Gerobak penjual bubur yang membuka lapaknya dipinggir jalan menjadi pilihan kami menghabiskan waktu sarapan di sana. Tempat makan sederhana dengan lalu lalang kendaraan yang melintas di depan kami tak jadi alasan kenapa tempat sederhana ini begitu romantis di benakku. Sebab di sampingku kini ada gadis yang kusukai, Tasya namanya.
“Davi termasuk tim makan bubur di aduk atau enggak?” tanya Tasya yang tengah mengaduk mangkuk berisi bubur pesanannya.
Setelah berkutat dengan isi kepalaku mengenai jawaban untuk pertanyaannya. Aku pun memandangi mangkuk buburku yang masih tertata rapi sesuai versi penjual bubur ini. Sejak dulu, hal-hal yang kuanggap tidak begitu penting selalu kuabaikan, termasuk cara menyantap bubur.
Tapi, asalkan semua pertanyaan itu berasal dari Tasya, akan kujawab dengan sepenuh hati.
“Gak di aduk,” jawabku menyuapi satu sendok bubur hangat lengkap dengan isiannya.
“Yaa, kita beda,” ujar Tasya dengan nada kecewa lalu menyuapi sesendok bubur yang telah bercampur itu.
“Kalau di pisah gini kan bisa nikmatin kerupuknya, Sya,” kataku.
“Kalau di aduk justru bermacam-macam rasa dan sensasi menjadi satu, Dav,” katanya lagi.
“Mau di aduk atau nggak, asalkan makannya bareng Tasya, rasanya akan selalu nikmat, dan romantis,” kataku setengah berbisik pada kalimat terakhirnya.
Lagi. Cengiran khasnya terukir dari wajah manis Tasya.
Setelah berurusan dengan bubur dan teori di aduk atau tidak. Kami tak lantas pulang ke rumah masing-masing. Di rumah Tasya sedang kosong jika ia harus pulang sepagi ini. Sementara di rumahku, Mas Billy sedang ada di rumah, bisa-bisa ia bertanya banyak hal kenapa aku bisa pulang sepagi ini. Membawa Tasya pergi mungkin adalah pilihan yang benar.
Pilihanku jatuh pada satu mal besar yang sering aku datangi bersama Raka dan Gibran. Aku mengajak Tasya masuk ke dalam toko buku, tempat favorit kami.
“Davi suka buku itu?” Tiba-tiba Tasya bertanya padaku yang sedang fokus membaca salah satu buku sastra.
“Tadi iseng baca sinopsisnya, bagus,” jawabku.
“Oh!”
“Ada buku yang mau kamu beli?” tanyaku kemudian sambil menaruh kembali buku yang tadi kubaca.
“Aku pingin ajak Davi ke rak buku sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk salah satu rak di sebrang tempat kami.
“Oh, yuk,” kataku dengan senang hati.
Rak buku dengan jajaran pengarang-pengarang asing yang bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tasya kemudian dengan serius menatap satu per satu jajaran rapi buku tersebut. Aku dibuat tertawa kecil akibat tingkah lakunya. Kenapa gadis ini menggemaskan sekali? Kenapa aku begitu jatuh cinta terlalu kentara padanya?
Tiba-tiba kudengar helaan napas keluar dari mulutnya.
“Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir.
“Kemarin aku nonton film judulnya The Fault In Our Stars, ceritanya bagus tapi punya akhir yang gak bagus,” jawabnya.
Aku membaca judul buku yang di pegangnya, judul yang sama. “Adaptasi dari buku itu? Sama kayak Me Before You gak?” tanyaku.
“Sama tapi gak mirip, kalau Me Before You kita udah prediksi akhirnya bakal kayak gimana, tapi kalau film dari buku ini punya akhir cerita yang tragis, gak terduga sama sekali.”
“Coba aku baca sinopsisnya,” kataku.
Tasya membalikkan buku yang dipegangnya lalu mengarahkan ke arahku. Aku membaca kalimat demi kalimat sinopsis cerita buku tersebut. Kondisi para tokohnya pun tidak baik-baik saja, jika akhirnya memang tragis, kupikir bukan hal yang mengejutkan seperti yang dikatakan Tasya.
“Tapi ceritanya aja udah lumayan sedih tuh,” komentarku.
“Iya, coba nonton deh, kenapa rasanya malah semakin tragis. Novelnya pasti lebih seru sih, lain kali aja hehe.”
“Beli aja,” saranku.
Tasya menggelengkan kepalanya, “Bulan ini aku gak kasih anggaran buat beli buku, soalnya bulan depan ada pameran buku di Braga, aku harus hemat.”
Tasya lalu mengembalikan buku itu dan mengambil buku di sebelahnya. “Ini buku lanjutan Me Before You, judulnya After You, kayaknya nyeritain gimana Clark move on dari Will, tiba-tiba jadi sendu deh.”
Aku mengelus pucuk kepalanya, ia terlihat terkejut. “Cerita yang punya awal menyedihkan punya sedikit kemungkinan untuk mendapatkan akhir yang bahagia,” kataku. Itu memang terbukti dari beberapa novel yang sempat aku baca dulu.
“Tapi tetep aja, kayak gak ada harapan bahagia di akhirnya, padahal sejak awal udah berjuang sungguh-sungguh.”
“Kadang cerita yang memiliki akhir yang menyedihkan punya daya tarik tertentu. Ada kan orang-orang yang menikmati patah hati dan rasa sedih.”
“Padahal menurut aku hal itu gak bisa dinikmatin.”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, aku gak akan biarin Tasya menikmati patah hati, nanti aku yang usaha buat Tasya selalu bahagia.”
Ia terkekeh.
“Di restuin gak?” tanyaku.
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, nanti aku juga usaha buat terus bahagia sama Davi.”
Kali ini bukan kekehan dari mulutku, tapi kupu-kupu di dalam perutku yang terkekeh.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas