Hai....
Karena sekarang Bulan Ramadhan, aku ingin mengucapkan selamat berpuasa untuk teman-teman yang menjalankannya. Semoga di puasa tahun ini teman-teman mendapatkan pahala yang melimpah. Sambil menunggu buka puasa, yuk baca ceritaku.
Tak lupa vote, comment, dan likenya ya
Cheers,
SR
Hari itu, kami sekelas berkumpul di sebuah studio foto yang cukup terkenal di Bandung. Rimbunan pohon di sekitarnya seperti memberikan kesan Bandung tempo dulu. Aku datang di saat semua orang sudah mulai berkumpul di depan studio foto.
“Aku telat ya,” kataku menghampiri kerumunan teman-teman sekelasku.
“Nggak kok Sya, kita juga baru datang,” ucap Nadin.
Satu per satu orang-orang tiba. Akupun berpapasan dengan Davi, yang sepertinya terlihat berbeda belakangan ini. Ekspresi wajah Davi saat kami menunggu hujan dulu, tak berubah hingga sekarang. Mungkin itu hanya perasaanku saja, meski yang terlihat Davi masih bisa tertawa dengan teman-temannya yang lain, tapi perasaanku selalu menyangkal ada yang berbeda dari Davi.
Aku abaikan perasaan konyol itu. Menikmati berkumpul bersama teman-teman lebih mengasyikan. Acara foto bersama itu sungguh menyenangkan, aku dibuat terbahak-bahak oleh tingkah konyol Raka dan salah seorang teman kami bernama Fahmi. Walaupun beberapa kali Mia mencoba menghentikan tingkah konyol Raka, tapi laki-laki itu tetap saja membuat keributan satu studio.
Citra sengaja membawa kameranya untuk memotret suasana yang terjadi hari ini. Katanya untuk dokumentasi dan menyimpan beberapa aib teman-teman sekelas.
“Ya kali kamu share foto-fotoku yang absurd,” kata Prisil.
“Kali-kali Sil, lu mah mukanya dingin dan datar sih. Aku kan pingin liat kamu yang absurd,” kata Citra.
“Terserah dah!”
Setelah acara foto bareng. Kami melanjutkan perjalanan pergi ke tempat makan yang dipilih oleh Mia. Beruntung kali itu Bu Tira bisa ikut kami. Mobil Citra dipakai untuk membawa Bu Tira, Mia, dan Nadin. Sementara Prisil sudah bersama Adi sejak pertama kali mereka tiba.
“Jadi?” tanyaku melihat Prisil membawa helm yang biasa dipakai oleh Adi.
“Iya,” jawab Adi.
“Terus tadi ngobrol apa aja?” tanyaku cukup antusias.
“Banyak. Prisil gak sejutek wajahnya, apalagi kalau udah ngobrolin K-pop.”
“Hahaha. Dia mah emang gitu, Di.”
“Hahaha. Makasih ya Sya, aku duluan ya. Ditungguin dia.”
“Okay! Sukses Di.”
Kulihat Prisil melambaikan tangannya ketika aku melihat ke arahnya. Wajahnya terlihat biasa-biasa saja, tapi hal berbeda terlihat pada Adi. Dia sangat senang.
Satu per satu orang-orang pergi meninggalkan studio foto, dan kini tersisa aku yang masih berada di depan studio foto, sendiri.
“Lah!!! Aku sama siapa?” kataku cukup panik akan kebodohanku.
Aku memukul pelan jidatku. Aku datang sendiri ke studio ini, menggunakan angkutan umum. Dan lupa bertanya pada Mia alamat tempat makan tersebut. Aku pun mencoba menghubungi Mia.
“Gak ikut?” tanya Davi yang entah kenapa sudah berada di hadapanku.
Aku membulatkan mataku terkejut. Entah kenapa perasaanku terhadap Davi kini berbeda. Ia terlihat ceria seperti biasanya.
“Ahh, aku ketinggalan rombongan,” jawabku.
“Hahaha….”
Davi justru tertawa dan membuatku tersipu malu.
“Kirain Tasya lagi patah hati,” kata Davi membuatku bingung. Seperti mengerti kebingunganku itu, Davi melanjutkan, “Aku kira Tasya lagi PDKT sama Adi. Lalu tadi aku liat Adi malah pergi bareng Prisil, aku kira Tasya lagi sedih.”
“Ih nggak kok!” kataku mengibas-ngibaskan kedua tanganku ke depan. “Adi sama aku mana ada acara PDKT.”
“Hahaha. Iya deh aku percaya. Tadinya kalau Tasya patah hati, aku mau nemenin kok! Tapi karena aku keliru, mau bantu aku?”
“Bantu apa?”
“Bantu aku mewujudkannya.”
Aku mengerutkan keningku. “Kok kayak Dilan.”
“Iya Milea?”
“Hahaha….”
Aku tahu Davi sedang menirukan salah satu tokoh di dalam Novel berjudul Dilan itu.
“Yuk aku bonceng. Khusus hari ini, Tasya jadi penumpang pertamaku.”
Aku mengikuti langkah Davi dengan kebingungan yang kentara. Apa maksud ucapan Davi memang tak bisa aku cerna begitu saja. Sebelum aku melihat vespa berwarna biru terparkir di sana, dan Davi menghampirinya.
Aku tercengang. Davi pernah bilang jika ia menyukai motor vespa, dan katanya sedang menabung. Dan sekarang, keinginannya terwujud.
“Vespamu?” tanyaku antusias menghampiri motor vespa Davi.
Kulihat Davi hanya tersenyum. “Susah dapat motor vespa antik mirip Ayahmu, tapi akhirnya ketemu juga.”
Jujur aku memang tidak paham mengenai otomotif, tapi kurasa motor klasik ini cukup menarik perhatianku.
“Selamat Davi!” kataku menyalaminya.
“Makasih,” katanya sembari menggaruk belakang kepalanya. “Jadi, siap buat jadi penumpang pertamaku?” tanya Davi memberikan helmnya.
Aku mengambil dan memakaikan helm itu. “Siap grak!” kataku mengikuti kalimat Dilan.
“Hahaha. Baiklah Lia,” kata Davi memanggilku dengan sebutan Lia, atau namanya Milea, pacar Dilan pada tahun 1990 itu.
~KALA SENJA~
Aku merasa bahagia yang tak terkira. Tanpa sadar aku begitu riang berbincang dengan Davi. Seperti sebuah beban menguar dibawa angin lalu, yang selanjutnya aku begitu menikmati suasana Kota Bandung di atas motor bersama Davi.
“Untung kita nggak hidup di tahun 1990,” kata Davi saat kami menuju tempat makan.
“Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran.
“Iya beruntung. Soalnya dulu rindu aja berat,” jawab Davi.
“Hahaha….”
“Milea?”
“Hah?”
“Ketawamu bagus. Hahaha….”
“Davi apaan sih!”
“Akhir-akhir ini aku baca lagi buku Dilan.”
Pantas saja. Kenapa Davi selalu mengikuti ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh Dilan.
“Tapi beruntung deh orang-orang yang hidup di tahun 1990,” ujar Davi.
“Kenapa?”
“Mereka jadi lebih menghargai pertemuan dan mau menikmati rindu. Mungkin kedengarannya gak asyik, tapi kalau bersabar, pasti rasanya sangat menyenangkan.”
Meski hanya sebuah pendapat, aku tersipu malu mendengarnya. Davi memang selalu handal membuatku berdebar. Oleh setiap apa yang ia lakukan. Di detik selanjutnya, ada sebuah pemikiran gila yang terlintas di dalam pikiranku.
Aku ingin menyukai Davi lebih dan lebih. Ingin membuatnya tahu bahwa aku menyukainya terus menerus. Entah apapun akibatnya nanti, juga terlepas dari perasaan Davi akankah berbalik padaku atau tidak, keinginan itu semakin membesar seiring kami melintasi jalanan aspal Kota Bandung siang itu.
Davi, apa aku boleh mengatakannya padamu? Tidak sekarang, mungkin nanti. Tunggulah sedikit lagi.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas