Gerutuan pelan menemani langkah kakinya menyusuri jalan setapak yang mulai sepi. Tubuhnya menggigil menahan hembusan angin yang membuat bulu kuduknya meremang. Saat inilah ia menyesali keinginannya untuk ikut serta dalam sebuah organisasi. Berangkat saat langit gelap begitupun pulangnya. Yang lebih ia sesali adalah melewati jalan pintas dan kini melihat seorang lelaki tengah dihajar oleh sekumpulan pria bertubuh kekar. Ia segera menyembunyikan diri dibalik dinding terdekat. Dirapalkannya doa agar pria-pria itu segera pergi, setidaknya tidak membuat lelaki itu mati dan membuatnya mendapat masalah yang besar. Benar saja, selang beberapa saat pria-pria itu melintasi jalanan disisi dinding tempat persembunyiannya. Ia menahan nafas ketika melihat satu persatu wajah kelima pria kekar yang sangat menyeramkan baginya.
Bergegas ia menghampiri lelaki yang bersimbah darah itu, setelah memastikan mereka benar-benar tidak terjangkau oleh pandangannya. Sungguh tragis kondisi lelaki itu, tubuhnya seolah berselimut darah. Tak dapat dibayangkannya betapa sakitnya dia saat sadar nanti. Diambilnya ponsel dari saku baju seragamnya yang sedikit lusuh akibat bersembunyi dibalik dinding tadi. Tangannya bergegas lincah mengetikkan nomor darurat. Setelah tersambung, ia menyebutkan alamat lengkap daerah yang kini dipijakinya. Dengan terpaksa, ia harus menunggu datangnya ambulans yang akan membawa serta lelaki itu. Kakinya melangkah mengelilingi tubuh itu, dipikirkannya segala kemungkinan yang menyebabkan lelaki itu dipukuli oleh pria yang ia tebak adalah preman. Apakah dia orang jahat, atau mungkin dia berhutang, atau dia menolong seseorang yang diganggu para pria itu? Suara sirine itu membuyarkan lamunannya, ia segera berdiri mempersilahkan para petugas medis menangani lelaki itu.
"Maaf, bisakah anda ikut dengan kami?" Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan ketika seorang petugas bertanya padanya.
"Saya tidak ada hubungannya dengan dia" ia menelan ludah kasar tidak ingin disangkutpautkan dengan lelaki itu. Namun petugas itu tak peduli dan memaksanya untuk ikut.
"Kami tahu, tapi setidaknya ikutlah dengan kami untuk memberi keterangan" ia mengangguk pasrah mengikuti hingga rumah sakit.
Kejadian malam itu sungguh membuatnya trauma pulang malam. Ia ingin mengumpat pada seluruh perawat yang ada disana. Benar dugaannya, setelah meminta penjelasan mereka menanyakan tanggungan biaya dan memojokkannya. Beruntungnya ia karena lelaki itu segera sadar dan membayar seluruh biaya perawatannya.
Diarahkan langkahnya ke sebuah minimarket yang tidak jauh dari tempatnya berdiri menunggu seseorang yang berjanji menjemputnya. Ia berpikir untuk menunggu dengan ditemani minuman dingin yang menyegarkan. Tatapannya berbinar saat bertemu pandang dengan minuman kesukaannya. Namun harus menelan kekecewaan ketika ada yang mengklaim itu telah menjadi seorang lelaki bertudung jaket.
"Hey tunggu, bolehkah itu untukku?" Biarlah orang mengiranya tak punya malu daripada harus kehilangan sebotol minuman itu. Lelaki yang merasa diajak berbincang kemudian berbalik menghadapnya, Keduanya terkejut.
"Hai, kita ketemu lagi" senyum menawan itu membuat hatinya sedikit meleleh. Ia tersipu melihat wajah rupawan yang beberapa hari lalu dijumpainya bersimbah darah. Lantas lelaki itu mengambil sebuah kartu dari dompetnya, kemudian melirik gadis dihadapannya.
"Ini KTP-mu, terima kasih karena telah menolongku" ujarnya sembari menyerahkan KTP yang sekarang diingat gadis itu diserahkan pada petugas medis sebagai jaminan di rumah sakit.
"Hey? Bolehkah aku meminta nomor teleponmu Altafia?" Ia mengangguk pelan. Diterimanya ponsel lelaki itu dan mengetikkan 12 digit nomor yang telah ia hafal. Lalu diserahkan kembali kepada pemiliknya.
"Oh ya, ini untukmu saja, sepertinya kau kehausan" hatinya bersorak senang saat botol dingin itu telah berpindah ke tangannya.
"Terimakasih" Lelaki itu pergi dengan segera dari hadapannya.
Sejak hari itu, ia semakin intens berhubungan dengan lelaki itu. Tidak pagi, siang ataupun sore, selalu menghubunginya. Terkadang ia tersenyum saat lelaki itu melontarkan kata-kata manisnya. Ataupun kata bijak, bahkan tebak-tebakan lucu yang membuatnya terbahak-bahak sendiri. Dia tidak seperti lelaki kebanyakan yang meminta bertemu. Justru sebaliknya, ketika gadis itu ingin bertemu ia malah menolak. Tidak ada alasan pasti yang dikemukakan padanya. Terkadang hal ini membuatnya kesal.
Minggu pagi ini ia habiskan dengan berjalan di taman kota. Melepas kepenatan setelah seminggu ini dihadapkan banyak tugas sekolah maupun osis, juga memikirkan lelaki yang tidak ia ketahui namanya. Jika dibilang takut atau tidak berhubungan dengan lelaki tidak beridentitas itu, maka ia menjawab tidak, ia yakin lelaki itu adalah orang baik. Semua ini disaksikannya sendiri. Lelaki itu menghentikan tangis seorang gadis kecil yang es krimnya terjatuh dengan menggantikannya yang baru.
"Hai, akhirnya kita bertemu" sontak ia bergeming. Lantas berbalik menghadap gadis itu.
"Hai Altafia, aku senang bertemu denganmu" dalam hatinya, Alta berdecak kesal. Bagaimana seseorang yang awalnya tidak ingin bertemu dengannya, sekarang malah berkata sebaliknya.
"Mengapa kau tidak ingin bertemu denganku tuan misterius?" Awalnya lelaki itu mengernyit bingung, beberapa detik kemudian langsung tertawa lepas.
"Kau sangat lucu, Alta! Dapat darimana julukan itu?" Ia masih saja tertawa, mengabaikan gadis yang kini mulai melangkah meninggalkannya. Ia tersadar segera menyamai langkah kecil Alta.
"Bukannya kau memang misterius, buktinya sampai sekarang aku tidak tahu namamu" langkah mereka berdua terhenti disebuah kursi taman dibawah pohon rindang. Tempat itu dirasa cocok untuk melanjutkan perbincangan.
"Namaku tidaklah penting, yang terpenting kini aku bisa melihatmu lagi" kata-kata sederhana itu mampu membuat Alta tersipu. Lelaki itu tersenyum kecil tanpa sepengetahuan gadis itu. Ia merasa bahagia setelah sekian lama. Gadis dihadapannya adalah jawaban atas segala kebahagiaan dan kegelisahannya selama ini.
"Lalu mengapa kau tidak ingin bertemu denganku?" Tanyanya menuntut.
"Karena aku percaya takdir, tak perlu janji untuk bertemu, buktinya sekarang kita sedang bertatap muka"
"Mungkinkah kita jodoh karena bertemu tiga kali karena takdir?"
"Aku harap tidak, aku ingin berjodoh karena cinta, bukan takdir"
"Sama saja"
"Tidak, jika kita berjodoh karena takdir, kita akan cenderung selalu mengikuti gerak takdir tanpa ada usaha bersatu, namun jika kita berjodoh karena cinta, walau ditentang, kita akan tetap memperjuangkannya" gadis itu terkesima dengan cara pandang lelaki itu.
"Filosofi yang indah, aku suka" mereka saling melemparkan senyuman.
"Tunggulah disini, aku akan kembali" dengan secepat kilat lelaki itu menghilang dari hadapannya. Ia mendengus kesal, lelaki itu penuh teka-teki. Tak lama kemudian, ponselnya berdering, ia telah menebak jika sang kakak menghubunginya. Selesai menelepon, ia beranjak dari tempat itu. Setelah mengedarkan pandangannya mencari lelaki itu. Alta tidak mengetahui, seorang lelaki l terluka dari balik pepohonan.
"Maafkan aku, Alta" bisiknya lirih yang hanya didengar oleh angin. Jika kalian pikir ia meninggalkan gadis itu untuk membeli es krim lalu memakannya berdua dibawah pohon rindang, maka kalian salah besar. Itu tidak mungkin dilakukannya.
Alta mendesah pasrah. Sudah berulang kali ia menghubungi lelaki itu, selalu berakhir sama. Tak ada satupun pesan yang dibalasnya. Memang, sejak tiga hari lalu, pertemuan ketiganya di taman, seolah menjadi akhir hubungan mereka.
Ia beranjak mendekati sang kakak yang sedang asik memandangi laptopnya.
"Kak, ngapain sih, serius banget" sang kakak menatapnya dengan tatapan yang menurutnya sedih.
"Ada apa kak?" Arfan menuntun adiknya untuk duduk disebelahnya. Mata Alta menajam kala ia melihat foto siapa yang ada di layar monitor.
"Kau pasti mengenalnya bukan?" Tanyanya perlahan. Tangan gadis itu mengusap ragu layar monitor yang terdapat gambar lelaki yang ia rindukan. Ia mengangguk setelah benar-benar memastikan jika yang ada di layar itu adalah seseorang yang sama dengan yang dirindukannya.
"Dia Rauf, sahabat kakak" Alta menatap kakaknya dengan terkejut. Jantungnya berdegup berkali-kali lipat lebih cepat dari sebelumnya.
"Dia telah menceritakan semuanya tentang perkenalan kalian" ia masih diam, menyimak dengan serius semua ucapan kakaknya.
"Kau tahu, dia adalah seorang intel negara, hidupnya selalu dikejar bahaya, bahkan hubungan pertemanan kami harus putus karena dia tidak ingin keluarga kita menjadi sasaran, dia tidak ingin kau mengenalnya lebih jauh, kau akan terkena dampaknya, bahkan saat pertemuan kalian di taman kemarin, dia memintaku menghubungimu untuk menjauhkan kalian, dia punya perasaan ke kamu, tapi dia juga tidak ingin kamu tersakiti" sesekali Arfan mengusap air mata adiknya yang terus mengalir dalam pelukannya. Ia dapat merasakan betapa hancurnya hati adik yang selama ini disayanginya.
"Kedua orang tuanya dibunuh sewaktu ia remaja, dan ia akan tetap menjadi seorang intel sebelum ia menyeret pembunuh orang tuanya ke penjara" ia mencium puncak kepala adiknya, menyalurkan kekuatan untuknya.
"Kau bisa menunggunya jika perasaanmu masih ada, tapi ingat selalu jika kau memiliki kehidupan yang masih panjang, jangan sia-siakan itu hanya untuk menanti dia yang tidak tahu kapan akan kembali ke hidupmu" Alta mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya pada sang kakak. Ia berharap mereka akan berjodoh karena cinta. Walau menantang bahaya, ia tidak akan gentar.