Aku seperti di permainkan oleh alam semesta. Di saat aku ingin menjauh sejauh-jauhnya dari Davi, justru yang terjadi kini aku terjebak dalam keluarga Davi. Dan Ibu Davi sudah mengenalku sekarang. Berpikir positiflah Tasya, mungkin Ibu Davi tidak hanya mengenal dirimu saja. Lagipula, apa salahnya jika ibu temanmu mengenal dirimu?
“Tasya suka apa?” tanya Ibu Davi memberikan buku menunya padaku.
Aku cukup terkejut dengan nama makanan di tempat ini. Restoran ini kental akan budaya Korea dari interiornya. Bukan hanya itu, bahkan makanannya pun sangat sulit untuk kueja. Harusnya ada Prisil di sini, ia pasti bisa menerjemahkannya.
“Aku sama Tasya pesen kimbap aja, Mah. Gak usah yang aneh-aneh,” kata Davi yang berada di sampingku, sementara Ibu Davi berada di hadapan kami.
Aku hanya mengangguk dengan pesanan Davi, entah apalah itu kebab? Bibab? Apalah itu semoga bisa cocok dengan lidahku.
Tak berapa lama, setelah kami memesan menu yang sudah kulupa namanya itupun, Ibu Davi memberikan banyak pertanyaan padaku. Tolong jangan menganggap aku sedang di introgasi, aku hanya seperti di tanya oleh seorang wanita cantik dengan nada bicaranya yang enak di dengar. Meskipun terdapat tanda penuaan di wajahnya, namun Ibu Davi tetap terlihat cantik di mataku.
“Rumah Tasya dimana?” tanya Ibu Davi lagi.
“Di Jalan Anggrek, Tante. Deket taman yang baru di bangun itu,” jawabku.
“Ohh, deket juga ya sama rumah Tante,” kata Ibu Davi. “Tasya udah kenal Davi dari kapan?”
“Baru di kelas dua Tante, satu kelas.”
“Pantesan, rumah deketan tapi jarang main ke rumah. Kapan-kapan main atuh ke rumah.”
Aku hanya bisa tersenyum kaku. Sementara Davi terlihat tidak berminat dengan percakapan kami.
“Mamah kayak introgasi orang aja,” protes Davi.
“Ih Mamah kan kepo, Mas.”
Dalam menghabiskan waktu dan menyantap makanan itu, aku seperti di beri banyak info tentang siapa Davi sebenarnya. Di temani makanan yang namanya mirip dengan kebab ini, aku seperti di ajak untuk mencairkan suasana yang semula canggung beberapa saat lalu.
Setelah di traktir makan oleh Ibu Davi, aku di ajak sebentar membeli es krim yang kata Ibu Davi sangat enak sebelum kami berpisah di depan pintu masuk mall tersebut. Aku dan Ibu Davi sedang menunggu di lobby, sementara Davi mengambil mobilnya di parkiran.
“Gak apa-apa kan kita pisah disini? Tante masih harus ke butik dulu,” kata ibu Davi yang akhirnya kuketahui bernama Rini, Rini Anggarwati.
“Tante bareng Davi aja, biar aku pulang sendiri,” kataku mencoba menolak agar bisa menghindari Davi untuk kesekian kalinya.
Tante Rini menggeleng. “Gak usah, Tante bawa supir,” tolak Tante Rini.
“Hari ini aku udah di traktir banyak sama Tante, padahal baru pertama ketemu. Jadi gak enak,” kataku jujur.
“Gak apa-apa. Jarang-jarang Tante liat Davi bareng temennya. Anak itu tuh ya, ansos, anti sosial.”
Ucapan Tante Rini membuatku tertarik, sangat berbanding terbalik dengan watak Davi di sekolah yang sangat supel itu.
“Oh ya Tante? Davi justru supel banget di sekolah,” kataku.
“Masa sih?” Tante Rini terlihat tidak percaya. “Davi tuh ya, dari SD gak pernah ajak temen-temennya main ke rumah, dia juga jarang pergi bareng sama temen-temennya. Apalagi semenjak pindah ke Bandung, baru kamu doang yang Tante kenal sebagai teman Davi,” terang Tante Rini.
Okay! Aku benar-benar terkejut dengan yang satu itu. Kulihat Davi sering jalan bareng Raka dan teman-teman dekatnya, termasuk Mila, pacarnya, tapi mana mungkin Davi tidak mengajak teman-teman dekatnya itu ke rumah? Bahkan Mila sekalipun?
“Wahh! Kok beda ya Tante. Yang aku lihat Davi supel banget, ramah, baik pula. Semua orang kayaknya suka sama dia,” kataku.
“Gak mungkin, Sya. Dari dulu anak itu jutek banget, sama keluarganya sekalipun. Tante tanya gimana sekolahnya, dia cuma jawab alakadarnya.” Kata Tante Rini. “Udahlah gak banget dia mah.”
“Hahaha….” Aku hanya bisa tertawa. “Memangnya Davi gak pernah ngenalin pacarnya?” tanyaku keceplosan.
Duh! Sepertinya aku sudah melebihi batas di mana aku boleh berbicara. Aku bukanlah orang yang tepat membicarakan Davi dan Mila kepada Tante Rini, tapi seharusnya Tante Rini sudah tahu tentang Mila dari Davi.
“Dia punya pacar? Duh, gak mungkin Sya, gak mungkin.” Kulihat Tante Rini seperti tidak percaya. “Dia mana berani sih nembak perempuan.”
Aku setuju soal itu, buktinya yang terlebih dahulu maju adalah Mila. Mila menegaskan perasaannya pada Davi dan yang pasti Davi seperti diberi kepastian mengenai hati Mila padanya. Cukup masuk akal.
“Eh, tapi Tante pernah gak sengaja liat Davi senyum-senyum sendiri liatin HP-nya. Muka-muka kasmaran gitu, dari gebetannya kali.”
Dulu sih gebetan, kan sekarang pacarnya. Davi mungkin belum berani cerita tentang Mila, ini mungkin pertama kalinya bagi Davi pacaran, pasti ia sedikit malu jika menceritakan pada keluarganya. Biarlah, bukan tempatku menceritakannya pada Tante Rini.
Dan sekali lagi aku di tegaskan untuk membuang jauh-jauh perasaanku pada Davi jika tak ingin hatiku tersayat kembali. Davi sudah senang sekarang, sudah semestinya aku bangkit dan mencari cinta yang lain, yang lebih bisa membuatku berani mengungkapkannya.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas