Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kala Senja
MENU
About Us  

Hai....

As you can see! Ada kesalahan yang kubuat untuk chapter sebelumnya. Aku kira, aku sudah mempublish cerita chapter 26, lalu kemarin saat aku iseng baca-baca, kenapa hanya judulnya saja tanpa ada isi ceritanya. Ternyata, aku keliru sepertinya tidak menekan publish tetapi hanya safe to draft saja. Aku minta maaf atas kecerobohanku ini 

Anyway, lusa kita telah memasukin hari raya Idul Fitri, aku secara pribadi mohon maaf lahir dan batin. Semoga, puasa yang telah kita jalani dapat membuat kita merasa menjadi pemenang di hari raya nanti. Banyak khilaf yang mungkin secara sengaja maupun tidak telah kulakukan. Kuharap teman-teman memiliki hati yang lapang untuk saling maaf memaafkan.

Oh iya, FYI besok My X Idol akan update! Ditunggu ya!

Salam hangat dan selamat membaca

Cheers,

SR

.

.

.

.

Sedikit demi sedikit, pekerjaan kami sebagai divisi dekorasi mulai terlihat hasilnya. Luna dan Annisa sudah membuat origami kupu-kupu hingga memenuhi tiga kardus. Intan dan Dewi pun sudah menyusun bunga-bunga kertas yang telah mereka rangkai, dan aku membantu mereka merangkai bunga-bunga tersebut.

“Gawat Sya!” kata Dewi cukup heboh.

“Kenapa?” tanyaku menghampiri Dewi.

“Dekorasi bunga buat di panggung kurang Sya, aku salah perhitungan. Terus tadi di grup chat ada pesan dari guru-guru buat acara penutupan nanti kita bakal buat api unggun, dan juga ditambah dekorasi lampu-lampu lampion,” terang Dewi.

“Eh sumpah? Yaampun, kerjaan lagi. Padahal ini udah mau beres,” keluh Intan.

“Kalian masih sanggup buat bikin bunga gak? Kalau udah cape nanti biar aku aja, aku bisa kok,” kataku.

“Eh gak apa-apa, Sya. Kita bikin bareng-bareng aja, cuma kalau kita bikin lampionnya sendiri. Aku gak yakin bakal beres tepat waktu,” kata Intan.

Aku berpikir mencari cara agar pekerjaan kami bisa tepat waktu. “Gini deh, kita selesein kerja kita sekarang. Nanti aku langsung pergi beli bahan-bahan yang kurang. Soal lampion, aku tahu tempat yang jual lampion. Nanti aku langsung beli aja ya,” kataku.

“Kamu gak apa-apa? Kayaknya seminggu ini kamu pulang malem terus. Sekarang malam minggu, pasti jalanan macet,” kata Dewi. “Mau aku anter?”

“Gak usah. Aku kan belinya di deket rumah. Kalian udah kerja keras lebih dari aku, cuma gini doang mah gampanglah buat aku,” kataku meyakinkan mereka.

“Lah, kerjaan koordinator emang liatin kerjaan kita Sya. Kamu justru yang ngabisin tenaga lebih,” kaya Intan.

“Iya Kak Tasya super woman banget,” tambah Luna.

“Udah selo aja. Kan deket rumah. Kita sama-sama udah kerja keras kok,” kataku. “Kalian tulisin aja bahan-bahan yang kurang.”

“Iya. Kalau kamu kerepotan minta bantuan anak logistik ya,” kata Intan. “Atau Kak Edgar.”

Kak Edgar lagi, Kak Edgar lagi. Mereka tidak bosan ya?

~KALA SENJA~

Aku pamit duluan karena akan pergi membeli beberapa bahan yang masih kurang. Juga harus pergi ke daerah Alun Alun Bandung untuk membeli lampion. Saat itu aku melihat Kak Edgar sedang berada di dekat gerbang, berbincang dengan seseorang. Sepertinya Kak Edgar sedang memikirkan sesuatu dan bisa kuprediksi dari raut wajahnya.

Ia melihatku dan melambaikan tangannya. Raut wajahnya berubah menjadi Kak Edgar si murah senyum itu. Aku pun menghampirinya. Seseorang yang bersama Kak Edgar tadi pun pergi meninggalkan kami berdua.

“Mau kemana?” tanya Kak Edgar.

“Pulang. Tapi mau mampir beli bahan-bahan dulu,” jawabku.

“Mau aku anter?” tanya Kak Edgar.

“Gak usah Kak. Kakak pasti riweuh (repot) urusin acara, kan?” tebakku.

“Gak apa-apalah. Nganter kamu lebih penting.”

“Nggak Kak. Gak usah, Kakak jangan cape-cape, semua orang pasti bergantung sama Kakak buat acara nanti.”

Kak Edgar menghela napas. “Padahal aku mau PDKT.”

Aku kembali tertawa. Respon yang selalu aku tampilkan ketika Kak Edgar mengatakan hal demikian.

“Jangan ketawa terus ih!”

Biar bagaimanapun, tak ada yang lebih cocok untuk tersenyum, atau mungkin tertawa, dihadapan orang yang menyukaimu. Sementara di hatimu, tersimpan sekelumit perasaan yang semakin hari, semakin tak beraturan pada seseorang.

“Beneran nih gak mau dianter?” tanya Kak Edgar sekali lagi untuk meyakinkanku.

“Tasya pulang bareng aku kok, Kak.”

Sosok lain yang sudah berada di sampingku itu membantuku dengan meyakinkan tawaran Kak Edgar. Sosok yang selalu saja muncul di saat aku dan senja berada pada waktu yang sama.

“Eh Davi. Udah beres di panggung?” tanya Kak Edgar.

“Udah kok, Kak. Aku mau pulang. Kebetulan rumahku sama Tasya searah,” jawab Davi.

Davi seperti penolongku, ketika aku berusaha menjaga perasaan Kak Edgar agar tak berkembang lebih dari ini. Atau sebenarnya usahaku untuk menjaga perasaanku agar tidak bimbang? Hah! mungkinkah aku bimbang?

”O-oh iya Kak, aku bisa bareng Davi sekalian pulang,” kataku.

Sekilas raut wajah Kak Edgar terlihat kecewa, tapi selanjutnya ia kembali baik-baik saja.

“Kalau gitu tolong jaga Tasya ya, Dav,” kata Kak Edgar.

“Pasti Kak!”

~KALA SENJA~

“Makasih ya Davi,” kataku yang dengan sengaja mengikutinya agar terlihat bahwa aku memang akan pergi dengan Davi.

“Aku serius mau nganter kamu kok,” kata Davi memberikan helmnya padaku.

Aku menolak. “Aku mau ke Alun-Alun, beli lampion dulu. Sama bahan-bahan yang lain di daerah Tamansari.”

“Iya gak apa-apa.” Davi masih memberikan helmnya padaku, dan aku pun menerimanya. “Repot kalau kamu bawa sendirian.”

Davi menyalakan motor vespanya. Aku duduk di kursi penumpang dan membiarkan Davi mengambil alih kemudi. Membawaku pergi, menyusuri jalanan Kota Bandung di saat senja, dengan perasaan nostalgia yang menguar bersama angin yang merayu perjalanan kami berdua.

“Makasih ya Davi,” kataku ketika kami masih berada di atas motor.

“Kan belum sampai,” kata Davi.

“Hahaha…. Bukan, buat semuanya,” kataku. “Buat yakinin Kak Edgar biar dia gak perlu nganterin aku.”

“Ohh. Itu mah udah tugas aku,” kata Davi.

“Tugas ketua kelas ya?” tebakku.

“Hahaha….”

Setiap sore hari di Kota Bandung itu seperti sebuah momen tambahan untuk aku dan Davi. Banyak cerita yang kelak akan kuceritakan pada anak cucuku bahwa dulu, yaitu saat ini, aku bisa merasa senja terlalu indah dibanding apapun meski hanya sebatas sempat.

Dengan angin yang menari diantara kami di atas motor, aku menikmati bagaimana saat-saat berdebar hanya sekedar berada terlalu dekat dengan Davi. Melewati Jalan Tamansari dan bisikkan daun dan ranting yang sepertinya cemburu akan perasaanku ini.

Setelah sampai di tempat biasa aku membeli bahan-bahan, dengan sigap aku membeli beberapa hal yang tertulis di dalam daftar belanjaan. Davi pun dengan senang hati membantuku membawakan beberapa kertas-kertas karton, lalu menyimpannya di depan motor.

“Ke Braga ya?” kata Davi begitu aku selesai berbelanja.

“Iya,” kataku sambil menaiki motornya seperti tadi.

“Siap grak!” kata Davi mengikuti ucapan Dilan seperti biasanya.

“Hahaha. Kok Dilan sih?”

“Iya Lia?”

“Hahaha. Davi apa-apaan sih. Geli tau.”

“Hahaha. Jangan sampai kita kalah dari Dilan dan Lia.”

Aku sedikit menyiku lengannya. Geli rasanya mendengar Davi yang selalu tidak mau kalah dari tokoh novel Dilan dan Milea itu. Davi bukan panglima tempur, dia hanya ketua kelasku. Sudah itu saja.

~KALA SENJA~

Braga adalah tempat strategis untuk menikmati sore di Kota Bandung. Ramainya pejalan kaki, fasilitas yang diberikan pemerintah, juga orang-orang yang sengaja memakai kostum-kostum unik untuk memberikan hiburan bagi para pengunjung, atau sekedar foto selfie dan diabadian di sosial media.

Setelah membeli lampion yang begitu banyak. Davi memintaku untuk duduk di salah satu kursi di jalan tersebut. Motor ia parkirkan cukup jauh dari sini, tapi itu agar kita bisa berjalan kaki cukup banyak hari ini.

Bisa dibilang waktu itu sudah petang. Perlahan bias jingga langit mulai terusir oleh hitam pekatnya langit malam. Udara semakin dingin meski kami berada dalam keramaian. Lalu tiba-tiba, Davi membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.

“Eh….” Belum sempat aku menolak Davi sudah menginterupsiku.

“Tasya kedinginan,” katanya.

“Davi juga,” kataku.

“Gak apa-apa. Aku kan cowok.”

Selalu saja alasan seperti itu. Davi bukan pahlawan super yang akan baik-baik saja ketika kedinginan, tentu bisa saja penyakit datang menghampirinya. Ia seolah-olah bertingkah seperti pahlawan super.

“Nanti kalau Davi sakit gimana?” tanyaku.

“Kalau aku sakit sih gak apa-apa, asal itu bukan Tasya,” jawabnya.

Tak ada satu kalimat pun yang terucap dari mulut Davi yang sanggup membiasakan debaran jantungku. Semua apa yang dikatakannya terlalu berefek luar biasa bagi hatiku. Meski kau tak pernah tahu tentang perasaannya, tapi semua yang ia ucap, semanis apapun, perasaanmu akan terbang melayang yang seolah-olah dia hanya mengatakan hal itu hanya padamu seorang. Seperti keadaanku kini.

Nanti, ketika aku mengatakan perasaanku pada Davi. Aku akan menceritakan semua yang kurasakan. Walaupun ada sedikit resah jika nanti, Davi tahu semua tentang perasaanku, tidak akan ada momen menghabiskan senja berdua dengannya di atas motor seperti ini.

Davi mengantarku pulang dan membantuku menyimpan barang-barang yang kami beli tadi di halaman rumahku.

“Besok aku jemput?” tanya Davi.

“Gak usah gak apa-apa,” tolakku. “Besok pagi aku minta diantar ayahku aja.”

“Ohh. Ya udah, selamat istirahat.”

Aku tersenyum dan masuk ke dalam pekarangan rumah. Perpisahan dengannya adalah kenyataan yang tidak mengenakkan. Bagiku senja memang sebentar, tapi aku menikmatinya seakan momen itu adalah selamanya.

“Tasya!” panggilnya.

Aku berbalik melihat ke arahnya kembali. Kini kami dihalangi pagar rumahku yang tingginya hanya sekitar delapan puluh senti.

“Iya?”

Davi tak melanjutkan ucapannya dan hanya memandangiku. Membuatku salah tingkah dan juga penuh tanda tanya.

Ini malam yang terasa aneh. Aku masih bisa melihat Davi meski jarum jam sudah melewati waktu senja.

“Soal Kak Edgar.” Davi membuat jeda atas ucapannya. “Aku rasa kalian berdua semakin dekat. Kalian berdua keliatan cocok satu sama lain.”

Aku tak meresponnya. Aku diam, diam dari keterkejutanku.

“Kak Edgar sepertinya baik buat Tasya.”

Kalimat selanjutnya yang Davi ucapkan terlalu sukses membuat khayalan-khayalan yang baru kulukis melebur dan terbakar oleh rasa sesak dalam dada.

 “U-udah malam. Aku duluan ya,” kata Davi selanjutnya sambil pamit meninggalkanku yang terpaku atas ucapannya.

Setelahnya, sosok Davi benar-benar hilang dari jarak pandangku. Kakiku rasanya berat walau hanya sekedar berjalan menuju kamarku. Kuabaikan eksistensi diriku yang baru saja muncul di dalam rumah untuk bergegas mengunci pintu kamar. Karena terlalu terbuai dengan sikap Davi padaku, aku melupakan satu fakta bahwa Davi tidak benar-benar menutup mata dan telinganya akan berita yang tersebar antara aku dan Kak Edgar. Orang-orang boleh saja membicarakan aku dan Kak Edgar terus, tak masalah. Rasanya berbeda ketika kalimat dukungan justru keluar dari laki-laki yang kau cintai.

Ruangan kecil dengan sebutan kamarku ini rasanya terasa dingin dan asing. Tanpa sadar, jaket Davi masih melekat pada tubuhku. Aku menghela nafas gusar. Kugantungkan jaket itu dan terus memandanginya. Cairan bening sedikit demi sedikit menetes dan meluncur dengan bebasnya melewati pipiku.

Sesak tak pernah menjadi teman yang nyaman. Belum sempat aku mengutarakan perasaanku saja, rasanya begitu perih saat kutahu bahwa tidak ada aku di dalam hatinya. Padahal aku sudah memprediksik, tapi tetap saja sesak dan terluka.

Sepanjang malam itu, aku menangis dalam bisuku. Mengeluarkan semua rasa patah dan hancur yang lagi-lagi dikarenakan oleh orang yang sama. Cinta diam-diam itu tak akan pernah memiliki akhir yang membahagiakan.

Dan bagiku, mungkin ini adalah akhir dari kisah sunyiku. Cinta diam-diamku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • zufniviandhany24

    ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256

    Comment on chapter Satu Kelas
Similar Tags
La Nuit
20504      2393     8     
Mystery
La Nuit artinya Malam, yang diambil dari bahasa Prancis. Mengisahkan 3 remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah, mencari bukti yang membuat kakak tiri Ren meninggal dan juga kecelakaan orang tua Gemi. Pelaku tersebut, belum di tangkap, sampai akhirnya salah satu dari mereka menjadi korban.
Telat Peka
1349      622     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
591      333     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Mengapa Harus Mencinta ??
3705      1195     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Forget Me After The Rain
434      316     1     
Short Story
\"Kalau begitu, setelah hujan ini, lupakan aku, seperti yang aku lakukan\" Gadis itu tersenyum manis
Kamu
302      248     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.
When the Winter Comes
60835      8209     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
The Rich
148      133     0     
Romance
Hanya di keluarga Andara, seorang penerus disiapkan dari jabatan terendah. Memiliki 2 penerus, membuat Tuan Andara perlu menimbang siapakah yang lebih patut diandalkannya. Bryan Andara adalah remaja berusia 18 tahun yang baru saja menyelesaikan ujian negara. Ketika anak remaja seumuran dengannya memikirkan universitas ataupun kursus bahasa untuk bekal bersekolah diluar negeri, Bryan dihadapka...
ORIGAMI MIMPI
33558      3994     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Mengejar Kenangan
570      399     1     
Short Story
Menyusuri jalan setapak demi setapak dengan bayangan yang senantiasa muncul lalu memudar. Untuk apa kau hadir? Untuk kembali? Atau untuk berlalu selamanya?