Read More >>"> Kau dan Aku Tahu Itu
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kau dan Aku Tahu Itu
MENU
About Us  

 

Cerita ini adalah kisah nyata dari seorang sahabat dalam perjalananya berhijrah. Sebut saja ia Ailie. Banyak kendala yang harus Ailie lalui, bahkan ia pernah trauma melihat laki-laki selain ayah dan kerabatnya sendiri. Pendidikan rendah di lingkungannya membuatnya tumbuh menjadi gadis yang tertutup, pendiam, dan selalu menerima. Cerita ini, akan menjadi bentuk mimpinya yang bisa ia sebarkan kepada orang lain dalam melewati kesulitan berhijrah.

            Hening, ruang perpustakaan tempatku berdiri terasa senyap. Hanya ada seorang penjaga yang duduk sembari melihat daftar kunjungan siswa yang hilir mudik meminjam buku. Sedang aku adalah alumus di sekolah ini sehingga tidak perlu cemas dan buru-buru kembali ke kelas jika bel sudah berdering. Aku menyalakan ponsel dan sudah kudapati sebuah pesan yang cukup mengangguku sejak kemarin.

“Aku mau tanya, fast respon yak.” Pesan itu sudah kubaca dari akun medsos dan buru-buru kututup layar ponselku begitu kudengar langkah kaki seseorang datang dari balik rak buku besar. Aku maju selangkah dari tempatku berdiri. Bukan main kekagetanku tidak hilang di situ saja begitu kudapati orang yang mengirim pesan itu sudah berdiri di belakangku, lantas aku segera mengambil sembarang buku yang ada di rak depanku.

“Kamu lagi online gak?” Pesan kembali masuk dan mau tidak mau aku berbalik dan menghadapnya.

“Ada apa? Mau tanya apa?” Tanyaku cemas dan itu tidak membuatnya bereaksi hebat sebagaimana rasa kagetku tadi.

“Kebetulan,” kata laki-laki bernama Sakitah sambil menerawang jauh ke depan, entah apa yang sedang ia coba utarakan sejak kemarin setelah berkali-kali memintaku mencarikan film dan drama korea yang menjadi candunya akhir-akhir ini.

Aku masih setia mendengarnya meski kututup wajahku dengan buku yang pura-pura kubaca. Rasa tidak percaya selalu menghinggapiku setiap kali aku berpapasan dengannya. Rasa was-was, cemas, dan takut yang mendalam harus kulewati bersama orang itu, satu tahun lamanya dalam ruang yang sama, di kelas 12 di mana hatiku tertambat dengan sahabatnya sendiri. Aku tidak peduli ia membaca semua kegugupanku sekarang, tapi yang selalu melintas di benakku adalah kenyataan pahit yang pernah kualami, menjadi korban pelecehan olehnya.

Jauh sebelum aku mulai memakai kerudung. Aku selalu berpapasan dengan orang seperti dirinya. Menjadi saksi kejahatan anak brandalan dengan anak kelas 5 SD, menjadikan ia bulanan-bulanan pelecehan hampir setiap hari dan berlangsung berbulan-bulan lamanya. Tapi bodohnya aku yang tidak tahu menahu soal itu hanya bisa diam dan berusaha membujuk anak itu untuk menjauhinya tapi ia tidak bergeming, kami tanpa daya. Aku bersyukur waktu itu wajahku hitam, jelek, dan gendut. Tapi aku merasa bersalah dengan anak kelas 5 SD yang yang tidak bisa kubantu, meski untuk berteriak suaraku tidak mau keluar. Bahkan dua tahun kemudian giliranku tiba, seolah menanti waktu yang tepat hingga bocah SD mengalami prapuber, aku bertemu dengan seorang pedofil yang mengikutiku hingga 200 meter ke tempat terpencil dan karena Allah aku selamat. Perasaan takutku diubahNya menjadi bingung dengan membiarkanku wajah datar polos meski bapak paruh baya itu meletakkan satu tangan kiri di tas punggungku sembari mengantar bocah 12 tahun bersepeda dengan senyumnya yang akhirnya luntur karena itu, karena ia tidak berhasil mendapatkan ketakutan dari seorang bocah. Bahkan anak SD saja pasti tahu, bapak itu tidak sedang salah mengenali cucunya atau tidak sedang mengira berjumpa anaknya. Tapi ada niat terselubung lewat tatapan matanya. Setidaknya jika ia menggapku sebagai orang yang dikenalnya ia akan menyebutkan suatu nama, bukan diam dan hanya terus-menerus tersenyum aneh sambil memandangiku dan mendorong sepedaku dengan satu tangannya. Dan yang terburuk adalah kenyataan bahwa temanku terindikasi memiliki penyakit semacam itu.

Kebiasaan terburuk Sakitah adalah menonton video porno dan blue film. Namun akhir-akhir ini ia semakin menjadi-jadi. Sekitar enam bulan yang lalu, ia entah dengan sengaja atau tanpa sengaja memegang lututku. Masalahnya adalah, ia melakukan itu hingga dua kali tanpa pernah berkata maaf atau apa ketika semua orang berada di kelas sibuk menonton film edukasi dari guru. Tidakkah ia tahu pakaian apa yang kupakai? Seragam sekolah lengkap dengan kerudung panjang yang menutup rambut.

“Kalau misalnya ya, ada cowok yang care banget sama kamu sebagai sahabat kamu percaya?” Dengan santainya tanpa basa basi pertanyaan itu meluncur di mulutnya, membangunkan cerita lama yang sudah kukubur hidup-hidup.

Intuisi, hanya itu alasanku bertahan dari kejamnya dunia yang meski sudah menutup aurat dari ujung kepala hingga ujung kaki sekali pun masih saja berjumpa dengan brandalan yang berusaha menghentikan motorku. Mereka tidak segan-segan maupun malu membentangkan tangannya di jalan desa yang hanya dihuni oleh komunitasnya saja. Jika bukan karena pengendara motor dari arah yang berlawanan bisa jadi aku sudah menjadi korban mereka.

“Enggak.” Jawabku lugas tegas.

Aku bahkan kesulitan menganggapnya sebagai teman. Memangnya siapa yang dia maksud? Sahabat yang mana? Diakah? Sakitah?

“Kit, emang siapa yang kamu maksud—”

“Iya kan? Kamu enggak percayakan. Pasti ada maksud lain.” Bahkan kata-kata yang sulit kulontarkan tadi diserbu dengan kalimatnya sendiri.

Maksud lain yang mana yang dia maksudkan? Dia bertanya apa alasanku tidak menjadikan seorang laki-laki sahabat? Begitukah. Sungguh, aku benar-benar merasa dunia kami berbicara ini sunguh berbeda. Seperti dia berada di dimensi lain. Tidak lihatkah ia? Bahkan untuk berbica berdua dengan laki-laki aku enggan apalagi terhadapnya. Bahkan aku hanya mampu mencintai seseorang dalam diam selama 2 tahun terakhir ini.

“Karena gak ada bukti.” Aku menutup buku yang pura-pura kubaca.

“Maksudnya?” Sekarang giliran dia yang bertanya-tanya sungguhan tentang maksudku.

“Jadi dari tadi kamu mau tanya ini?” Pikiranku mulai kacau, bayang-bayang hidupku selama SMA dikenal sebagai orang yang pendiam dan bully-able seolah tampak di matanya.

“Kamu kira apaan? Enggak boleh?”

“Aku kira ada yang lebih penting.”

“Ya ini penting buat aku. Masak iya aku tanya tentang pribadi kamu. Kan enggak mungkin.”

Pribadi? Sendirian, aku berkendara di jalan sepi berpapasan dengan seorang pejalan kaki yang tiba-tiba berjalan ke tengah jalan dan sudah memegangi celana depannya. Intuisiku kembali bekerja, mau tidak mau aku hanya akan tetap melaju tanpa menghentikan stang kemudiku yang bisa saja oleng karenanya. Rasa gugup dan takut ini tidak seberapa dengan kali pertama aku nyaris dibegal orang. Pertama kali, aku menyebut semua laki-laki sebagai penjahat dan musuh terbesar.

“Jadi kamu tanya kalau sahabat cewek itu ada apa enggak gitu?” Tanyaku meluruskan di mana letak pembicaraan ini sebenarnya.

“Ya pokoknya lawannya.” Tiba-tiba api dalam kerongkonganku mulai menyala nyaris ingin kusemburkan ke wajahnya. “Iya, secara pengalaman pribadi pun gitu. Aku kalau enggak penting enggak ngomong.” Sebentar? Apa? “So, kalau misalnya aku sampe perhatian sama cewek ya berarti kan ada maksud lain.”

Aku hampir melempar buku ke arahnya, cewek yang mana sekarang? Aku? Mengobrol di kelas saja kami hampir tidak pernah jika bukan karena tugas kelompok atau hal-hal mendesak lainnya. Di mana letak salahku? Aku berusaha menjaga jarak dengan pesakit sepertinya. Mungkinkah, ini adalah balasan selama aku berusaha menjaga diri dari pertemanan ini? Inikah balasan aku selalu memaafkan orang meski dia tidak bilang? Meski mungkin dia tidak pernah menggap pelecehan itu pernah terjadi?

“Aku gak ngerti, kok sampai kamu tanya-tanya gitu.”

“Ya gimana ya ... aku curhat gitu ke kamu.” Bahkan menjadi temannya aku enggan apalagi ia ingin menjadikanku tempat curhat? Bagaimana bisa dia melakukan hal ini? Meski awalnya aku merasa dia punya rasa denganku, inikah maksudnya yang sebenarnya?

“Buat aku pertanyaanmu itu kayak tes, gak beda jauh sama temen yang suka bully.” Sudah kuduga begitu kalimat itu kukatakan ia tersenyum sinis.

Selama ini aku hanya menggapnya seperti teman meski itu sulit kupercaya, meski sangat sulit untuk memaafkannya, semua candaan dari ejekan yang bisa membuatku tertawa tidak mempan jika dia yang mengatakannya. Semua itu seperti bensin yang menabur di api kecil. Semua peristiwa buruk itu seolah terputar lagi lewat tatapan matanya. Semua ketakutan yang sudah kutenggelamkan seolah kembali naik ke permukaan. Pertama kali, kejadian terbesar dalam hidupku, awal dari trauma dan kebencian. Muara bagi ketakutan semua wanita.

Pukul sepuluh malam, aku berkendara sendiri demi menjenguk saudara yang tinggal tidak jauh dari rumah, kurang dari 1 km. Jalanan tampak lengang, tidak ada tanda-tanda mencurigakan lainnya. Hanya beberapa pengendara sepertiku keluar menelusuri persawahan hingga sorot lampu depan sebuah motor melaju di belakangku. Napasku berlari-larian, mataku tidak dapat melihat jalanan, jantungku terus-menerus melompat-lompat hingga seolah ada bisikan untuk terjun saja ke sungai di persimpangan jalan depan. Seseorang menarik tubuhku, tanpa senjata badanku lumpuh seketika. Aku hanya dapat mendengar suara tawanya dan mengenali dengan jelas jaket hoodie abu-abu.

“Jadi gini ceritanya, aku punya temen, kita jarang banget chattingan. Trus tiba-tiba dia chat duluan. Aku kan pengen fokus kuliah.” Seterusnya hanyalah ocehan isi hatinya yang tiba-tiba dikeluhkan padaku, pada orang yang sangat membencinya lebih dari apapun.

“Jadi, kamu tanya aku karena mirip dia gitu?” Sejurus kalimat yang sudah di pikiranku akhirnya keluar.

“Jadi gimana pendapatmu tentang orang yang aku ceritain? Aku cerita ke kamu karena aku pengen denger pendapat dari kamu aja.”

“Kayaknya kamu juga ngerti deh,” jawabku ketus.

“Bukan karena kamu mirip dia atau bukan.” Tiba-tiba dia menyela, seolah kata miripanlah yang menjadikan alasan amarahku mendadak datang.

“Tanya aja langsung ke orangnya.” Aku beranjak, mengepak barangku yang berceceran di samping meja tempatku berdiri.

“Anjay.” Katanya sambil tertawa, menjijikkan gerutuku kesal dalam hati. “Pendek banget mikirnya.”

Duniaku yang gelap gulita oleh ketakutan yang luar biasa selama bermenit-menit lalu lenyap dengan umpatan yang justru membuatku semakin ingin mengambil hakku sebagai perempuan, sebagai teman yang seharusnya. Sejatinya, aku ingin meneriakinya, mematahkan pandangan jelek tentang perempuan sebagaimana ia selalu mengirim video “anatomi” tubuh wanita ke grup media sosial. Memakinya sebagai teman yang menginginkan kemurnian dalam berteman, bukan untuk mendapatkan nilai ujian bagus—ia mengemis karenanya. Benar, Sakitah bukanlah orang yang pandai. Dia tergolong lemah dan pas-pasan dalam intelektual. Ia bahkan memohon pada guru-guru agar bisa masuk kelas IPA. Tapi ia menutupi segalanya dengan pandangan islam yang kuat, yang selalu ia junjung tinggi ke mana-mana, hingga siapapun akan tertipu oleh muslihatnya. Kudengar dari seorang informan ia pernah berhubungan gelap dengan seorang wanita entah berantah. Mungkin itu yang menjadikannya seperti sekarang. Seharusnya ketika pelecehan itu terjadi padaku, aku memakinya. Namun temanku mencegahku, karena di waktu yang sama ia juga mendapat pukulan batin karenanya. Aku tidak tega, takut jika itu justru akan memperpanjang masalah dan membuatnya sedih atau bahkan mengalami trauma sepertiku.

“Maaf aku gak menerima umpatan dan pertanyaan gak penting.”

Sakitah tidak langsung menerima, seperti kebiasaanya. Walau sedang kesal ia akan tetap berbicara.

“Maaf kalau merasa aku umpati dan makasi karena sudah denger curhatku.” Kalimat terakhirnya yang membuat hatiku lega dan keluar dari kepengapan itu.

Meski aku ragu dengan apa yang akan ia lakukan nantinya. Setidaknya ia tidak akan berani bertanya-tanya dan bergaya sok dekat seperti bagaimana ia berbicara padaku. Seharusnya ia mengambil pelajaran dari sikapnya sekarang, meski itu berarti menjauhkan pertemanan kami. Bagiku itu tidak mengapa, dengan ikhlas aku rela dibenci olehnya. Bahkan jika sahabatnya, orang yang kucintai diam-diam juga menjauhiku karenanya, insyaallah aku rela. Karena cinta yang sejati diberikan Allah ketika orang tersebut mampu memiliki dan mencintai dirinya sendiri. Melindungi dirinya dari fitnah dan pelecehan. Allah pasti akan melindungi orang-orang yang hijrah di jalannya. Hijrah bukan karena untuk mendapatkan empati orang lain, bukan untuk melindungi diri dari kejahatan, mungkin karena salah mengartikannya, hijrahku sempat dilecehkan oleh temanku sendiri. Namun hijrah karena mengharap ridho dari Allah SWT, mengangkat orangtua ke surga kelak.

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 3
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Kekasih
547      382     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
Me & Molla
474      260     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
Tanda Tanya
560      284     3     
Short Story
Saat Tidak Semua Pertanyaan Butuh jawaban
Letter From Who?
415      281     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
NI-NA-NO
1263      566     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
Marry Ghost
566      379     5     
Short Story
Setelah Furry pindah sekolah banyak sekali kejanggalan yang dialami dirinya, bersama sahabatnya, Channy dia bias melihat makhluk tak kasat mata. Mau tau kelanjutannya? yuk baca
Search My Couple
485      260     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
In the End
691      390     2     
Short Story
In the End, the water was always clear. The whole world reflects to me and it doesn’t care, it reflects what is already there and doesn’t nit-pick on any apparent imperfections. Everything is in a state of tranquility, just like all Ends should be. Peaceful, unbothered, impeccable.
Sisi Lain Tentang Cinta
705      380     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Written
324      226     1     
Short Story
Bored in her summer break , Celeste started to make up her own stories and wrote it in her book , but little did she know , everything she wrote happened in reality , what will she write next?