Entah bagaimana caranya, namun kejadian kemarin saat rapat pensi menjadi konsumsi publik. Terlebih di kelasku, dari aku datang hingga istirahat tiba, hampir semuanya menggodaku.
“Serius? Edgar Pratama?” tanya Citra yang sama hebohnya dengan teman-teman sekelasku yang lain.
“Gak tau namanya siapa. Lagian kenapa sih kamu yang heboh?” protesku yang melihat Citra tidak menyentuh bekalnya.
Hari ini kami sengaja janjian membawa bekal untuk di makan saat istirahat. Tapi yang terjadi, bukannya ketenangan saat istirahat seperti biasanya, justru kegaduhan yang aku terima.
“Please Sya! Edgar cuy! Siapa yang gak kenal senior kita yang satu itu. Mantan Ketua Osis, bintang tim basket sekolah, dan jangan lupa, si langganan juara umum,” jawab Citra dengan sangat fasihnya.
“Wahh! Kerjaanmu nyari gosip ada faedahnya juga ya,” kataku dengan nada mengejek.
“Hahaha. Habisnya kamu kudet banget sih, masa Kak Edgar aja gak kenal. Si Prisil aja tau,” kata Citra.
Aku menoleh ke arah Prisil yang sedang menikmati bekalnya. Ia pun menoleh padaku. “Aku juga tau kok Sya,” kata Prisil.
“Kok aku nggak?”
“Itu loh! Waktu kita nyari sharing pas ospek, dia kan yang bantuin kita cari temen sekelasnya waktu sore-sore,” jawab Prisil.
Aku mengingat-ngingat kejadian satu tahun lalu itu. “Aku gak inget.”
“Yaampun Sya! Parah banget sih memori kamu,” protes Citra.
“Makanya, otaknya jangan diisi soal Davi doang.” Kini Mia ikut-ikutan memprotesku.
“Diem aja kamu, tumben,” kata Citra pada Mia yang terlihat tenang-tenang saja.
“Pertama dapet cuy! Tau kan sakitnya kayak gimana,” kata Mia yang terlihat lesu itu. “Dan aing (aku) lupa bawa bekel. Terus beli beginian, kesel sendiri deh!” omelnya sambil melihat bekal yang Mia bawa. Sebenarnya itu paket breakfast di salah satu restoran cepat saji.
“Ya udah tinggal makan bekal kita kok,” kata Prisil menyodorkan kotak bekalnya. “Apalagi Tasya bawa kue sama skotel buatan Tante.”
“Iya, aku bawa lebih nih,” kataku menyodorkan kotak bekal yang lain. Yaitu kotak bekal yang sengaja di siapkan ibuku untuk dibagi-bagi kepada sahabat-sahabatku.
“Aku sayang Tante,” rengek Mia mengambil kue yang kubawa dan memakannya.
“Sayang aku juga gak?” Tiba-tiba Raka menghampiri Mia.
“Naon sih maneh teh!” protes Mia yang artinya ‘apa sih kamu!’
“Hahaha. Kamu mah lagi dapet kayak macan,” kata Raka.
“Heueuh da aing teh maung!” ‘Memangnya aku macan!’
Yang membuatku terkejut, Raka memberikan sekotak susu dan sebatang coklat pada Mia. Sambil mengelus pelan pucuk kepala Mia.
“Biar gak sakit perut terus,” kata Raka.
Percaya atau tidak, ini pertama kalinya aku mendengar Raka dengan nada seriusnya. Biasanya orang itu selalu pecicilan dan becanda melulu. Kali ini berbeda, Raka seperti menempatkan dirinya dengan benar di hadapan Mia. Pantas saja Mia tidak mempermasalahkan mengenai sifat Raka yang terlihat santai dan bercandaan itu.
“Tuh Sya, kalau PDKT sama Kak Edgar juga gak akan jauh beda di treat kayak gitu,” goda Citra.
“Yaampun Cit, gak ada capeknya ya kamu,” protesku. “Harusnya kamu hafalin tuh pantun kamu.”
“Harusnya kamu terima tuh pernyataan Kak Edgar,” kata Citra membeo.
“Ihh!”
“Hahaha…..”
~KALA SENJA~
Selesai istirahat, sekarang saatnya pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Tira datang tanpa membawa beberapa buku yang biasanya beliau pakai.
“Untuk presentasinya, lebih baik sesuai absen atau di acak?” tawar Bu Tira.
“Acak!” Untuk orang-orang dengan urutan absen teratas berteriak untuk di acak.
“Sesuai absen Bu!” ujar Mia yang termasuk urutan absen di bawah.
“Ya sudah, biar jadi kejutan, di acak aja ya,” kata Bu Tira.
“Si Mia eleh (kalah),” ujar yang lain.
“Bae weh (biarin aja),” kata Mia.
Bu Tira pun menyuruh parasiswa untuk sedikit memundurkan barisan mejanya. Kurasa suasana berubah menengangkan. Meski kami sudah saling mengenal satu sama lain, rasanya selalu tegang jika diminta untuk berdiri di depan kelas. Termasuk aku yang biasanya berada di depan kelas walau sekedar mengumpulkan tugas-tugas.
“Citra,” panggil Bu Tira begitu presentasi di mulai.
“Waduh!” Citra terlihat terkejut. “Sil, hayu!”
Entah sedang tegang atau tidak, Prisil terlihat seperti biasanya, tenang dan banyak diam. Ia bahkan dengan percaya dirinya pergi ke depan kelas.
Begitu Citra dan Prisil membacakan pantun mereka, dengan ciri khas mereka sendiri tentunya, perlahan suasana terasa tenang kembali. Setelah Citra dan Prisil selesai membacakan pantun mereka, kami kembali tegang.
Satu per satu nama kami di panggil, meski kelihatannya tegang, tapi selalu ada gelak tawa di dalamnya. kebanyakan disebabkan oleh tingkah laku teman-temanku yang mengundang gelak tawa ketika membacakan tugas mereka. Apalagi ketika Raka dan Mia ke depan, percayalah aku sampai sakit perut karena banyak tertawa.
“Davi.” Kini giliran Davi, laki-laki itu sepertinya tidak terpengaruh ketegangan di kelas kami. Ia berjalan ke depan kelas seperti biasanya, dengan rasa percaya diri. Davi membacakan puisinya.
Aku berhenti menulis tentangmu
Meredakan hati yang mulai layu
Sebab semua tentangmu
Hanyalah air mata dan pilu
Berhentilah di situ
Jangan lagi berbalik dengan tatapan sayu
Ragaku tak lagi kuat seperti dulu
Sebelum kau berada di peluk orang baru
Jadi, berhentilah merayu
Dengan senyum indahmu
Biarkan aku melaju
Tanpa ada kekangan rindu
Kami semua bertepuk tangan. Bahkan tanpa sadar aku terus saja menatap Davi yang masih berdiri di depan kelas. Ia selalu bisa membuat semua orang larut dengan apapun yang ia lakukan, apalagi aku yang jelas sekali menyukainya. Aku akan selalu dibuat terpana oleh setiap perilakunya.
“Udah jangan diliat aja,” ujar Prisil menyikut pelan lenganku.
“Hah? Nggak kok,” elakku.
“Tumben Davi puisinya sedih gitu, lagi galau Nak?” tanya Bu Tira.
“Hahaha. Nggak kok Bu,” jawab Davi.
“Selanjutnya Tasya!”
“Iya?” aku reflek berdiri. Membuat semua orang di kelas menertawakanku, termasuk Davi yang masih berdiri di depan kelas.
“Semangat Tasya!” kata Raka menyemangatiku begitu aku berjalan ke depan kelas.
“Semangat.” Kata Davi begitu kami papasan.
Ucapan Davi seperti mantra, yang mengatur kadar keteganganku yang perlahan berubah menjadi perasaan semangat dan percaya diri.
“Tasya juga baca puisi?” tanya Bu Tira.
“Iya Bu,” jawabku.
“Galau juga kayak Davi?”
“Nggak Bu.”
“Iyalah nggak. Orang baru aja ditembak. Iya gak temen-temen?” tanya Raka mengompori seisi kelas yang justru menjadi riuh akan komentar mengenai kejadian kembali.
Raka benar-benar menyebalkan!
“Udah ih, aku mau baca puisi,” kataku.
“Udah, udah.” Davi membantuku melerai riuh tidak jelas itu.
Aku menarik nafas pelan sebelum membacakan puisiku. Well, tidak memungkiri bahwa puisi biasaku ini terinspirasi atas perasaanku pada si ketua kelasku.
Mari tersesat bersamaku
Menikmati empat musim dunia
Mengelilingi alam semesta
Untuk mencari tahu apakah aku benar cinta
“Ciee….”
Belum aku menyelesaikan puisiku, suara riuh itu sudah santer terdengar. Sesekali teman-teman sekelasku menyebut nama Kak Edgar diantaranya. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Puisiku tercipta oleh sebab sang ketua kelas yang kini hanya diam sambil melihat ke arahku, tidak terpengaruh dengan ocehan teman-teman sekelas. Yang entah berapa lama, rasanya satu detik bertatapan dengan Davi bagai putaran waktu tengah berhenti.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas