku menemukan seseorang yang juga sedang berada di lantai dua. Memandangiku dengan tatapan yang begitu familiar di ingatanku. Ia menghampiriku dan dengan sigap menangkap salah satu lenganku.
“Davi?!” kataku terkejut dengan perlakuannya.
“Jangan turun, Tasya,” katanya dengan penuh tekanan.
“A-aku harus ketemu sama Kak Edgar,” jawabku yang kemudian terdengar begitu takut karena ditatap seperti itu oleh Davi.
Aura laki-laki itu berbeda, tidak seceria biasanya. Tatapan intimidasinya membuatku menelan ludah karena takut dengan sosok yang kelihatannya berbeda itu.
“Gak usah!” katanya ketus.
Davi justru menarik paksa lenganku hingga mau tak mau aku mengikuti langkahnya, menuju anak tangga yang mengarah menuju gerbang sekolah.
“Davi!” Aku menghempaskan genggaman tangan Davi. Ia kembali memandangiku. “Kak Edgar udah nungguin aku,” jawabku sedikit menyentaknya.
Kupikir Davi akan mengerti, atau setidaknya menunggu sebentar jika ia memang ada perlu denganku. Tapi yang kini berhadapan denganku adalah sosok Davi yang lain, sosok yang sempat memukul Kak Rio dan membawaku menuju Ruang UKS karena jatuh akibat dorongan kuat Kak Rio.
Davi kembali menangkap lenganku dan menyeretku kembali. Namun sekuat tenaga aku melepaskan diri dari genggamannya. Davi bersikap aneh, sungguh! Ia bukan orang yang kukenal dan tak bisa kupahami alasan atas sikapnya tersebut.
“Tunggu sampai aku ketemu Kak Edgar, ya?” pintaku.
“Aku suka kamu, Tasya! Jadi stop panggil nama Edgar di depan aku!”
Yang sukses membuat mataku membulat sempurna karena terkejut.
“HAH?!!!”
Tubuhku terpaku di tempat, seluruh organ tubuhku bagai tak berfungsi semestinya. Keringat dingin mulai mengalir hampir ke sekujur tubuhku.
Ini bukan mimpi, kan?
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas