“Bagian checking, kalian memeriksa dokumennya nggak sih?”
Teriakan itu benar-benar mengganggu telingaku, aku melirik pelan ke arah partner ku yang sama sekali nggak bergeming dari monitor di hadapannya. “Nggak usah dijawab mas Ano itu, percuma, langsung email aja marketing nya.” Kata Mbak Saki dengan mata masih menatap monitor di hadapannya. Benar juga, percuma, malah habisin tenaga sia-sia.
Baru aja mengetikkan beberapa kata di email ku, lagi-lagi teriakan terdengar, “ini nggak ada verifikasinya lagi, gimana sih?” Kutarik napas panjang seraya tetap menatap layar monitor di hadapanku, nggak lupa bibir yang selalu berkomat-kamit agar mengabaikan suara-suara yang mengganggu.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang ketika jemariku masih asyik menari di atas keyboard. Suara perut akhirnya menjadi alarm untuk menghentikan kegiatanku ini. “Udah sana makan siang dulu,” suara cowok yang nggak asing sedikit menginterupsi, “semua udah pada balik kok.” Aku menengadahkan kepala menatap tim ku, mas Endra dan Arya yang sudah kembali. “Oke, bentar.” Kuselesaikan pekerjaan di hadapanku yang tinggal sedikit kemudian beranjak dari meja.
“Mbak ayo makan, udah laper nih.” Kuhampiri partner ku yang masih asyik dengan dokumen di hadapannya. Aku menunjuk perutnya yang sedikit membuncit, “jam dua lho, kasian adek yang di dalam perut tuh. Udah nggak mau ngemil, makan siangnya telat lagi.” Tapi seperti sebelumnya, dia masih asyik dengan dokumen-dokumen di hadapannya itu.
Kutarik ujung bajunya, “Mbak, ayo aku udah laper banget ini.” Kupasang wajah memelas, namun bukannya kasihan, dia malah berkata, “makan duluan aja nggak apa-apa,” bahkan tanpa memandangku, “aku mau menyelesaikan ini sedikit lagi, sistemnya lambat banget soalnya.”
Tanganku bersidekap memikirkan cara agar mbak Saki segera beranjak dari tempatnya. Kuhidupkan kembali monitorku, “aku bantuin ngelock nih, mana yang bagiannya mbak Saki?” Dia menyebutkan beberapa nama, sedangkan jariku asyik mengotak-atik button yang tampak di layar komputer.
“Tasklist nya mbak Saki masih banyak ya?” Sebuah suara mengalihkan pandanganku dari monitor. Aku tersenyum melihat wajah yang tampak cukup mengenaskan. “Udah laper banget ya?” tanyaku dan dia hanya mengangguk lemah. “Perasaan dari tadi mbak Tia nggak berhenti ngemil deh, kenapa masih lapar?”
Bibirnya mengerucut mendengar pertanyaanku, “kan itu cuma cemilan Sa, makan siangnya belum.” Aku terbahak mendengar jawaban itu. Diantara partner-partnerku sebelumnya, mbak Tia yang paling bisa mengimbangi. Berbeda seratus delapan puluh derajat denganku yang selalu serius, mbak Tia yang easy going tapi tetap tanggung jawab dengan pekerjaannya.
“Ayo makan.” Akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu, keluar juga dari bibir mbak Saki. Terdengar suara kegaduhan di sebelahku, mbak Tia bersorak-sorak seraya asyik menggoyangkan kedua tangannya. Jika diamati dari penampilannya sekilas, nggak akan ada yang menyangka kalau dia adalah seorang ibu beranak dua. Aku tersenyum kecil melihat atraksinya, dia memang bisa bikin sekitarnya refreshing dengan kelakuannya.
“Aku sebel!” Suasana kantin yang begitu sepi membuat suara cempreng itu begitu jelas terdengar. Aku dan mbak Saki sontak menoleh ke arah sumber suara. “Masalah kecil aja kok sukanya diperbesar!” Makanan di hadapannya sama sekali belum tersentuh, sedari tadi dia hanya sibuk berkomat-kamit mengeluarkan seluruh isi hatinya. “Udah gitu, memangnya termasuk jobdesc nya mereka buat ngutak-atik jobdescnya unit checking?”
Aku mendekatkan jus buah naga miliknya yang langsung diteguk hingga separuh gelas, “udah mau keluar juga, santai aja mbak, nggak usah dipikirin.” Kataku seraya menelungkupkan kepala, “kita aja yang mikir.” Terasa beberapa kali tepukan pelan pada bahuku, “kamu bikin juga planning resign.” Tampak cengiran lebar ketika aku menengadahkan kepala.
“Ide bagus kayaknya.” Gumamku. Aku menoleh menatap Mbak Saki, “Perkiraan lahiran akhir tahun atau awal tahun depan kan?” Mbak Saki yang cuek hanya memberikan lirikan tajam yang kusambut dengan cengiran lebar. “Sebelum mbak Saki cuti hamil, aku resign dulu ya?”
Kali ini dia mendekat seraya menatapku tajam, “yakin mau resign?”. Kukerucutkan bibirku, seperti biasanya, dia nggak akan percaya dengan kata resign yang keluar dari bibirku. Mungkin karena dia tahu banget kalau masih banyak hal yang harus kupertimbangkan sebelum resign. “Fasa, kamu resign itu salah satu hal yang paling mustahil.”
***
“Sa, aku pusing lihat dokumen-dokumennya ini,” mbak Tia merajuk seraya mendekatiku. “Counternya ngirim acak-acakan kayak gini.” Kutarik napas panjang seraya mengambil dokumen itu. Ada tujuh ratus yang ada di list nya, masing-masing nomer ada lima rangkap dokumen.
“Masih banyak kekurangan dokumennya Tia?” sebuah suara menginterupsi percakapan kami. Tanpa disadari, pak Fendi sudah berdiri di belakang kami. Mbak Tia mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. “Kamu kasih Fasa aja biar dia yang mengerjakan,” kalimat yang meluncur membuatku menatapnya kaget, “dia lebih bisa dari kamu, apalagi dia lebih senior.”
Beralih dari mbak Tia kemudian menatapku, “Tia kan hari ini terakhir disini Sa, saya tadi sudah deal sama marketingnya untuk minta ditunda,” masih menatapku dengan tenang, pak Fendi melanjutkan, “mereka setuju untuk cair maksimal besok jam satu siang.”
Aku terbelalak mendengar pernyataan itu. Dokumen baru dikirimkan hari ini jam sebelas siang buat dijalankan siang ini juga. Kalau persyaratannya gampang sih, nggak masalah dikirim beberapa jam sebelumnya. Lha ini, udah persyaratannya susah, banyak lagi dokumen yang harus di cek. Seandainya boleh mengibarkan bendera putih, pasti udah langsung kukibarkan dan kabur dari sini.
“Tenang Fasa, hari ini aku bantu meriksa sampai selesai kok.” Seperti biasanya, matanya selalu berbinar ketika sedang berbicara. “Aku temenin sampai jam berapapun.” Tangannya bergerak nggak menentu mengekspresikan suasana hatinya. Aku tersenyum kecil menatap kelakuannya itu, “tahu deh, yang lagi seneng banget karena besok udah nggak kesini lagi.”
Kali ini ekspresinya berubah, “aku akan kangen banget sama kamu.” Katanya seraya mengusap monitor di hadapannya. Aku berdecak pelan, mulai kumat nih lebaynya. “Nanti bilang sama penggantiku, harus hati-hati sama mereka.” Mengangkat keyboard di hadapannya kemudian dipeluk, “harus dijaga baik-baik.” Katanya lirih.
Kuputar bola mata kemudian beranjak dari kursiku, berjalan mendekatinya kemudian menekan tombol-tombol yang ada di keyboard itu dengan keras dan asal. Setelah itu pergi menjauh meninggalkannya yang refleks berteriak keras menyebut namaku. Aku terkikik pelan mendengarnya. I’ll be missing it.
***
“Sa udah jam setengah sembilan ini, pulang yuk.”
Sifat workaholic ku ini selalu merugikan sekitarku. Aku menoleh menatap seseorang yang sudah nggak berwujud dengan mata yang berair menahan kantuk. Mbak Tia mengerjapkan matanya beberapa kali. “Oke ayo pulang.”
Kuregangkan kedua tanganku bersandar pada kursi. Jam sembilan lebih seperempat. Aku mengusap wajahku beberapa kali seraya tersenyum miris, “sudah nggak ada lagi yang mengingatkanku untuk pulang.” Gumamku.
Nggak terasa sebulan sudah berlalu sejak hari terakhir mbak Tia disini. Sebulan pula aku selalu pulang malam sendirian. Kursi sampingku sudah ditempati orang lain. Empat tahun aku disini dan empat kali juga berganti partner. Miris rasanya, sekalinya bertemu dengan partner terbaik, nyatanya dia juga nggak bertahan lama.
Menatap datar tumpukan dokumen di hadapanku, seminggu sudah kucicil, nyatanya revisi dari debitur masih belum juga memenuhi syarat. Mengusap kasar wajahku seraya menarik napas dalam-dalam. Kulihat sekitar hanya ada komputer dan kursi-kursi yang menemani. “Masih juga banyak yang kurang.” Gumamku seraya menutup mata, berpikir siapa yang sebenarnya salah disini. Kubiarkan otakku kosong menikmati lelah yang ada. “Fasa it’s time to go home.”
***
“Masih ada di bagian checking pak, nggak tau apa yang masih kurang.”
Suara yang begitu nyaring mengalihkan perhatianku dari dokumen-dokumen ini. Berusaha mengabaikan suara yang mengganggu itu, namun nyatanya alam bawah sadarku menolak melakukannya.
Kulirik arahnya tampak mas Ano yang sok cuek bicara keras di telepon. Aku merapalkan mantra untuk nggak peduli dengannya, sayangnya satu suara lain terpaksa membuat perhatianku dari dokumen-dokumen itu teralihkan. “Fasa, apa yang masih kurang dari dokumen itu?”
“Banyak yang nggak sesuai pak.” Aku mencoba menjelaskan perlahan pada pak Fendi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. “Saya sudah konfirmasi ke marketingnya, tapi revisi yang diberikan nasabah masih juga belum memenuhi dan saya sudah konfirmasi ulang.” Kuputar kursi menghadap pak Fendi, “Ada lima kali saya konfirmasi ulang, tapi nasabah hanya memberikan dokumen yang sama, sedangkan marketing sama sekali nggak memeriksa dokumen-dokumen yang mereka kirim.”
“Nggak apa-apa Sa, pokoknya kamu harus pastikan kalau dokumennya sesuai sebelum mereka cair, karena..” Belum sempat pak Fendi melanjutkan pernyataannya, lagi-lagi suara mas Ano terdengar, “marketingnya tanya kenapa transaksnya masih belum jalan, padahal sudah dikirim dari seminggu yang lalu.” Aku langsung menoleh ke arahnya, tampak pak Pras, unit head kami mengobrol dengannya. Seperti biasa, umpan yang dia lempar selalu dimakan lahap oleh sang ikan. Tinggal menunggu sang ikan menghampiriku untuk menanyakan transaksi ini.
“Apa urusannya mereka sih, mengadu kayak gitu?” terdengar gerutuan pak Fendi di belakangku. Aku hanya tersenyum kecil, seraya mendesis, “karena nggak punya urusan jadi mereka nyari urusan orang lain Pak.” Seperti yang kuperkirakan sebelumnya, pak Pras datang menghampiri kami, melontarkan pertanyaan yang sama. Berbeda dengan pak Fendi yang langsung memahami kondisiku, pak Pras terus menyudutkanku, “itu kan masalah kemarin dan sudah diselesaikan, yang saya tanyakan untuk kondisi sekarang ini, apa masalahnya?”
Kerutan di keningku semakin dalam, malas untuk kembali memberikan penjelasan ataupun pembelaan. “Sekarang masih saya periksa Pak.” Mendengar jawabanku, pak Pras bersidekap, “kenapa lama sekali memeriksanya?” Terdengar helaan napas panjang, “saya sudah ditegur sama bos besar, si debitur mengadu sama bos nya marketing.” Kembali kuarahkan perhatianku ke dokumen-dokumen itu, enggan peduli dengan segala hal yang dikatakan pak Pras. “Fasa sebenarnya apa permasalahannya?”
Terpaksa kuhentikan kegiatanku kemudian berbalik menatap pak Pras. “Sudah sebulan debitur ini mengajukan permintaannya, tapi sampai sekarang masih belum bisa diproses.” Pak Pras bersidekap seraya menarik napas panjang. “Sebenarnya apa permasalahannya?”
Kutarik napas dalam-dalam mengontrol emosiku yang sudah mencapai puncak. “Sampai sekarang debitur belum memberikan dokumen yang sesuai, apa boleh kita jalankan dengan kondisi itu?” Pak Pras menggelengkan kepala, namun sebelum sepatah kata keluar dari bibirnya, aku kembali melanjutkan perkataanku, “saya sudah konfirmasi berkali-kali tetapi beberapa kali juga dokumen revisi yang dikirim masih belum sesuai.” Pak Pras mengangguk pelan seraya beranjak pergi. Sesaat setelah kembali berkutat dengan dokumen itu, terasa tepukan pelan pada bahuku. Aku menatap mbak Saki yang masih menepukku pelan dan berucap “sabar” tanpa suara.
***
“Ini karena ditinggal Saki dan Fasa istirahat bareng Pak.”
Sebelum sampai di kursiku, langkahku terhenti mendengar percakapan yang menyebutkan namaku. Terlihat pak Pras dan mas Ano bercakap-cakap. Jam menunjukkan pukul tiga lebih seperempat ketika aku kembali dari istirahatku. Aku melangkah pelan seraya mendekati mejaku. Pak Pras yang melihatku kemudian mendekat, meminta aku dan mbak Saki mengikutinya.
Langkahnya tertuju ke ruang meeting. “Kenapa kalian nggak bertanggung jawab gini sih?” Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. “Jam urgent dan ada transaksi yang belum jalan, tapi malah kalian tinggal istirahat?” Aku memberikan penjelasan, toh masih ada staf di bagian checking yang bisa mengambil alih segala transaksi. Sayangnya kalimat berikutnya dari pak Pras membuat kerja kerasku sebulan itu sia-sia, “yang mengerjakan transaksi itu dari awal, dia juga yang harus menyelesaikan. Tapi apa ada tanda tanganmu disana? Dimana tanggungjawabmu?”
Sepuluh menit dalam ruang meeting terasa begitu panas. Secepat kilat aku beranjak ketika meeting itu selesai. Belum sampai di kursiku, tiba-tiba seseorang menghentikanku seraya berbisik, “sebelah bikin ulah lagi.” Arya mendekat kemudian melanjutkan, “mereka manas-manasin pak Pras masalah debitur yang mbak pegang itu.” Aku mengerutkan kening dalam. Seperti tau arti raut wajahku, Arya kembali melanjutkan, “udah jalan kok, tapi mepet, itupun karena bagian setting bukan karena kita.” Aku masih memandangnya heran. “Tapi sebelah manas-manasin, mereka bilang debitur itu hampir nggak lolos karena ditinggal mbak berdua istirahat dan meninggalkan kami yang masih amatir.”
Aku terbelalak mendengar penjelasannya. Yang lebih mengecewakan si head menelan mentah-mentah tanpa mau mendengarkan penjelasanku. Segera kubuka komputerku, mengetikkan hal yang sudah lama seharusnya kulakukan. Sesaat setelah printout itu keluar dan kutandatangani, aku langsung menyerahkan pada pak Fendi kemudian kembali ke kursiku untuk membereskan peralatanku.
Sempat terlihat pak Fendi menghampiri pak Pras, namun aku sama sekali nggak peduli. Seharusnya hal ini sudah kulakukan dari dulu. “Fasa kamu serius?” Suara yang nggak asing itu terdengar begitu cemas. Sesaat nggak kupedulikan dan tetap membereskan barang-barangku, “kamu kok tega sama saya?” Seraya menggendong sekardus kecil yang berisi barangku, aku membungkuk padanya kemudian melangkah pergi. Aku hanya tersenyum kecil menatap semua orang yang nampak terkejut dengan keputusanku. Perasaan lega dan benar menguasaiku. “Ah, seharusnya ini kulakukan dari dulu.” Gumamku. “Seseorang pergi bukan hanya karena kalah ataupun bersalah, tapi karena dia tahu bahwa sudah tidak ada hal berharga yang harus dipertahankan disana.”