Angin malam terasa sangat menyejukkan tubuhku, di teras rumah ini aku duduk menyendiri. Menatap layar laptop yang sudah menjadi rutinitasku setiap malam. Sesekali mataku memerhatikan hewan-hewan yang bermain di sekitarku. Sesekali pula aku menyapa orang yang lewat di depan rumah.
"Memeriksa perkara di persidangan dilihat dari aspek akademis adalah sebuah penelitian ilmiah yang harus memiliki ciri-ciri penelitian ilmiah yakni logis, sistematik dan methodologis", kata seorang pakar hukum. hal inilah yang terkadang terabaikan, sehingga terkesan pemeriksaan perkara sekedar rutinitas kerja.
Senyum tipis terukir di wajahku kala membaca status facebook yang sudah ribuan kali kulihat. Status-status yang membuatku senang, sedih, bangga, dan perasaan lainnya dicampur adukkan menjadi satu. Kulihat pula komentar yang tertera disana, komentar yang membuat hatiku semakin pilu yang dimana sebagian besarnya menyatakan bahwa mereka berduka cita. Sangat miris rasanya saat aku membacanya. Mataku terasa panas, genangan air terasa menumpuk dikelopak bawah mataku. Aku selalu merasakannya tiap kali membuka profil facebook bernama Sayuruddin Daulay ini. Padahal ini bukanlah pertama kali aku membacanya. Aku mulai menerawang mengingat masa lalu, membiarkan laptopku tetap menyala dihadapanku. Terpaan dingin angin barat di malam ini kian melarutkan lamunanku.
Saat itu aku yang merupakan anak bungsu serta anak perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara diabaikan oleh ketiga kakakku yang asyik menonton film laga. Mereka tidak menjawab apapun yang aku katakan, bahkan saat aku bertanya PRpun mereka mengabaikanku, bahkan memarahiku karena mengganggu mereka. Akupun menangis dan tidak mau melakukan segala hal. Meski dibujuk dan diajak bercanda aku hanya diam di kamar.
“Nun, ayo makan” ujak kakak ketigaku. Aku diam seribu bahasa, enggan untuk menjawabnya. Meski cacing di perutku sudah meronta ronta untuk diberi makan, namun rasa gengsi mengalahkannya. kakakku tidak menyerah, ia melompat-lompat di atas tempat tidurku agar aku menanggapinya. Namun aku tetap diam tak bergeming dan memilih untuk mewarnai gambar yang telah kubuat. Tak hanya kakak ketiga, dua kakak lainnya pun ikut membujukku. Aku hanya mengabaikannya, tanpa menjawab. Akhirnya mamaku pun turun tangan, ia masuk ke kamarku, aku yang sedang berbaring ditempat tidur langsung berpura pura tidur.
“Nun, makan dulu mama masak ayam gulai loh, masa nggak dimakan” ujar Mama. Aku menelan ludah mendengarnya, itu makanan kesukaanku. Oh ayolah kenapa harus saat aku gengsi untuk keluar kamar ada makanan yang membuatku enggan menolaknya. Namun aku tetap diam, meski aku merutuki diriku dalam hati. Mama juga menyerah dan keluar dari kamarku. Perutku mulai mengeluarkan alarm yang memaksaku untuk mengisinya. Aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, perutku terus berbunyi. Akupun menyerah, aku tidak mau mati hanya karena kelaparan, dan akan muncul artikel berjudul ‘seorang gadis berusia 11 tahun tewas akibat merajuk’ itu tidak lucu. Saat aku duduk dan hendak berdiri aku mendengar suara kenop pintuku dibuka. Layaknya kilat aku segera kembali berpura pura tidur. Seseorang duduk dipinggir tempat tidurku. Ia mengelus kepalaku halus. Aku sangat mengenal siapa ini.
“Bolukku” panggilnya lembut. Aku diam tak bergeming, padahal aku ingin sekali memeluknya.
“Bangun dulu ayok makan,” ujarnya menepuk-nepuk pelan pipiku. Akupun membuka mataku, terlihat sepiring makanan ditangannya.
“Nggak lapar kok” jawabku singkat, dimana logika dan hatiku tidak bisa bekerja sama. Logika mengatakan aku harus makan karena aku akan sakit, namun hatiku mengatakan tidak, ingat gengsi. Dan hatikulah yang menang. Tapi Mataku tidak bisa lepas dari makanan itu, ia terus melirik kearah makanan tersebut.
“Ya karena belum laparlah bagus makan. Ingat hadist rasul makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Tapi hebat ya udah jam 11 belum lapar. Ayo aaa…” ujar nya sambil mengangkat sendok hendak menyuapkannya padaku. Aku merasa kembali ke masa kecil, dimana aku akan berlari lari sambil makan dan mama akan kewalahan mengejarku kesana kemari. Aku tersenyum mengingat hal itu.
“Ya kalau papa maksa” ujarku akhirnya lalu membuka mulutku dan melahap makanan itu. Papa pun tersenyum dan menyuapkan makanan itu mulut kecilku. Papa melontarkan beberapa candaan selama aku makan, aku bahkan sempat ersedak karena candaannya, meski bisa dikatakan candaannya garing.
“Kenapalah nggak mau makan tadi?” ujar papa setelah sulangan terakhir. Otomatis mulutku memonyong kedepan. Papa tertawa dan mencubit mulutku yang memonyong.
“Ya Nurul diabaikan sama abang, padahal kan Nurul cuma mau tanya PR. Tapi malah dimarahin” Ujarku kembali menangis. Papa mengelus kepalaku lembut serta mengusap air mataku. Bak embun dipagi hari. Ia tersenyum membuat siapapun yang melihatnya akan tenang dan merasa sejuk.
“Nurul bolukku, ingat kata-kata papa ya, jangan biarkan rasa sedih menguasaimu, jangan biarkan ego menguasaimu, nurul lah yang harus mengendalikan, supaya nurul jadi orang yang kuat dan tidak mudah kalah” ujarnya. Kata kata ajaib bak sebuah pembersih yang membersihkan segala rasa sedihku. Aku mencerna kata-kata itu dan menyimpannya di memoriku. Aku yakin kata-kata ini akan sangat berguna kelak. Lalu beliau mengajakku berjalan jalan kemanapun aku mau untuk menghiburku. Kami hanya pergi berdua saja. Tujuan pertama kami adalah loket angkutan umum, papa harus memesan tiket perjalanan untuk besok. Meski aku masih tidak rela papa pergi namun aku rasa itu rencana Allah SWT untuk tidak menampakkan semua rencana indahnya. Besok papa sudah harus pergi, kembali ke kota dimana ia bekerja dengan jubah hijau yang dipadukan dengan hitam serta sebuah palu yang siap dipukulkan setelah mengambil suatu putusan. Aku selalu suka saat ia mengenakannya, bahkan aku pernah mencoba dan berkata aku akan memakainya suatu hari nanti. Setelah itu kami pergi ke pusat penjualan buku yang menjual buku baru maupun bekas, karena aku sangat ingin membeli komik Detektif Conan, kami berkeliling mencari sambil menyeruput es blender yang tadi kami beli. Tanpa merasa letih kami menjelajahi daerah ini. Sampai kami mendapat buku yang kami inginkan.
Drrrtt
Lamunanku buyar mendengar ponselku bergetar, aku melihat layar dan terlihat mama menelpon. Aku tersenyum menghapus air mataku yang ternyata sudah membanjiri wajahku dan segera mengangkatnya. Telepon ini selalu kutunggu terutama diawal bulan. Mama menelpon dan mengataka bahwa ia telah mengirim uang saku dan uang sekolahku. Aku berkata ‘iya ma, kenapa cepat sekali?’, meski dalam hati aku berteriak girang. Percakapan kami tentu tidak selesai disitu saja. Aku terus mencicit menceritakan setiap detail hal yang kualami. Bahkan sampai tenggorokanku terasa kering aku tetap bercerita, dan tanpa bosan mama tetap mendengarku. Tak terasa satu jam kami bercengkrama. Akhirnya mama menutup telepon karena sudah mengantuk. Akupun mematikan ponselku.
Mataku kembali terpaku kearah layar laptop yang belum sempat kumatikan saat menelpon tadi. Mengingat bulan dan embunku telah tiada. Bulan yang selalu menyinariku saat aku merasa terpuruk dan merasakan kegelapan, serta embun pagku yang selalu menyejukkan hatiku. Mataku kembali memanas dan meneteskan air bening yang terasa asin, aku membuka foto dan terlihatlah beberapa foto papa bahkan ada fotoku saat masih duduk di kelas 3 sd. Papa terlihat tampan dengan seragam kantor ataupun jubah sidangnya. Tiba-tiba aku teringat akan nasihat terakhirnya dimana aku tidak boleh membiarkan rasa sedih mengalahkanku. Kemudian aku meyakinkan diriku sendiri. Ia sudah tenang dialamnya, seharusnya aku bahagia. Papa lebih cepat dipanggil artinya Allah lebih menyayanginya. Meski aku tidak akan memakai jubah yang sama dengannya kelak, namun aku akan tetap membuatnya bangga dengan seragam lain yang kukenakan nanti. Aku juga selalu bersyukur aku masih punya mama yang selalu ada setiap saat untukku. Meski kini jarak memisahkan kami, namun suatu hari nanti ia akan menggandengku dengan jubah wisudaku dan menggandengku saat aku harus dilepas olehnya.
Kututup laptop dihadapanku lalu menghapus air mataku dan menatap langit gelap yang dipenuhi bintang dan disinari oleh bulan. Aku menghirup nafas sambil menutup mataku. Saat aku membuka mata aku berkata pada diriku sendiri ‘aku pasti bisa melakukannya! Semangat!aku aku pasti bisa membuat papa dan mama bangga, pa liat aja aku akan mengalahkan papa’. Aku beranjak dan masuk ke dalam rumah. Tampak kosong, aku kekamar mandi dan membilas sebagian tubuhku dengan air wudhu lalu melakukan shalat witir. Setelah itu akupun bermain peran dalam khayalan dunia mimpi.
Mampir yuk ke cerita ku, makasih
https://tinlit.com/story_info/2957