Lorong kelas yang selalu sama di pagi hari. Sendiri sambil tersenyum menyapa orang-orang yang kulewati. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Suasana bising masih mendominasi setiap kelas yang tadi kulalui.
Hingga tiba di kelas yang hampir satu semester ini menjadi kelasku. Pintu kayu bercat coklat itu kembali kulewati. Satu per satu orang yang melihatku pun menyapaku dan tak lupa ‘tos’ yang menjadi kebiasaan anak laki-laki di kelasku.
“Tumben maneh siang datengnya?” tanya Raka yang sedang menyalin buku pelajarang seseorang, kutebak itu milik Mia, sahabatnya Tasya.
“Begadang ngerjain tugaslah. Emangnya lu?” ledekku.
“Yaa, maneh mah gitu. Sok-sok rajin, dulu pas kelas satu kan maneh gak beda jauh sama aing,” kata Raka lagi.
“Udah. Kerjain tugasnya sana, cepet!”
Semalam sebenarnya aku video call dengan Tasya hingga tengah malam. Sambil mengerjakan tugas, kami –tepatnya ia- menceritakan novel Me Before You yang baru saja selesai ia baca. Mendengar ia bercerita riang tentang buku-buku kesukaannya membuatku ikut merasakan perasaan senang seperti dia.
Kemudian kini yang kulihat bangku yang biasa ia tempati masih kosong, juga bangku sebelahnya.
Tak lama dari itu, Prisil datang terengah-engah. Ia segera duduk sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangan.
“Tumben telat,” kata Citra.
“Gila! Aku kesiangan gara-gara gak pasang alarm,” jawab Prisil.
“Terus si Tasya kemana ya?” tanya Mia.
“Iya, tumben dia belum datang jam segini,” tambah Citra.
“Dia juga lupa pasang alarm!”
“Hah?!”
“Tadi pagi di jalan aku telepon Tasya, aku tanya dia udah nyampe apa belum. Ternyata Tasya baru bangun. Dia lupa kalau Tante sama Om kan lagi di luar kota, biasanya Tante yang bangunin Tasya,” terang Prisil membuatku ikut terkejut walau hanya mendengarnya dari kejauhan.
“Lah sekarang dia dimana?” tanya Citra.
“Ya, di jalan sih. Dia usahain pergi semampunya katanya.”
Entah kenapa, tapi aku segera pergi keluar kelas meski pun sebentar lagi bel berbunyi. Aku menghiraukan teriakan teman-teman yang memanggil atau bertanya tentang sikapku yang tiba-tiba keluar kelas dengan masih menggunakan tas. Yang penting aku harus menemui Tasya meski pun akhirnya kami tidak masuk kelas hari ini.
Aku mengendap-endap keluar sekolah melalui sebuah pintu kecil yang berada di sudut bagian belakang gedung sekolah, yang biasa di lalui anak-anak yang sengaja ingin membolos ketika jam pelajaran, dan sekarang giliranku.
Aku menunggu Tasya tak jauh dari pintu gerbang sekolah yang sudah tutup sepenuhnya. Sosok perempuan itu belum juga muncul, kini kami memang tidak akan masuk kelas hari ini. Biarlah.
Tak berapa lama. Perempuan berseragam putih abu dengan helaian rambut yang sedikit acak-acakan hanya bisa menatap gerbang sekolah yang sudah tertutup sepenuhnya itu. Bahunya terlihat sedikit melemas dan kepalanya mulai tertunduk. Antara lelah dan kecewa, tapi keduanya membuatku tertawa tak jauh dari tempatnya berdiri.
Akhirnya aku berjalan menghampiri sosok itu.
“Yaa, padahal aku udah ngerjain tugas Bahasa Indonesia sama Davi,” katanya terdengar jelas namun kental akan rasa kecewa.
Persis saat Tasya kebingungan di depan studio foto beberapa bulan lalu.
“Tasya!” sapaku.
Tasya berbalik dan terkejut melihatku yang berada tak jauh dari tempatnya.
“D-davi kok di sini?” tanyanya terbata-bata. “Telat juga?”
Aku menggelengkan kepala.
“Terus?”
“Sengaja keluar kelas waktu tau Tasya bakal telat,” jawabku enteng.
“Lah kenapa? Davi jadi ikut bolos kayak aku dong!”
“Gak apa-apa. Yang penting bolosnya bisa berdua sama Tasya.
Kulihat ia kembali tertawa.
“Tetep aja gak boleh, Davi.”
“Kali-kali. Tasya udah sarapan?” tanyaku.
Ia menggeleng.
“Ada tempat jualan bubur yang enak deket sini. Mau?”
Ia kini mengangguk riang. Aku mengambil tangannya dan menggenggamnya. Rasanya begitu dingin ketika aku memegang jari-jari mungilnya. Mungkin ia lupa jika pagi ini udara sangat dingin, lalu ia sengaja berlari untuk mengupayakan agar tidak kesiangan, meski pun hasilnya nihil.
“Tanganmu dingin,” kataku.
“Aku gak sarapan, lupa bawa jaket, tadi lari-lari sampe sini, lalu kaget karena gerbang udah di tutup. Akhirnya begini deh,” jawabnya.
“Hahaha…. Harusnya Tasya panggil aku, biar aku yang jemput tadi,” kataku.
“Davi ntar bisa ikut telat juga,” katanya.
“Biarin.”
“Ih! Jangan dong! Aku nanti merasa bersalah.”
“Gak apa-apa, asalkan itu sama Tasya, gak akan pernah jadi masalah.”
“Hahaha….”
Tawanya selalu riang bahkan di saat kami bolos seperti sekarang. Tangannya mulai menghangat, namun sepertinya hawa dingin mengalir dari ujung jari-jariku yang sedang memegang tangannya. Tentu saja, jari-jari lentiknya perlahan saling bertautan diantara sela-sela jariku. Lalu menggenggamnya lebih erat dari sebelumnya.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas