Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mengejar Kenangan
MENU
About Us  

Di depan kampus Unpad di Jalan Dipati Ukur, naik angkot Kelapa – Dago. Udara panas menyengat. Keringat di sekujur tubuh hampir mengering, tapi punggung kausnya masih basah akibat terlalu lama menempel di sandaran kursi DAMRI nomor 7. Musim kuliah begini memang selalu penuh sesak. Sebenarnya dia masih bisa menunggu bis berikutnya—yang dia naiki barusan sudah hampir penuh saat dia naik di pangkalan dua jam sebelumnya—namun dia tak sabar.

Shira duduk di ujung belakang angkot yang penuh. Semua penumpang bergeser menyisakan satu tempat  paling pojok yang terpanggang matahari. Panas. Bahkan mereka rela seandainya Shira menginjak ujung-ujung sepatu, sandal, atau jari-jari kaki itu. Seorang perempuan cantik berpenampilan apik mengusap ujung sepatu putihnya (“Maaf, permisi, maaf.”) tapi semua layak dijalani demi menghindari tempat panas itu. Apa boleh buat.

Angkot melaju pelan. Di jalan ini sering mendadak terjadi kemacetan lokal. Entah karena sebagian badan jalan yang dijadikan lahan parkir, orang-orang yang menyeberang, ataupun kesibukan petugas parkir bank BNI di depan sana. Shira menatap ke arah warung-warung yang berjejer di sepanjang jalan itu. Dia sering melewati jalan ini bersama Adrian, sepulang dari kampus DU untuk keperluan her-registrasi ataupun mengambil jatah beasiswa bulanannya. Biasanya mereka lalu mencari warung yang agak sepi, atau ke kios langganannya, penjual kaset seken dan bajakan yang kadang suka pasang tarif sesukanya.

Dan jalan ini. Biasanya kalau sedang tidak diburu waktu, Adrian mengajaknya berjalan sampai ke pertigaan Borromeus. Shira dan Adrian. Berjalan di bawah pepohonan besar yang berjajar sepanjang jalan. Semoga pohon-pohon ini tetap di sini, ucap Shira suatu saat. Rasanya tidak rela kalau pohon-pohon ini sampai ditebang. Dan Adrian senang sekali menginjak-injak daun-daun kering yang berserakan. Srek, srek. Ikut, yuk, ajak Adrian suatu hari. Kamu yang pertama kuajak ke rumah. Seminggu kemudian mereka sudah berada di Semarang.

Sampai di jalan Dago belok kiri. Lalu lintas di siang hari begini selalu padat. Kadang macet. Adrian mengusulkan supaya mereka jalan saja. Macet kan, katanya, naik mobil atau jalan pun sama saja. Dia tidak suka duduk diam dalam angkot yang terjebak macet dan disengat terik matahari. Tapi Shira menolak. Kan panas. Lalu dia menyetop angkot yang lewat.

Siang ini lalu lintas lumayan lancar. Di perempatan Cikapayang angkot berhenti. Lampu merah. Seorang pengamen nangkring di pintu penumpang. Adrian menyempatkan diri untuk merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping atau dua uang logam. Tumben, komentar Shira, biasanya irit.

Kan sebentar lagi dapet duit, ucapnya jumawa. Setiap hari Senin ia dikirimi uang mingguannya.

Lampu hijau. Si pengamen buru-buru menyodorkan gelas plastik kepada para penumpang. Tiga orang. Cring, cring, cring. Shira pun mengulurkan satu. Cring.

Proyek jalan layang Pasupati hampir rampung. Hampir. Kata itu digunakan untuk memotivasi diri. Hampir selesai, Bu, sebentar lagi. Sebenarnya kata itu memanipulasi. Untuk sebuah tujuan yang entah kapan tercapai. Hampir sampai ….

Proyek yang hampir ini, tiga tahun lalu belum ada. Hanya beberapa meter dari jembatan, di sebelah kiri, Bank Danamon. Adrian selalu turun di sini, lalu bergegas masuk ke salah satu bilik ATM. Dia selalu menutupi layar monitornya dengan tangan sementara Shira melompat-lompat ingin melihat jumlah yang ada di rekeningnya. Tapi toh dia pun segera tahu, karena dia yang selalu lebih dulu menyambar struk tanda bukti transaksi.

Angkot masih melaju, pelan mendekati perempatan berikutnya yang kembali berlampu merah. Tepat di depan sebuah gift shop. Shira memalingkan wajahnya.

Masuk sini, yuk, ajak Adrian.

Ngapain?

Cari kado. Buat temen, dia ulang tahun.

Shira hanya mengangkat bahu dan mengikuti Adrian masuk. Mereka berputar-putar mengelilingi seluruh sudut toko, tapi tampaknya Adrian tidak menemukan barang yang dicarinya.

Nyari apaan, sih?

Boneka Elmo. Tapi kok enggak ada, ya?!

Memangnya siapa sih yang ulang tahun?

Temen SMA. Kemaren ketemu.

Aneh. Tumben dia enggak cerita. Anak Jatinangor juga?

Hmm … bukan. Dia kos di daerah Pajajaran. Kemaren aku ke sana.

Shira menatap Adrian. Rasanya ada yang aneh. Terus gimana? Mau cari ke mana lagi?

Cari yang lain aja deh, asal warna biru.

Biru?

Iya. Kan dia suka Elmo. Pasti dia suka warna biru.

Elmo itu merah. Yang biru Cookie Monster.

Adrian tercenung. Oh.

Shira terpikat boneka biru bersayap di bagian atas rak. Mungil. Lucu. Mudah-mudahan dia suka.

Adrian menerimanya dengan senang hati.

Lampu hijau. Angkot melaju. Sejak kunjungan pertamanya ke toko itu, Shira tak pernah mau lagi masuk ke sana. Boneka itu untuk anak baru di kampus. Kecengan Adrian. Seharusnya aku tahu, batin Shira. Adrian selalu menyebut nama. Dan jika dia melakukan hal-hal di luar kebiasaannya, seperti bertemu teman SMA, dia pasti cerita. Sejak saat itu Shira tak pernah berhenti memaki dirinya sendiri. Perempuan bego! Tolol! Mau-maunya ditipu! Tapi Shira dan anak itu kemudian berteman. Aneh! Dan Adrian gagal mendapatkannya, tentu, karena Shira keburu mengambil langkah-langkah pencegahan. Trik perempuan!

Angkot menyeberangi perempatan. Shira hanya sekilas melihat Pizza Hut di sisi kiri jalan. Setiap kali kantongnya dirasa cukup tebal, Adrian selalu mengajaknya ke sana. Atau gadis-gadis lain yang berhasil dirayunya, mungkin. Lalu mereka biasa memesan pizza ukuran medium dan satu pitcher Coca Cola. Shira biasanya cuma habis satu gelas. Sisanya Adrian yang berwenang. Pelayan yang mengantarkannya sempat berkeliling bingung mencari meja yang terisi lebih dari dua orang yang belum mendapatkan minuman—tidak ada. Sampai kemudian seorang pelayan lain menunjuk meja mereka. Mereka bertiga sama-sama tersenyum geli. Cuma berdua kok pesan pitcher!

Tapi Shira tidak berminat mampir ke sana. Kalaupun uangnya cukup, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada makan sendirian di sebuah restoran keluarga. Mengejar kenangan pula! Walaupun sempat terbayang lezatnya black pepper pizza. Shira menelan air liur yang terlanjur terbit.

“Kiri, Mang!”

Halte bis Superindo. Pemberhentian wajib buat Adrian. Lalu setengah terburu mereka berjalan, satu tangan di pundak Shira. Naik ke trotoar, merunduk melewati bentangan tali rafia penahan spanduk kios gorengan, lalu belok kiri. Aquarius. Masuk, simpan tas di penitipan barang, dan New Release. Selalu. Shira hanya melihat-lihat sebentar, lalu ke bagian belakang, penasaran mencari album pertama The Wallflowers. Tidak pernah ada. Selalu. Ia melihat-lihat saja di situ. Kadang mencomot satu, sambil menunggu Adrian menghampiri, dengan satu atau dua di tangan, kadang tidak sama sekali. Lalu berlalu.

Shira kembali menyusuri jalur kenangannya. Terlalu banyak kenangan di jalan ini. Di depan sana toko bernomor tiga-empat. Adrian kadang-kadang mampir ke sana. Lalu menyusuri trotoar yang kadang malah terhalang mobil yang parkir. Kadang Adrian berhenti di sebuah gerobak. Es durian. Shira tidak begitu suka. Es durian paling enak adanya di Alun-alun, di samping gedung bioskop. Entah masih ada atau tidak. Jadi mereka cuma pesan satu. Kini pun Shira tidak berhenti.

Terus berjalan. Di depan perempatan, Shira melewati sekelompok anak pengamen yang jumlahnya akan berlipat saat bulan puasa. Shira melewati saja Planet Dago. Mereka tidak pernah ke sana. Tapi Adrian dan perempuan baru itu pernah. Foto boks. Tiga tahun Shira dan Adrian pacaran tanpa selembar foto pun. Tapi Adrian dan perempuan itu hanya perlu dua minggu. Dua minggu untuk sehelai gambar yang menghantui mimpi-mimpinya akhir-akhir ini. Menyakitkan.

Tapi bukan tempat ini yang jadi tujuannya. Ia menyeberang jalan, tapi tidak masuk ke trotoar yang kini berpagar. Di bahu jalan saja. Dulu banyak yang bisa dilihat di sini. Poster, ikat rambut, sandal, segala pernak-pernik kegemaran anak perempuan, CD-CD bajakan dan kaset. Pemberhentian wajib lainnya untuk Adrian. Sekarang sepi. Shira kembali menyeberang. Mumpung tidak ada polisi-polisi cerewet yang menyuruhnya naik ke jembatan penyeberangan nun jauh di sebelah sana. Tapi mereka tidak tahu (atau tahu tapi tak peduli?), tangganya curam, jadi menyeramkan. Juga terlalu jauh. Malas rasanya (yah, itu alasan sebenarnya). Coba pasang agak deketan (lalu dikemplang. Pindahin aja sendiri!).

Trotoar ini pun berpagar. Dulu ada warung jajanan di sini. Nasi soto, batagor, mi ayam, sate padang. Adrian suka nasi sotonya. Dia selalu mampir ke sini. Daripada ke McD yang ramai. Resto-resto di sekitar situ tidak membuat mereka nyaman. Warung ini selalu jadi pilihan. Jika tidak, lebih baik tidak makan, prinsipnya. Ayo tahan lapar sampai Jatinangor. Atau kita balik ke Pizza Hut.

Gramedia. Tempat penitipan tas. Adrian tidak pernah pergi tanpa ransel merahnya. Lalu langsung berburu buku. Rutenya pun selalu sama: lantai dua, buku-buku sejarah dan politik. Lalu lantai berikutnya, buku-buku sastra. Adrian tidak minat sama komik. Tapi Shira selalu sempat melihat-lihat terbitan terbaru. Lalu buku-buku berbahasa Inggris kebutuhan Shira. Lalu turun. Keluar lewat jalan belakang, Purnawarman. Berbelok ke kiri menyusuri jalan. Carlsberg di dalam tas mendesis. Tadi Adrian sempat meneguk sepertiganya dan menyumbat botolnya dengan plastik. Tapi kini isinya meleleh membasahi tas.

Harus diminum, nih. Minum di sini aja, ya.

Jangan! Masa sambil jalan?

Terus gimana, dong?

Penyeberangan berikutnya, lalu menyelinap di gerbang belakang Balai Kota. Mereka duduk-duduk saja di sana. Adrian menghabiskan isi botol itu sedikit demi sedikit. Shira hanya mencicipi. Dia tidak suka yang pahit-pahit. Melihat-lihat buku yang baru dibeli. Bacanya di rumah aja, entar rusak. Sunyi, walau di balik pagar puluhan kendaraan menderum berlari.

Habis. Botol disimpan baik-baik dalam tas. Untuk koleksi. Lalu keluar, belok ke Jalan Aceh. Di perempatan sini biasanya ada sekelompok pengamen. Salah satunya perempuan yang bersuara Dolores O’Riordan. Ah, itu dia. D’you see me? D’you see? Do you like me … do you like me standing there?

Shira menyusuri Jalan Aceh. Jalur ini. Tiga tahun lalu, saat mereka belum resmi pacaran. Adrian sudah nembak entah berapa kali, tapi Shira belum juga menjawab. Dulu mereka berjalan sambil mengobrol, kadang bercanda. Adrian ingin merangkulnya sambil jalan. Atau bergandengan tangan. Tapi Shira jengah. Sebagian karena ia belum begitu yakin akan perasaannya. Gimana kalo ada yang lihat? Malu gue! Tapi setelah benar-benar berpacaran, Adrian tidak pernah mau mesra-mesraan seperti itu. Paling pegangan tangan. Itu pun kalo nyebrang jalan. Apa sih, kayak anak SMA aja, ucapnya. Malah kemudian dia enggak ngaku kalau dulu dia pengen jalan sambil pegangan tangan.

Matahari bersinar terik. Ada payung terlipat di dalam tas, tapi Shira enggan mengeluarkannya. Payung itu untuk melindungi kita dari guyuran hujan, bukan panas matahari, begitu ucapnya selalu.

Di depan sana, Taman Maluku. Teduh. Hari itu, memori yang lain. Mereka berjalan dari Alun-Alun. Enggak ada kerjaan banget! Botol-botol dingin berembun berdenting, menggoda untuk ditelanjangi. Kalau rasa jeruk atau stroberi begini sih Shira suka. Di atas tanah yang membukit mereka duduk. Ngaso. Minum. Ngemil. Taman Maluku siang hari oke-oke saja. Nongkrong pun enggak bikin tengsin. Asal bukan malam-malam.

Sekarang sih enggak mungkin nangkring di tempat itu lagi. Sendiri, pula. Entar disangka kesiangan. Atau kepagian? Salah-salah ada yang nyamperin. Neng, Neng, ikut Om yuk!

Jadi Shira jalan saja menyusuri trotoar. Lapangan Saparua. Di ujung sana, perjalanan berakhir. Shira mengeluh dalam hati. Berjalan sendirian bikin capek, batinnya. Dulu dengan Adrian tidak secapek ini, karena mereka ngobrol sepanjang jalan.

Perempatan. Sebuah angkot putih dengan strip hijau di bagian bawah. Riung Bandung – Dago. Shira mengayunkan lengannya menyetop, lalu naik setelah angkot berhenti. Duduk sambil mengembuskan napas lega. Fiuh! Di dalam angkot hanya ada dua penumpang. Dua pelajar SMA putri yang saling sibuk dengan HP-nya masing-masing. Shira duduk di ujung belakang lagi. Kedua kakinya diselonjorkan. Betisnya berdenyut pegal. Sakit di telapak kiri yang selalu muncul setiap ia terlalu capek berjalan atau berlari, mulai menyerang. Sudah lama kakinya tidak dipakai berjalan-jalan. Dulu dengan Adrian selalu jalan. Jalan yang benar-benar jalan.

Angkot membawanya kembali ke Dipati Ukur. Agak jauh dari Kampus Unpad dia berhenti. Shira turun. Lalu menyeberang. Halte. Dulu mereka naik angkot itu kembali ke kampus untuk menonton acara musik. Sekarang tidak ada. Lagipula kalaupun ada, Shira tidak mau menonton sendirian. Jadilah ia menghampiri gerobak batagor yang biasa mangkal di sana.

“Dibungkus ya, Pak, seribu lima ratus, jangan pake acar.” Lalu duduk, menunggu. Bis belum datang. Di sebelah kirinya ada gerobak minuman. Adrian pasti membeli sebotol. Atau kadang-kadang dia beli semangka, gerobak yang di sebelah sana itu. Di cuaca sepanas itu pasti enak makan semangka. Tapi warnanya tidak merah, Shira melihat. Tidak berhasrat. Pasti tidak manis!

Di sebelah kanan Shira, sesama pemesan batagor duduk, berdua. Mereka tampaknya mahasiswa, perempuan.

“Pokoknya jangan bilang gue ke Supratman, ya, entar dia ngamuk.”

“Emangnya kalian mau ke mana sekarang?”

“Tau nih, gimana dia aja. Urusan Rio sih entar deh gue pikir alesannya.”

“Lagian lo nekat amat sih, udah enak punya cowok kayak Rio, masih mau juga sama … siapa tadi namanya?”

“Ivan. Eh, iya, makasih, Pak. Ya abis sayang aja gitu, kapan lagi coba gue punya cowok artis.”

“Cih, artis! Baru nongol di audisi AFI aja udah dibilang artis.” Cewek itu mencibir, lalu bangkit. Yang lain menyusul.

“Emang apa salahnya kalo gue mendua?”

Mendua. Ya. Apa salahnya dengan mendua? Tapi apa salah juga kalau Shira ingin ia dan Adrian saling setia dan jadi pasangan serasi? Seperti yin dan yang. Romeo dan Juliet. John Thomas dan Lady Jane.

“Neng?”

Shira terperanjat. Mengucap maaf sambil buru-buru merogoh saku dan menyodorkan uang. Bungkusan dalam kantung plastik diterima. Untuk camilan. Camilan yang mengenyangkan! Jatinangor jauh, man!

Lalu dihampirinya gerobak minuman. Melongok ke tempat penyimpanan minuman dingin. Sebotol Coca Cola bertengger manis di antara minuman tak bersoda. Dingin. Wajah Adrian membayang. Shira mengambil sebotol air mineral, membayarnya, lalu berbalik. Bus baru saja datang dan berjalan pelan sampai pintunya tepat berada di hadapan Shira. Adrian biasanya duduk-duduk di luar dulu sambil merokok, menunggu saat pemberangkatan, sementara pengamen di bagian depan bus tetap bernyanyi, entah sudah lagu yang keberapa. Yang pasti selalu Sheila on 7. Selalu.

Shira duduk, bangku dekat pintu belakang. Dia dan Adrian selalu berebut kursi dekat jendela. Kini dia duduk di sana.

Shira tersenyum sendiri. Mencari posisi duduk yang nyaman. Ah, untung sekarang sudah ada bus AC.

 

29 September 2004 – lagi kangen Bandung

Tags: bandung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kala Senja
34773      4897     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
KEMEJA BIRU
153      98     0     
True Story
Warna baru kesukaan Gelis ternyata Biru, pekat maupun lembut, Gelisa Sundana Cloura Naurza Purmadzaki sangat menyukai warnanya. Gelis sedang jatuh cinta, di kampus Pak Nata tidak berdiri untuknya, hanya melewatinya begitu saja. Gengsi dan buang muka adalah kemahiran Gelis. Bagaimana cara Gelis berhenti berpaling dari Pak Natapurna Pradiksa, seorang dosen muda yang senang memberikan senyuman dan...
Jalan Menuju Braga
335      256     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Fix You
946      571     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...