10 tahun kemudian, Pandish, Agniya dan Kandini sudah mulai menyelesaikan pengasingannya dan tinggal 1 tahun lagi untuk menyamar. Sambil menunggu Arnaka kembali ke pertapaannya dan Kandini, mereka membangun pondoknya di hutan pohon jati.
Kandini sudah menyelesaikan seni bertarungnya, dia pun pamit kepada Pendeta Condari dan murid-murid disana untuk kembali.
" Kandini, ingat pesan-pesanku!" Kata Pendeta Condari.
" Baik, Pendeta Condari." Kandini pun pergi bersama Javas dan Katif menuju hutan pohon jati.
Keesokan harinya, Kandini sampai di hutan pohon jati. Kandini melihat ada pondok tapi diluar pondok ada Ibunya, Agniya yang sedang membawa sayuran, Kandini pun senang melihat ibunya lagi.
Kandini masuk ke pondok itu untuk menemui ibunya dan ternyata Agniya sedang memasak makanan.
" Ibu, bagaimana kabarmu?" Tanya Kandini. Agniya melihat wajah Kandini yang tampak berbeda dengan biasanya.
" Siapa kamu?" sambil melihat wajah Kandini dan mencoba mengingatnya.
" Ini aku, ibu."
" Kandini!" sambil memeluknya.
" Kau begitu berbeda, nak. Kenapa kamu berpenampilan seperti pria?"
" Ceritanya panjang, bu. Aku akan ceritakan sampai semua sudah datang." Kandini tersenyum. Tiba-tiba Nismara dan Sadina datang membawa air, mereka melihat Kandini dengan heran.
" Siapa dia, Agniya?" Tanya Sadina.
" Dia Kandini dan sekarang dia berubah."
" Benarkah? Tapi kenapa bisa?" Nismara senang tapi kebingungan.
" Ceritanya panjang, ayah Nismara. Ibu, dimana ayah Pundhistira, Bimadara dan Arnaka? Apa mereka belum kembali?"
" Setiap pagi, ayah Pundhistira selalu berdoa di sungai dekat sini, ayah Bimadara masih mencari persediaan yang belum ibu dapat kalau ayah Arnaka masih belum kembali dari pertapaannya."
" Ibu, aku lihat ibu sedang masak, boleh aku membantumu?"
" Baiklah." Agniya tersenyum.
Saat Agniya keluar untuk mencuci peralatan masak sedangkan Kandini memasak nasi, tiba-tiba Pundhistira dan Bimadara datang.
" Salam, ayah Pundhistira dan ayah Bimadara." Pundhistira dan Bimadara heran melihat Kandini.
" Siapa kau? Apakah kita pernah bertemu?" Tanya Pundhistira.
" Itu Kandini anak kita, suamiku." Kata Agniya setelah mencuci peralatan masak.
"
Kandini? tapi kenapa berpenampilan seperti kesatria?" Tanya Bimadara yang kebingungan.
" Aku akan ceritakan saat makan siang. Ayo kita makan, makanannya sudah matang." Kandini dan Agniya menyiapkan makanan. Setelah makan, Kandini menceritakan saat dia belajar bertarung di pondok Pendeta Condari.
Keesokan harinya, Raja Danadyaksa memiliki ide untuk mencoba membongkar penyamaran Pandish, Agniya dan Kandini jadi dia memanggil pangeran dari kerajaan Jaya yang bernama Jarsan untuk menculik Agniya.
Besok adalah hari pertama penyamaran jadi mereka bersiap-siap. Pangeran Jarsan sedang bersembunyi dan melihat Nismara sedang berjaga, pangeran Jarsan pun mencoba mengalihkan perhatian Nismara dan berhasil pergi dari pondok itu. Pangeran Jarsan pun masuk ke pondok itu, ternyata ada Agniya dan Kandini yang sedang menyiapkan makan siang.
" Permisi, apakah ini pondok para Pandish?" Pangeran Jarsan pun masuk ke pondok itu.
" Ibu, ada tamu kerajaan." Kata Kandini.
" Iya benar. Maaf bisa saya bantu, Yang mulia?" Jawab Agniya.
" Aku Pangeran Jarsan dan aku hanya ingin bertamu disini jadi boleh saya duduk?"
" Oh silakan, pangeran. Maaf harus duduk dibawa. Kandini, tolong buatkan minum untuk pangeran!"
" Iya, ibu. Aku akan mengambil air di sungai, ibu." Kandini pun pergi ke sungai.
" Ada tujuan apa pangeran kemari?"
" Aku hanya ingin bertemu para Pandish."
" Mereka mungkin sedang keluar kecuali Arnaka, dia masih belum kembali dari pertapaannya."
" Kalau begitu aku bertemu kau saja." Sambil memegang tangan Agniya dan menggenggam dengan erat.
" Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" Pangeran Jarsan pun menariknya dan membawanya ke kereta. Agniya berteriak minta tolong. Kandini terkejut mendengar ibunya minta tolong, dia pun lari menghampiri ibunya dan ternyata Agniya diculik pangeran Jarsan.
Kandini pun memanggil ayahnya untuk menolong ibunya. Bimadara pun menunggangi Javas dan mengejar pangeran Jarsan. Kereta pangeran Jarsan sangatlah cepat tapi panah yang tiba-tiba muncul itu menembak di depan kereta itu. Ternyata panah itu berasal dari panah Arnaka. Pangeran Jarsan langsung turun dari kereta dan pergi dari arah sebaliknya tapi sudah dihadang oleh Bimadara. Akhirnya pangeran Jarsan menyerah, Arnaka dan Bimadara pun menangkapnya.
Raja Danadyaksa, Dikarna dan Paman Sahkini yang sudah mempersiapkan pasukannya pun menunggu kehadiran pangeran Jarsan. Matahari mulai terbenam, pangeran Jarsan masih belum kembali, mereka pun langsung menghampiri pangeran Jarsan. Mereka mencarinya di pondok Para Pandish tapi pondok itu sudah kosong. Di pintu pondok itu ada surat, raja Danadyaksa mengambil surat itu.
Mereka pun langsung pergi ke hutan pohon beringin. Tak lama kemudian, mereka menemukan pangeran Jarsan yang tubuhnya terikat. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya pun compang camping.
" Ini pasti perbuatan Pandish!" seru raja Danadyaksa.
" Tenang, anakku. Pasti kita akan menemukan mereka." Bujuk Paman Sahkini.
" Tapi paman, matahari mulai terbenam dan kita sudah kehilangan mereka."
" Sebaiknya kita kembali dan memikirkan cara lain untuk membongkar penyamaran mereka." Mereka pun kembali ke kerajaan Nagasta.
Sementara itu, pandish, Agniya dan Kandini bersembunyi di hutan. Mereka masih memikirkan cara untuk menyamar.
" Suamiku Pundhistira, aku menyarankan kalau kita menyamar di kerajaan baru, kerajaan Arpan. Dan aku juga menyarankan kalau kau menjadi perdana mentrinya." Kata Agniya.
" Aku juga menyarankan kalau kakak Bimadara menjadi koki kerajaan." Canda Nismara.
" Kalau aku menyamar mejadi nelayan lagi karena aku merindukan masaku saat jadi nelayan." Kata Kandini.
" Aku akan menjadi pelatih menari saja." Ujar Arnaka.
" Apa? Kak Arnaka akan menjadi wanita?" Tanya Sadina.
" Iya, aku disarankan oleh Kasran. Saat aku ke kerajaan tempat tinggal Kasran, aku disuruh menyamar menjadi wanita ketika Kasran ingin menculik putri dari kerajaan Lagan jadi aku akan menjadi pelatih menari." Mereka pun menyetujuinya atas penyamaran mereka. Akhirnya mereka berangkat menuju kerajaan Arpan.