Read More >>"> Kubikel
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kubikel
MENU
About Us  

“Malam ini mau cerita apa?”

Api lilin bergoyang saat ibu muda berjalan sembari menanyai anaknya yang berumur empat tahunan. Dia memegangi perutnya saat bersusah payah duduk di kursi kecil di sebelah ranjang buah hatinya.

“Oh, kamu mau Ibu membacakan ini ya?” ujar ibu muda saat melirik mata cokelat besar anaknya.

Anak itu mengangguk semangat. Sedari tadi ia menyodorkan buku bersampul coklat tua ke hadapan ibunya. Ibunya mengambil buku tersebut.

Sampul bukunya terbuat dari beludru. Ada gambar bulan sabit berwarna kuning tua berada persis di tengah atas sampulnya. Ibu muda memperhatikan buku itu cukup lama. Rasa-rasanya ia tak pernah membelikan buku itu untuk anaknya. Ukurannya cukup tebal untuk buku dongeng anak dan tampak terdapat beberapa kumpulan cerita di dalamnya.

Dia mulai membuka secara acak dan berhenti persis di tengah lembar halaman-halaman buku tersebut. Sesaat dia melirik buah hatinya, lalu tersenyum. Anaknya diam menggigit bibir bawah sambil menengadah ke langit-langit.

Ibu muda mulai membaca.

“Kubikel by Theodore. Denyutan yang sakit sekali di kepala kiriku dan ….”

 

            ---

Dan berdenging. Aku membuka mata dan penglihatanku kabur. Tubuhku terasa begitu dingin karena terbaring di lantai. Aku mencoba duduk. Kepalaku sebelah kiri terasa ngilu.

Aku melihat sekeliling. Lantai tempat kepalaku tadi terbaring berwarna hitam. Begitu juga dindingnya, hitam, membentuk ruang dua kali dua. Lampu meja bercahaya remang, monitor flat 16 inch, dan mouse (semuanya berwarna hitam) berada di atas meja yang bersender kokoh di salah satu dinding. Tidak ada lagi benda selain itu. Hanya ada aku dan langit-langit kelam tak terlihat ujungnya. Seperti berada di dalam kotak tertutup.

Ada dimana aku?

Aku berdiri dengan susah payah. Lututku gontai dan serasa mati rasa. Aku melangkahkan kaki, memeriksa dinding kemudian beralih ke dinding lainnya. Bahkan kupaksakan menaiki meja.

Nihil.

Tidak ada pintu atau tombol maupun lobang kecil tempat semut biasa melarikan diri. Dinding-dindingnya hitam, kokoh, tinggi, dan begitu dingin.

 Aku mulai mendorong, meninju, dan menendang dinding-dinding. Kokoh tak bergerak barang sedikitpun.

Aku mulai panik dan mulai berteriak histeris. Kuteriakkan kata “tolong” sekeras yang kubisa, tapi hanya ada balasan gaung suaraku sendiri yang membuat merinding.

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tidak bisa keluar dari ruang kotak ini.

 

 

 

Aku memejamkan mata, berusaha tenang.

Coba pikir, Deny. Kamu masih bisa bernafas di kotak tertutup. Ini artinya pasti masih ada yang bisa kau lakukan.

Aku melirik ke atas meja. Screen saver animasi kubus bergaris putih berputar-putar di layar monitor. Aku baru menyadari monitornya menyala.

Semoga ada jaringan internet.

Segera aku gerakkan mouse. Terlihat desktop wallpaper pemandangan savana hijau berbukit. Ada pohon oak yang terlihat tua di tengah savana, berlatar langit mendung di belakangnya. Persis di tengah, menutupi sebagian pohon oak, tertulis kata ‘LIFE’.

Tidak ada jaringan internet. Aku mencoba mencari start menu maupun mencoba right click. Tidak terjadi apa-apa. Terlintas kombinasi kombinasi keys, tetapi tidak ada keyboard.

Ada sebuah file di sudut kanan layar. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah  me-double click file tersebut. File video berjudul ‘’SLOOP’.

Kubuka file tersebut.

Layar monitor kemudian dipenuhi background hitam. Di tengah-tengah muncul sederet tulisan, ‘chapter-1’. Lalu, terdengar suara berdeham pelan dari speaker monitor.

Serak dehaman yang sangat aku kenali.

 

_

c h a p t e r – 1

Kak Deny.

Kakak terpintar, terhebat sepanjang masa.

Sangat iri dengannya. Dan juga, aku selalu merasa tidak ada apa-apanya.

Ayah Ibu pun sadar hal ini.

Aku ingat saat pulang pembagian rapor, aku mendapat rangking 3 kelas. Bagiku yang tidak pernah rangking, ini adalah hal besar.

Aku meloncat girang sepanjang perjalanan pulang,  tak sabar menceritakan pada ayah ibu. Aku akan minta dibelikan Tamiya baru yang dari dulu kuinginkan.

Nyatanya, tak ada sedikitpun ucapan selamat dari mereka.

Piagam rangking yang aku pegang erat tadi hanya ditunjuk-tunjuk  dijadikan bahan perbandingan.

Bandingan kakak.

Kakak yang jadi juara umum lagi.

_

 

Aku mengeklik pause dan memejamkan mata.

Itu Adit. Adik laki-laki, saudara kandungku satu-satunya.

Sekelebat muncul ingatan lama tentang Adit. Adikku yang kurus dan kurang percaya diri. Muncul perasaan sedih di dadaku yang sejak lama aku kenal.

Sensasi lama yang berputar berulang-ulang.

Aku mengeklik play, melanjutkan rekaman suara yang kali ini diawali tayangan bertuliskan “chapter -2”.

_

c h a p t e r – 2

“Tolong kakak dibuatin lukisanmu dong. Buat tugas kesenian.”

Kata-kata kakak yang membuatku merasa sedikit percaya diri dengan kemampuanku.

Kadang membuatku besar kepala ketika teman-teman sekolah memuji karyaku saat aku melukis dinding pada peringatan HUT sekolah.

Lalu, aku cukup percaya diri untuk ikut lomba lukis se-kota Bengkulu.

Aku juara satu.

Saat aku pulang dengan semangat menceritakan pencapaianku pada ayah ibu, perasaan senangku hanya bertahan beberapa menit saja.

“Kau emang mau jadi apa? Pelukis? Pikir lagi. Kau mau tetap hidup susah seperti sekarang, hah? Seperti ayah ibu?”

Aku berhenti melukis sejak itu.

 

_

c h a p t e r – 3

Saat itu aku benar-benar bingung dan meragu.

Fakultas Kedokteran mana yang harus aku pilih untuk SBMPTN 2017. Aku tau aku harus memilih UI atau UGM sebagai pilihan pertama.

Tapi, jauh di lubuk hati, aku rasa bukan soal pilihan universitas menjadi masalahnya.

Dan, kau datang, Kak.

Saat aku benar-benar goyah menentukan masa depan, kau peduli dan membantuku tentukan keputusan.

Bahkan yang sangat buat aku kagum, kau sampaikan kata-kata sederhana ini kepadaku,

“Jangan pilih jurusan yang bisa buat kau jadi orang kaya,Dit.

Carilah jurusan dimana kau rela untuk berkarya selamanya. Uang akan ikut kok.”

Kau membuka pikiranku. Aku pun memilih jurusan yang sebenarnya sudah lama aku lirik.

Arsitektur.

Jujur saja, aku benar-benar menikmati proses belajarku sejak itu. Membayangkan saja aku berkuliah arsitektur, membuatku semakin bersemangat mempersiapkan tes.

Terimakasih sudah peduli, Kak Deny.

Beberapa waktu kemudian aku lulus SBMPTN di Arsitektur UGM.

Tapi, Kak… Kau ingat kata-kata ini?

“Kenapa tidak pilih dokter ?”

“Cobalah dengar apa kata orangtua. Contohlah kakak kau ini sekolah dokter.”

“Ayah dak mau kasih biaya, cuma buat kau sekolah jadi tukang gambar.”

“Dipikir kau mudah cari duit ?”

Rasa takutku berubah menjadi kekecewaan dan kesedihan.

Mengapa aku pilih arsitektur, sih? Mengapa tidak pilih kedokteran saja?

Aku benci dan marah.

_

Aku kontan menutupi wajah dengan telapak tangan saat selesai mendengar chapter 3. Adikku pasti benar-benar sedih. Kalau saja aku bisa membuatnya lagi tetap tegar dengan pilihannya.

Kalau saja aku bisa menjadi kakak yang berguna…

 

Timeframe video terus berjalan hingga chapter selanjutnya.

Kali ini tampaknya tidak hanya layar hitam dan rekaman suara saja. Muncul gambar bergerak, suasana dalam mobil dari sudut atas kaca depan dekat bangku pengemudi. Tetes hujan deras mengaliri kaca depan.

Aku mengemudikan mobil tersebut. Aku sedang berdebat dengan seseorang di bangku samping.

 

_

c h a p t e r – 4

“Dit, kenapa kau kabur dari rumah? Kasih tau kakak.”

Adit hanya diam saja.

“Soal jurusan bukan? Kau marah sama ayah ya?”

Adit membentak, “Jangan sok tau, Kak!”

“Terus?”

Adit kembali diam. Terlihat sekali muka Adit yang sangat kesal dengan kata-kataku.

“Dit, kasih tau kakak, kau marah sa…,”

Belum selesai aku di video menyelesaikan kalimat,

Adit membentak dengan nada yang sangat keras.

“Aku marah sama kau, tau dak! Ini semua ulah kau, Kak!

Kau penyebabnya!

Kau yang nyuruh aku masuk Arsitektur!

Kau sengaja buat Ayah marah sama aku lagi. Kecewa sama aku lagi!”

“Aku dak mau lihat muka kau lagi!” wajah Adit merah padam.

Tulang rahang wajahku mengeras. Pandanganku jauh ke depan.

“Berhenti!” teriak Adit.

Adit kembali bersungut-sungut, “Berhentikan mobilnya!”

Aku tidak menggubris.

 “Aku bilang berhenti!!!”

Bentak Adit sembari menerjangkan kaki kanannya ke pedal rem mobil.

Aku terlihat oleng dan mencoba menghentikan Adit dengan menahan bahu kirinya menggunakan tangan kiri. Membuatku lengah dengan stir mobil yang tiba-tiba membanting ke kanan. Adit tetap bersikeras menginjak rem saat aku berusaha menyeimbangkan mobil.

Lalu, terlihat suasana gaduh dalam mobil yang berputar-putar. Terdengar bunyi derak keras yang menyilukan.

Beberapa detik kemudian suasana menjadi rusak dan berantakan

 Adit terkulai lemas dengan tangan kanan bersimbah darah. Posisi sabuk masih terpasang.

Aku tidak bergerak.

Hanya ada simbah darah dari pelipis kiri.

Kepalaku menghantam stir sampai berubah posisi.

_

 

Aku terperangah. Tanganku gemetar, ketakutan.  Dengan was-was aku mencengkram bagian kiri kepalaku yang mendadak terasa berdenyut. Ngilu dan pening. Terasa sakit, dan…

Terasa basah.

….

Darah kental mengaliri pelipis kiriku. Jantungku berdegup semakin kencang.

Aku panik dan melangkah mundur menjauhi layar monitor dengan ketakutan

Aku berhasil menjauh, tetapi mataku tetap terpaku pada layar yang kali ini memutar gambaran yang belum pernah kulihat.

 

_

c h a p t e r – 5

Terlihat suasana kamar rumah sakit dari sudut atas kamar.

Ada Adit yang sedang bersusah payah mencoba duduk. Aku berada di ranjang seberangnya tak bergerak. Menggunakan respirator oksigen.

Tiba-tiba, dadaku terasa sangat hancur, saat melihat Adit melototkan matanya ke samping.

Tubuhnya tak berlengan kanan.

Bahunya bergetar dengan sangat keras. Menangis.

Lalu, muncullah dua bayangan bergerak cepat memasuki ruangan.

Saat melihat mereka, air muka Adit berubah menjadi wajah penuh harap dan haus perhatian. Beberapa detik kemudian,

menjadi wajah dengan kesedihan mendalam.

Orangtuaku berlari langsung ke arah ranjangku.  Ibu kami langsung memelukku yang tak bergerak dan ayah berdiri termangu sedih tak jauh darisana. Tanpa berusaha melirik ke ranjang di seberang sana

Mereka lama berada di ranjangku.

Terlalu lama.

Untuk Adit yang kini duduk kaku dengan ekspresi yang tidak tergambarkan. Melihat lengan kanannya yang hilang

….

Video meloncat ke suasana kamar yang temaram karena gelap malam. Ada sinar remang dari lampu ruangan,

dan bayangan Adit, di jendela, berdiri dekat ranjangku.

Raut mukanya mengerikan. Matanya membelalak sedih.

Gontai ia berjalan.

Mendekatiku.

Mendekati mukaku.

Mencabut respirator oksigen dari mulutku.

Menarik bantal dari kepalaku.

Menekannya di mukaku.

Tanpa ragu, hingga badanku kejang,

menjadi terbujur kaku.

f i n

Aku terperanjat seiring layar hitam kembali memenuhi monitor

Kurasakan bahuku gemetar.

Kaki rasanya lemas tak bisa menopang badanku. Kepalaku bersimbah darah menghalangi pandangan. Bulu kudukku merinding.

Belum sempat kutenangkan diri, jantungku kembali melonjak saat kulihat ada pantulan sosok pada layar monitor yang telah menghitam.

Sebuah cengiran lebar, tepat di samping kepalaku.

---

 

PUK! Ibu muda menutup buku itu seketika.

 Tak sadar dirinya terbawa suasana cerita yang seharusnya menjadi dongeng untuk anaknya. Jantungnya berdegup kencang sekali dan keringat dingin membulir di keningnya.

Cerita itu menganggunya.

Buru-buru dia kembali mengecek sampul buku tersebut, mengamati sesaat, lalu menatap buah hatinya yang terpejam di ranjang. Menatapnya lebih lama dari biasanya. Dia mengelus lembut pipi anaknya sembari meletakkan jari telunjuk di hidung anaknya. Mimik muka ibu menyiratkan ada hal yang dipikirkan.

Ia berdiri sambil memegangi pinggang belakangnya. Tangan kirinya menopang di lengan kursi tempat ia duduk.

Api lilin bergoyang cepat. Ibu anak itu berdiri dan diam.

Kemudian, ia melewati meja menuju pintu sambil memegangi buku bersampul beludru. Dia memutar gagang pintu, hendak melangkah keluar.

“Ibu,”

Ibu itu terperanjat lalu menoleh ke arah sumber suara. Anak laki-lakinya kini tampak sedang duduk di ranjang. Dia kira sudah pulas tertidur.

“Ya, nak?” Dia mencoba tenang.

“Janji kemarin sore masih boleh kan, Bu?”

Sambil mengelus perut buncit besarnya, ibu muda berkata, “Boleh, jadi siapa nama untuk calon adikmu?"

 

Anak itu berkata,

“Adit.”

“Adit?”  Ibunya Deny mengerutkan alisnya. Sebulir keringat mengalir di pelipisnya.

“Iya. Soalnya Deny nggak mau Adit sedih lagi.” [  ]

How do you feel about this chapter?

6 0 7 5 0 0
Submit A Comment
Comments (11)
Similar Tags
The Islamic Quotes
602      320     1     
Inspirational
Pada saat dirimu bertanya kepada Allah mengapa aku di uji? Allah menjawab: karena dirimu mampu Semoga quotes ini bermanfaat
Menemukan Kebahagiaan di Tengah Pandemi
160      113     1     
True Story
Siapakah yang siap dengan sebuah perubahan drastis akibat Virus Corona19? Pandemi akibat virus corona 19 meninggalkan banyak luka dan trauma serta merenggut banyak kebahagiaan orang, termasuk aku. Aku berjuang menemukan kembali makna kebahagiaan. Ku kumpulkan foto-foto lama masa kecilku, ku rangkai menjadi sebuah kisah. Aku menemukan kembali makna kebahagiaan di tengah pandemi. Kebahagiaan itu ad...