Selesai berbincang dengan Mila dan rehat sejenak, aku kembali ke ruang tim basket untuk membawa tumpukan kardus-kardus bekas. Tumpukan itu memang mengganggu pandanganku ke depan. Maklum, tinggiku tak seberapa, tapi kardus-kardus ini melebihi tinggi badanku sendiri.
“Kenapa kamu angkut sendiri.” Suara seseorang menarik perhatianku untuk mencarinya. Ia mengambil tumpukan kardus yang kubawa hingga pandanganku tidak terhalangi, juga aku bisa menemukan siapa yang mengambil kardus-kardusku.
“Eh Kak Edgar,” kataku.
Kak Edgar sedang berada di depanku, dengan membawa tumpukan kardus yang tadi berada di tanganku. “Aku kan udah bilang, kalau butuh bantuan panggil aku.”
Aku menunjukkan cengiranku. “Lagian ini gak berat kok. Aku bisa bawanya sendiri,” kataku.
“Tapi kamu kesusahan bawanya kan? Nanti kalau jatuh dari tangga gimana?” Kudengar nada Kak Edgar memang sedang kesal padaku. Tapi selanjutnya ia membawakan kardus-kardusku.
“Kak, gak usah padahal,” tolakku.
Aku memang tidak enak jika mengandalkan Kak Edgar terus. Ia selalu baik padaku, dan aku semakin merasa menjadi perempuan jahat yang memanfaatkan kebaikan juga perasaan Kak Edgar.
“Udah tugasku. Udah yuk sini aku bantu. Kerjaanku udah beres kok.”
Kak Edgar seperti tidak memberikan ijin untukku mengambil alih kardus-kardus itu. Ia justru berjalan terlebih dulu dan membawa tumpukan kardus itu ke bawah pohon yang nantinya akan menjadi tempatku bekerja.
“Daritadi aku liatin kamu kerja sendiri. Yang lainnya kemana?” tanya Kak Edgar setelah kami sampai. Ia menyimpan tumpukan kardus di samping kaleng cat yang sebelumnya sudah kubawa.
“Mereka punya tugas masing-masing. Biar kerjanya cepet, ya udah aku yang bikin dasar gapuranya,” kataku.
“Ya sudah sini aku bantu. Kamu yang selotipin kardusnya ya. Aku yang pegang,” kata Kak Edgar.
Hidup kadang harus dikelilingi oleh beberapa pilihan yang menjebak. Tak masalah bagiku jika harus bekerja sendiri, tapi Kak Edgar mempermudah pekerjaanku, walau di satu sisi aku semakin merasa bersalah padanya.
“Kakak gak apa-apa bantuin aku terus?” tanyaku disela-sela kami berdua mengecat kardus-kardus yang sudah mulai terbentuk.
“Kenapa harus jadi masalah. Aku seneng bantuin kamu,” jawab Kak Edgar. “Ada apa memangnya?”
Aku menghentikan sejenak pekerjaanku dan melihat ke arahnya. Mataku pun normal untuk bisa menangkap sosok Kak Edgar yang terbilang tampan dan tinggi. Wajar bila banyak orang yang menyukainya, dan aku setuju soal itu.
“Aku ngerasa kayak manfaatin kebaikan Kakak doang,” kataku jujur. “Segalanya Kakak yang beresin, aku berasa tahu jadi doang.”
Mungkin ini pesona Kak Edgar yang tidak dimiliki Davi. Aku bisa sangat terus terang jika sedang bersama Kak Edgar.
Yang terjadi Kak Edgar justru tertawa mendengar ucapanku. “Kamu teh kenapa bisa mikir gitu? Wajar dong aku selalu bantuin perempuan yang aku suka.”
Detik itu aku merasa tersipu malu. Wajahku memerah mendengar ucapan Kak Edgar. Padahal ia pernah mengatakan hal yang begitu terus terang, tentang ia yang menyukaiku, tapi sekarang ada efek yang mengenaiku, ada hawa panas yang menjalar di sekitar wajahku.
“Hahaha….” Responku justru hanya tertawa dan mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajah. Mungkin ini efek matahari sore itu, panas.
Kak Edgar ikut tertawa bersamaku lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi.
“Habis selesai ini. Mau makan es serut di depan gak?” ajak Kak Edgar.
“Boleh!” jawabku. Es serut memang makanan yang pas ketika kamu sedang kepanasan sepertiku kini.
~KALA SENJA~
Tempat di mana Kak Edgar membawaku pergi makan es serut memang tak jauh dari lingkungan sekolah. Tempatnya kecil, dan bahkan terkesan seperti warung-warung penjual es kelapa pada umumnya, tapi uniknya di sini mereka menjual es serut.
“Sore-sore gini enaknya makan es serut,” kata Kak Edgar setelah kami memesan pesanan kami.
Aku mengangguk setuju. “Setelah seharian kerja,” timpalku.
“Kerja ngecat gapura,” kata Kak Edgar yang disambut tawaku.
Kulihat yang selanjutnya, Kak Edgar memandangiku. Aku pun heran, apa mungkin ada yang salah padaku. “Kenapa Kak?” tanyaku.
“Kamu gak pernah tanya kenapa aku bisa suka sama kamu,” kata Kak Edgar.
Lagi-lagi pembahasan mengenai hal yang membuatku merona.
“Kenapa?” tanyaku sedikit ragu.
“Kamu inget kan waktu UTS kemarin?” tanya Kak Edgar yang dijawab anggukan olehku. “Kamu masih inget orang yang duduk di belakang meja kamu?”
Aku tak menjawab, atau lebih tepatnya, aku lupa.
“Orang yang kamu pinjemin pensil,” kata Kak Edgar lagi.
“Oh! Iya aku ingat. Itu Kakak?”
Kak Edgar mengangguk. “Waktu aku mau balikin pensilnya, kamu bilang gak usah.”
Aku memang sempat meminjamkan pensil pada seseorang saat UTS. Tapi aku tidak menyadari jika orang itu adalah Kak Edgar.
“Tapi kan Kak, itu cuma pensil,” kataku. “Apanya yang berkesan?”
“Namanya juga kesan pertama, walaupun kedengarannya sederhana. Selain itu, kamu tuh sering banget senyum atau ketawa tau gak?”
Entah kenapa justru aku jadi tersenyum.
“Tuh kan, jangan senyum.”
“Kan cuma senyum doang Kak. Kakak juga murah senyum kok.”
“Kalau kata Dilan, senyummu itu bagus.”
Kalimat itu mengingatkanku pada Davi. Orang yang membuatku sedang bersiap-siap untuk mengutarakan perasaan padanya kelak. Bicara tentangnya, aku jarang mengobrol dengan Davi belakangan ini, ia sibuk dengan divisi logistiknya. Dan diantara banyaknya orang-orang menyebalkan yang menggodaku dengan Kak Edgar, sepertinya hanya Davi yang masih membuatku nyaman berbincang dengannya, tanpa menyangkut pautkan soal Kak Edgar.
“Kenapa ngelamun? Esnya udah dateng nih.”
“Hahaha. Kepikiran soal omongan Kakak, memangnya bisa sesederhana itu ya membuat kesan terhadap orang lain?”
“Dari hal sederhana sekalipun, orang bisa dengan mudah jatuh cinta kok.”
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas