Read More >>"> Gloomy
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gloomy
MENU
About Us  

Jo Liyeol Storyline.

-- Oneshot, Typo, Fantasi, Drama.

-- Jimin Park, Yoonji Min, Jungkook Park.

 

 

[]

Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan—

 

 

Agustus 2017.

Hari berotasi maju, menyisakan senja yang berganti malam. Rona hitam melarutkan gelap ke permadani angkasa.

Anak laki-laki itu masih asik berguling di lantai kamar, mencari-cari inspirasi, kemudian kembali pada buku gambar besar dan pensil warna yang berserakan.

Cengir manisnya mengembang lucu, pipinya membulat senang saat mengaplikasikan gambaran imajiner ke permukaan kertas.

Ketika decitan pintu menggema ke seisi kamar, bocah 7 tahun ini tak mengindahkan sama sekali, tanpa peduli seorang pria yang mendekat ke sana.

"Jagoan kecil," vokal lelaki itu tersuara halus. Langkahnya berhenti di sisi sang putra yang abai. Menyingsing celana bahan hitam yang dikenakannya, pelan-pelan ia berlutut, telapak tangannya terulur menepuk sayang helaian pada puncak kepala anak laki-laki ini, "Sedang sibuk? Kurasa sudah waktunya tidur?"

Si kecil menggeleng keras, "Nanti."

Pria itu mengulum senyum, "Oke, kuberi waktu lima menit lagi. Setelah ini naik ke ranjangmu, deal?"

Hening sebentar ketika bocah ini mendengung tipis, menimbang-nimbang tawaran ayahnya. Ia menoleh, mendapati pria 28 tahun itu masih barpakaian rapih dengan tas jinjingnya yang tergeletak di sisi, "Dua puluh menit?"

Si lelaki dewasa menggeleng sambil merekahkan senyuman, "Tidak. Lima menit."

Tak elak ajuannya membuat anak lelaki ini memberengut lucu, "Lima belas?"

Pria tersebut menggeleng lagi sambil menahan tawa.

"Sepuluh?" lagi-lagi gelengan yang pria itu unjuki. Membuat putranya semakin memberengut snobis, "Papa ...," rengekan manjanya tersuara lirih. Tapi laki-laki yang lebih tua tetap kukuh pada pendirian. Menikmati momen bagaimana putranya semakin menggemaskan memohon-mohon padanya, "Delapan menit, Papa, delapan menit. Yah? Jebal*?"

Pria ini menghela napas tipis. Kalah ketika mendapati bola mata itu menjernih harap padanya, "Oke, oke. Delapan menit dan lompat ke ranjangmu setelah itu. Dimengeri?"

Cengir inosen langsung merekah di wajah si kecil, ia mengangguk sekali sambil melakukan hormat pada sang ayah, "Aye-aye kapten!" seruannya terdengar riang membisingi penjuru kamar, kemudian dengan semangat ia kembali mencoret-coret buku gambarnya, lagi-lagi mengacuhkan keberadaan sang ayah. Dan Park Jimin tidak masalah dengan itu selama jagoan kecilnya kelihatan bahagia.

Hening tersuara.

Tatapannya terpaten hangat menatap helaian kelam putranya. Lamat-lamat atensinya teralih, sekembar obsidian itu menelisik sketsa di permukaan kertas gambar, "Calon pelukis andal, menggambar apa?"

Jawaban atas pertanyaannya langsung didapati dari si kecil, "Mama!"

Dahi Jimin mengkerut tipis, rautnya sedikit tidak paham, "Mama?" ulangnya meyakinkan dan buah hatinya mengangguk semangat. Jimin terkekeh singkat karena itu, "Kenapa tiba-tiba?"

Putranya terdiam sebentar, berpikir singkat sebelum menjawab sambil melanjuti gambar, "Teman-teman di sekolah punya mama yang cantik. Seperti mamanya Taehyungie, Pa. Mama yang ada di depan gerbang saat pulang sekolah, mama yang memasakkan bekal buat makan siang, dan mama yang bisa dipeluk habis berlari," Jimin bungkam sebab pernyataan putranya. Lebih-lebih ketika bocah tujuh tahun ini bersuara riang tanpa dosa, "Jungkook juga mau punya mama!"

Jimin merasa dunianya porakporanda. Bumi berhenti berotasi menyisakan ia yang membatu di tempat, udara menghambat suplai oksigen ke paru-parunya melewati jalur respirasi—sebab Jungkook tidak pernah menyinggung perkara ini.

Tapi kenapa sekarang ... ?

Dalam sekejap, nalarnya membumbung dan ia berubah linglung. Merasa bersalah bukan main dengan apa yang mesti dirasakan putranya saat ini.

Tapi suara bocah itu tak sampai hati membuatnya menjadi lelaki cengeng, saat putranya kembali menengadah, menoleh menatapnya, "Papa baru pulang kenapa tidak mandi?"

Membohongi pengelihatan si kecil, lelaki itu mengulum senyum hangat, "Nanti?"

Jungkook mendelik jijik lewat ujung mata, "Jorok," lantas fokusnya beralih lagi pada lembar imajinasi.

Dan Jimin tergelak senang atas ini. Sampai tawa singkatnya perlahan menipis, kemudian lenyap. Meningkalkan senyum getir di paras atraktif wajah mudanya.

Pelan-pelan ia menarik napas, kembali mengelus sayang helaian di kepala Jungkook. Usaha menyampaikan betapa ia mencintai bocah laki-laki ini.

"Jungkook."

"Mm?"

Sepasang netranya menatap sosok cantik di buku gambar putranya. Terkekeh geli sebab itu, "Mau tau rahasia?"

Sambil melanjut goresan, Jungkook mengangguk pelan, "Apa?"

Jimin kembali tergelak tipis, memaklumi fokus buah hatinya yang sudah tertuju pada satu hal. Ia menunduk, berbisik menjanjikan di telinga sang putra, "Soal mama."

Jungkook terbatu, menatap polos buku gambarnya, termangu sebentar kemudian dengan antusias menoleh lagi pada sang ayah, bersitatap langsung dengan pria itu, "Mama? Jungkook juga punya mama? Seperti Taehyungie, Pa?!"

Jimin kembali mengangguk, "Ya ...," senyum itu mengembang lebih lebar sampai mata sipitnya tenggelam, bahagia menyaksikan Jungkook begitu antusias. Jemarinya kembali menyisiri surai kelam si kecil, "Semua makhluk hidup punya mama, Sobat."

Jungkook tergugu sebab ini, citra di binar matanya begitu mendamba akan harapan dan senyumannya merekah manis setelah itu, "Lalu ... mama Kookie ada di mana, Pa?"

Jimin menarik senyum tipis, jemarinya terangkat menunjuk langit-langit ruangan. Lantas Jungkook menengadah, mendapati corak biru muda dari cat dominan kamarnya.

Ada hening menjeda saat bocah ini kebingungan. Sebelum kelopak matanya tertutup cepat dua kali, lantas ia kembali menatap ayahnya mantap, "Surga?"

Ya, Jungkook pernah mendapati jawaban seperti ini dari Im Dayoung, teman sekelasnya. Anak perempuan itu menunjuk langit-langit kelas ketika di tanya Kim-ssaem soal orang tua (saat perkenalan diri di depan kelas, tatkala hari pertama masuk) berkata bahwa ibunya membuka toko ayam dekat stasiun Myeongdong, dan ayahnya tengah menjaga mereka dari surga.

Jungkook belum mengerti maksud dari perkataan ini, dan saat bertanya individual secara langsung. Dayoung bilang kalau ayahnya meninggal kerena sakit, dia dijemput pulang sebab Tuhan lebih menyayanginya dari apapun. Dan yang Jungkook tidak mengerti sampai saat ini, adalah ketika bocah perempuan itu biasa berkata demikian ceria saat mengetahui bahwa ia tidak akan bisa bertemu ayahnya lagi.

Kalau itu Jungkook pasti bakal menangis setiap hari.

Karena melebihi apapun, menurutnya tidak memiliki ibu lebih bagus ketimbang kehilangan ayah.

"Bukan sayang ... tapi yah—sejenis itu," atas tanggapan sarat implikasi ayahnya, Jungkook tersadar dari angan-angan.

Ia mengedip polos, tidak begitu paham pada ucapan sang ayah. Yang ada di memori cerdasnya hanya kenyataan besar bahwa keadaannya dengan Im Dayoung tidak jauh berbeda.

"Apa Jungkook tidak bisa bertemu mama, Pa?"

Jimin terdiam sebentar, menelan liurnya sedikit berat, kemudian jemarinya lagi-lagi mengelus rambut Jungkook, "Entahlah," lantas ia tersenyum usai berkata demikian. Dan si kecil cuma mengedip polos karena itu.

"Lalu apa rahasia soal mama?"

Hening mengudara sebelum Jimin bergerak, mengambil sebuah pensil warna berdasar merah muda yang tergeletak di dekatnya. Menuntun si kecil kembali menatap permukaan kertas gambar. Memperhatikan sang ayah yang mulai membuat sesuatu di sana, Jungkook hanya diam saat ayahnya menambahi garis-garis coretan di kedua sisi gambarnya.

Sampai gerak tangan lelaki itu berhenti, melepas pensil warna tadi asal, membiarkannya menggelinding ke sembarang arah.

Dan Jimin menghela napas memperhatikan gambarnya sendiri, "Ini ...," ketika menyadari Jungkook yang mendongak menatapnya bingung, pria itu merekahkan senyum hangat. Buat kesekian kali menggusak sayang tatanan kelam di kepala putranya, "Mama itu punya sayap, Jungkook."

...

Jimin menutup buku dongeng di tangannya, menegapkan duduk dari bersandar di kepala ranjang. Dengan hati-hati menaikan selimut buah hatinya sampai batas dada. Jemarinya beralih menyingkirkan poni Jungkook sebelum mengecup sayang kening bocah itu.

Senyum Jimin merekah tipis ketika menyaksikan wajah damai jagoan kecilnya. Pria itu menyingkirkan diri pelan-pelan, merambat perlahan turun dari ranjang kemudian melangkah menjauhi putranya.

Nyaris menuju pintu kamar, namun langkahnya beralih dalam sekejap ketika obsidiannya menangkap buku gambar dari alat-alat yang ia bereskan sebelum Jungkook melompat ke kasur.

Buku itu masih terbuka di lembar yang sama, memperlihatkan bagaimana gambarnya berpadu dengan gambar jagoannya. Menghasilkan sosok sang figura malaikat yang entah kenapa selalu terasa dekat.

Jimin tersenyum, menutup buku tersebut dan keluar dari kamar Jungkook.

Melangkah ke pekarangan belakang rumah mereka, halaman di mana dahulu kala pernah ada kenangan manis di sana—antara dua makhluk yang tidak semestinya bersatu. Jimin mendudukan diri pada kursi gantung, menyandarkan kepala menatap betapa menyedihkannya angkasa di perkotaan yang kosong.

“Kau ... apa kabar?” maka fokusnya hanya tertuju pada cahaya redup sang rembulan, saat lamunannya mulai mengambil alih ia berdeham, “Jungkook tumbuh dengan baik tanpa mempedulikanmu. Tapi—yeah—maaf, hari ini ... dia tau siapa mamanya. Kau ... jangan marah ya?” ia tertawa singkat. Kemudian menutup kelopak matanya lelah, mengenang kembali jejak-jejak monokrom histori kelamnya yang dimulai dengan penuh warna.

 

;:;:;

flashback.

.

 

Agustus 2007.

Panti rehabilitasi.

Nyaris satu tahun ke belakang ia sudah membuang waktunya di tempat ini. Malam berotasi menyisakan gelap yang menjadi-jadi, Jimin terbaring pada ranjang besi yang sama, retinanya menyalang marah menyaksikan kelipan bintang di luar jendela kamar—gemerlap yang seakan menertawakan jalan hidupnya.

Ia meringkuk, membekap kepala dengan bantal dan mengumpat marah di sana, lagi-lagi mencerca Sang Maha Esa hingga kerongkongannya perih luar biasa. Jimin melirih, tersengguk-sengguk dan membiarkan air matanya mengalir lalu terserap kain dari bantal yang menimpanya.

Dia, brandalan muda yang terus menyalahkan Tuhan ditiap jengkal napasnya berderu putus-putus, petinju underground yang tidak pernah tenang dalam menjalani hidup, pecandu narkoba yang nyaris kehilangan nyawa ketika hangover dijalanan tikus tengah kota.

Tapi Park Jimin tidak akan tau bahwa Tuhan yang dibencinya memiliki kasih sayang terlampau besar.

Hingga satu hari di kamar yang sama, yang menyambut retinanya bukan hanya langit-langit monoton menyebalkan; namun juga sesosok makhluk cantik dengan sayap putih yang menekuk di belakang punggung. Berekspresi pongah lewat wajah manisnya yang ramah, menatapnya seolah barang hina namun juga mengagungkannya, dan ketika sosok itu bersuara lewat vokal seraknya yang halus; Jimin membatu. Kelewat tidak mengerti akan bagaimana mendeskripsikan figur itu.

“K-kau siapa?” maka hanya ini yang bisa dikeluarkan kerongkongannya dengan mata tak berkedip.

Sosok itu tak berekspresi, namun tutur wajahnya melambangkan gelap dan terang di waktu bersamaan. Tangan sepucat kapasnya terulur, “Min Yoonji, ksatria Tuhan,” berucap singkat. Jimin tertegun nyaris tersedak liur sendiri mendengar pengakuan figur itu, “Malaikat yang turun ke bumi berbekal titah Namjoon Kim, sang malaikat tertinggi. Untuk menghampiri jiwa-jiwa rapuh yang sekarat demi membimbing mereka agar kembali kuat dan jernih,” jeda, ketika sosok ini melanjuti; Jimin benar-benar menjadi bungkam, “Tugasku: diperintahkan untuk membimbingmu, Park Jimin-ssi.”

 

Saat itu Yoonji hanya belum tau bahwa pertemuan tersebut akan menjadi malapetaka terindah dalam hidup panjangnya.

...

Dia, Park Jimin. Pria yang menghabiskan masa mudanya dengan sia-sia tanpa arah, jatuh pada jurang dosa dan sekarat dipenghujung kesadarannya melihat dunia. Dia yang terbangun di panti rehabilitasi untuk menyembuhkan ketergantungannya, dia yang akhirnya merenungi apa-apa saja yang ia perbuat sebelumnya.

Sampai tanpa sadar. Setelah hari itu, Jimin mengakuinya, seiring hari-hari berlalu hatinya terenggut pada sosok malaikat yang diutus kepadanya. Hingga Jimin mencintainya dan rela memberikan seutuh jiwa teruntuknya.

Dan Min Yoonji sendiri paham bahwa ia ksatria Tuhan. Tapi ia hanya tidak mampu mengendalikan diri saat hatinya terlanjur jatuh pada figur seorang manusia.

Sebab perasaan Jimin yang terperi tulus padanya mengalahkan segala kekuatan Yoonji untuk tetap teguh. Hingga menjadikannya bimbang dan terlupa.

Namun ketika itu Yoonji hanya paham, kalau kenyataan berkata bahwa perasaan dalam jantung hatinya adalah salah—maka ia yang bakal membenarkan dengan caranya.

Bersama-sama Park Jimin, juga buah hati mereka dalam rahimnya.

Sebelum Yoonji menerima konsekuensi dari keberaniannya melanggar aturan Tuhan. Untuk terjebak di surga tanpa sayap-sayap halusnya yang lagi berfungsi.

 

.

flashback off.

;:;:;

 

Jimin membuka klopak mata perlahan, mendapati sang rembulan masih ada di tempat yang sama.

Dan ketika obsidiannya berpendar—senyumnya merekah hangat, menyaksikan sebuah bintang yang muncul tak jauh dari benderang bulan. Berkilap terang sekali seakan memberitahu kalau ia membicarakan ribuan kata.

Maka pria itu hanya tergelak singkat sambil memandangi si bintang yang tak kunjung lelah, “Iya-iya, aku tau kau disana. Jangan banyak omong, aku tidak mengerti bahasa bintang—paham?” Jimin tergelak ketika pancaran dari benda antariksa tersebut menyala lebih terang, “Apa sekarang kau sedang mengomeliku? Hei, Nona—maaf mengecewakan, tapi Jungkook selalu bahagia tanpamu. Dan apa ini? Sampai mulutmu berbusa juga percuma saja, aku sudah bilang ‘kan? Serius aku tidak mengerti sama sekali! Mestinya kau pakai media lain kalau sungguhan merindukanku,” hardiknya main-main disambut gelak tawa.

Maka Jimin menghabiskan waktu untuk berbicara sendiri, menanggapi bagaimana si bintang terus berkedip padanya sepanjang malam.

Sebagaimana ia menghabiskan nyaris delapan tahun kebelakang dengan cara yang sama buat melepas rindu pada malaikatnya.

 

 

.

.

Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.

Prosa getir dari sang malaikat yang jatuh hati pada makhluk bumi.

Ia yang telah melupakan konsekuensi antar dimensi, melanggar hukum atas determinasi Yang Kuasa.

Hingga mengorbankan sayap-sayapnya sebagai pembuktian cinta yang nyata.

 

 

 

end.
*Jebal = Please.

 

Jo Liyeol.
Jakarta, 19 Agustus 2017

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Something about Destiny
124      106     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
NADA DAN NYAWA
13214      2512     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
The Diary : You Are My Activist
12896      2226     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
477      335     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Ketika Kita Berdua
31635      4307     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Under a Falling Star
707      434     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Sisi Lain Tentang Cinta
721      388     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Story Of Chayra
8931      2629     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
Gue Mau Hidup Lagi
354      223     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Aku Benci Hujan
4944      1410     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...