Derai-derai hujan menghampiri gadis cantik yang baru saja pulang dari kegiatan sekolahnya.
“Duh, hujan gede banget lagi. Gimana bisa pulang! Mana engga ada kendaraan yang lewat lagi!” gerutu gadis ini.
Tanpa sengaja ada sepeda motor yang melintas tepat di depan di mana Vanya berdiri, terdapat kubangan air. Sengaja tidak sengaja, motor itu menciprati bagian rok Vanya yang tadinya tidak terlalu basah dan kini menjadi sangat basah bahkan kotor.
Hujan berganti menjadi reda terlihat warna-warni dari pelupuk mata Vanya. Yap pelangi. Pelangi itu tepat berada, di mana Vanya berdiri sekarang. Termenung! Ia teringat masa-masa dulu ketika masih bersama-sama Dilon.
Tak pernah tertinggal, setelah hujan turun pasti mereka keluar rumah dan bertemu untuk melihat pelangi. Pelangi itu mewarnai hari-hari mereka, pelangi yang berpendar di hati mereka. Mengingat itu Vanya hanya tersenyum miris, membayangkan betapa bahagianya mereka namun mengingat kembali hubungan Vanya dengan Dilon tak baik-baik saja.
Dilon Raka Siwi nama pria tampan ini, pria keren dan pandai yang sangat dibenci oleh Vanya. Walaupun mereka bersahabat dari kecil. Dilon menganggap Zevanya Putri Akni sebagai gadis liar, jutek, rusuh, galak dan ya bisa dibilang pandai. Dilon tak pernah mau mengetahui kepintaran Vanya sejak kejadian 5 tahun lalu.
Mereka sering sekali bertengkar di sekolah, mereka dipertemukan kembali di SMA Kartini. Untung saja mereka tidak satu kelas kalau saja itu terjadi, pasti akan ada “PERANG DUNIA KE 3”. Dilon dan Vanya tidak mau mengalah satu sama lain, tidak pernah ada kata maaf dari Dilon untuk Vanya dan begitupun sebaliknya Vanya untuk Dilon.
“Eh, ada cewek rusuh mau lewat.” celetuk Dilon saat Vanya dan dua sahabatnya melewati Dilon dan kawan-kawannya di kantin.
“Ngomong apa lo tadi? Jangan beraninya di belakang, sini ngomong di depan langsung.” sungut Vanya mulai berkicau di depan tempat duduk yang di singgahi oleh Dilon dan kawan-kawan.
“Kalo lo maunya gitu gue bisa kok bilang kaya gitu setiap hari sama lo. Lo mau?” tantang Dilon.
Vanya hanya menatap Dilon dengan tatapan sangat sinis. Dilon bangkit dari kursinya kemudian mendekati telinga Vanya tetapin Dilon bukannya berbicara malah,
“Cupp.” Dilon mencium pipi kanan Vanya di depan umum. Adegan itu ditonton oleh banyak orang di kantin sampai-sampai dua sahabatnya tercengang.
Panas dingin mulai meradang ke seluruh tubuh Vanya. Malu, sedih, marah, benci dan segalanya bercampur aduk menjadi satu. Tanpa disadari di pelupuk, air mata Vanya berlinang.
“Gue benci sama lo.” ucap Vanya berlari kencang sambil mengusap air matanya.
Danau senja, danau itu yang menjadi tempat favorit Vanya kalau ia sedang sedih atau bosan bahkan marah. Di tempat itu Vanya menangis sejadi-jadinya atas kejadian yang dialaminya barusan. Sepasang mata dari balik semak-semak mengintainya, ternya Dilon mengikuti Vanya dari jarak jauh setelah ia berlari dengan kencang menuju danau senja itu.
Ada rasa bersalah dalam hati Dilon, yang telah melakukan hal yang tak pernah Vanya suka dari kecil. Dalam hatinya, ia sangat menyayangi Vanya bahkan sejak kejadian 5 tahun lalu. Dilon merasa benar-benar kehilangan dan bahkan membutuhkan Vanya dalam hidup dan harinya tetapi di sisi lain Dilon membenci apa yang telah dilakukan Vanya dulu.
“Andai waktu dapat berulang kembali, gue pengen kita bisa melihat pelangi sesudah hujan bersama-sama kaya dulu lagi.” Relungnya berkata.
Vanya berjalan dengan tatapan kosong tanpa melihat Dilon.
“Pasti lo BT kan gara-gara kemarin?” ujar Fira sahabat Vanya yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Vanya yang menghalau lamunan Vanya.
“Ya iyalah, malah gue BT dan benci banget banget banget sama dia.” Ungkap Vanya menggerutu.
“Jangan gitu Van, benci itu bisa jadi cinta loh. Apa lagi dulukan, lo pernah sahabatan sama dia. Tapi lo malah jadi musuh Cuma gara-gara...” terputus saran Meri.
“Udah jangan dilanjutin, gue engga mau inget-inget itu lagi!” ucapnya kesal.
Bel pulang sekolah berbunyi. Sebelum, saat Vanya pulang duluan Dilon menemui Fira dan Meri untuk menanyai nomor handphone Vanya. Awalnya mereka tidak mau memberikan tapi karena dipaksa, merekapun memberikannya. Sebenarnya Dilon meminta nomor handphone Vanya untuk meminta maaf atas kejadian kemarin itu. Dilon tidak memberi tahu alasan dirinya meminta hal tersebut.
Drttt ... drtttt ... handphone Vanya bergetar.
“Van, gue tunggu lo di depan gerbang. Gua mau bicara empat mata sama lo. #Dilon.”
Seperti itulah pesan singkat yang dikirim Dilon untuk Vanya. Vanya heran dengan Dilon yang tak ada angin dan tak ada petir mengiriminya pesan. Di dekat parkiran sekolah ia hampir saja mengurungi niatnya untuk menemui Dilon karena tajut hal yang kemarin akan terjadi lagi, tetapi hatinya berkata untuk menemui Dilon.
“Kenapa lo pengen ketemu gue? Mau ngajak ribut?” tanya Vanya yang datang dari arah belakang menghampiri Dilon yang bertengger di motor sport merahnya.
“Eh, lo udah dateng.” Jawab Dilon dengan polosnya.
“Jangan banyak basa-basi deh, mau lo apa nyuruh gue dateng ke sini?” ujar Vanya sangar.
“Gue mau minta maaf sama lo atas kejadian kemarin.” ungkap Dilon to the point.
“Ha... ha... ha... maaf lo engga gue terima.” ujar Vanya dengan tawanya.
“Emang salah gue minta maaf ke lo? Salah kalo gue pengen kita kaya dulu lagi, bisa lihat pelangi setelah hujan?” jelasnya.
Vanya tercengang dengan kata-kata yang dilontarkan Dilon.
“Gue engga tahu.” ucap Vanya singkat dan langsung pergi meninggalkan Dilon.
“Lo mau ke mana Van?“ tanya Dilon berteriak.
Vanya tidak menggubris perkataan Dilon, ia berlari untuk menjauhi Dilon. Sangat di tengah-tengah jalan Vanya yang akan menyebrang, dari kejauhan terlihat truk melaju kencang ia melihat Vanya akan tertabrak. Dilon langsug turun dari motornya berlari sekencang mungkin, mendorong tubuh Vanya dan ...
“Brakkkkkkkk.” Tertabrakanlah Dilon dan terpental agak jauh dari tengah jalan itu.
Vanya tersungkur dan kaget dengan semua itu.
“Dilonnnn.” teriak Vanya saat Dilon tergeletak di pinggir jalan yang bersimbah darah. Vanya sangat panik, mendadak hujan turun lebat. Vanya mendekat padanya dan memangkukan kepala Dilon di paha Vanya. Vanya hanya menangis kemudian berteriak meminta tolong, tanpa disadari tangan kiri Dilon mendekap pipi mulus Vanya.
“Maafin gue Van. Gue engga bermaksud kaya gitu sama lo!” ucap Dilon membelai Vanya yang kini bersimbah darah dan Dilon langsung tidak sadarkan diri. Datanglah teman-teman Dilon dan membopongnya naik taksi untuk dibawa ke rumah sakit diikuti dengan Vanya yang basah kuyup akibat turunnya hujan lebat.
Di taksi Vanya menelepon ibunya menggunakan handphone Dilon dan mengabari bahwa Dilon kecelakaan dan sedang dibawa ke rumah sakit. Ia juga memberi kabar ibunya juga keluarga Vanya yang sudah bersahabat dari sejak kecil. Rumahnya saja berdampingan, hanya saja terhalang oleh satu rumah.
Sedampainya di rumah sakit Dilon dibawa masuk ke ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat). Dilon ditangani oleh dokter. Vanya menunggu Dilon di ruang tunggu, kemudian ia menenangkan diri dengan berjalan-jalan ke taman belakang rumah sakit.
Hujan mereda, di atas langit ia melihat pelangi itu. Vanya teringat akan Dilon.
“Gue juga pengen lihat pelangi setelah hujan itu sama lo.” Tanpa sadar kata-kata itu terlantun dari mulut Vanya.
Ia melamun di taman, lamunannya buyar ketika ia melihat tangganya ada darah. Dilon. Itu yang ia ingat, langsung saja berlari ke ruang IGD. Setelah sampai di depannya seorang wanita yang berpakaian putih keluar dari balik pintu.
“Apakah anda keluarga dari pasien yang di dalam?” tanya suster itu dengan panik.
“Iya sus, saya sahabatnya.” Jawab Vanya tegas.
“Begini, pasien memerlukan sangat banyak darah. Persediaan di rumah sakit ini sudah habis kalau kami membeli dari PMI membutuhkan waktu yang lama untuk mengambilnya apalagi jika lewat dari setengah jam saja nyawa pasien sudah tidak bisa terselamatkan!”, ungkap suster itu.
“Golongan darah pasien apa sus?” tanya Vanya.
“Dia membutuhkan golongan darah B.” Jawabnya singkat.
Vanya termenung kembali.
“Mba, harus mencari seseorang yang berada di rumah sakit ini yang bergolongan darah B dan segeralah memintanya mendonorkan untuk pasien ini!” jelas suster lagi.
“Iya sus.” Jawabnya lirih.
Vanya dalam kebimbangan antara mendonorkan atau berdiam diri melihat sahabat kecilnya itu dalam keadaan sekarat di IGD, Dilon seperti ini karena dirinya. Dilon yang menyelamatkan Vanya. Vanya mengingat hal-hal buruk yang dialaminya karena ulah Dilon. Kejadian 5 tahun lalu, di mana Dilon marah besar dan sangat membenci bahkan mencaci makinya di hadapan teman-temannya hanya gara-gara dirinya dapat mengalahkan peringkat umum Dilon karena seumur-umur Dilon belum pernah terkalahkan oleh Vanya.
Itu membuat Vanya sedih dengan hal itu, ia berbuat seperti itu karena mau membanggakan kedua orang tuanya. Dengan terjadinya hal itu Dilon balas dendam pada Vanya dengan mencium bibir Vanya di depan umum apalagi itu di sekolah. Hal itulah yang membuat mereka sampai saat ini bermusuhan dan tidak bersahabat.
Di lain sisi, Vanya mengingat hal-hal indah yang banyak mereka lalui bersama mulai dari ia sering melihat pelangi setelah hujan bersama, mengerjakan PR bareng, bercanda dan tertawa bersama bahkan Dilon dan Vanya pernah tertidur bersama karena mereka terlalu lelah dengan PR masing-masing.
Lamunannya buyar ketika orangtua mereka datang tergesa-gesa dan menanyakan kabar anaknya. Suster keluar dari ruang IGD.
“Sus, saya bersedia mendonorkan darah saya untuk pasien. Darah sama dengannya.”
Tanpa sadar Vanya mengajukan dirinya dan memuruskan untuk menolong sahabatnya itu. Keluarga mereka kaget dengan yang dilakukan Vanya.
Transfer darahpun dilakukan, nyawa Dilon terselamatkan oleh Vanya. Sekitar satu jam kemudian Dilon sadar.
“Vaannyyyaaaa... Vaannyyaaa...” kata itu yang terlantun pertama kali oleh Dilon.
Dokter memanggil orang yang disebut oleh Dilon.
“Di sini siapa yang namanya Vanya?” tanya dokter setelah mendapati Dilon sadarkan diri.
Ternyata Vanya sedang duduk di sudut bangku rumah sakit dekat ruang rawat Dilon, ia masih sedikit lemas dengan pengambilan darah tadi. Darahnya sudah terkuras tapi perkataan dokter dan suster itu memang biasa terjadi pada orang yang mendonorkan darah setelah 1 sampai 2 hari juga sudah membaik.
Mendengar namanya disebut-sebut Vanya menghampiri dokter.
“Saya dok, Vanya.”
“Oh kamu, mari masuk pasien memanggil-manggil nama anda!” dokter mengajak. Vanya hanya menggangguk.
“Untuk keluarga lainnya, saya mohon maaf belum diperbolehkan masuk karena pasien baru sadarka diri dan apabila banya yang berkunjung takutnya mengganggu ketenangan pasien.” Ungkap dokter itu.
“Vanya.” Suara lirih itu membuatnya mendekat kepada Dilon.
“Aku di sini!” ucap Vanya menggenggam tangan Dilon.
Dilon mencoba mengerjap-ngerjaokan matanya, Dilon hanya tersenyum.
“Aku bahagia kamu di sini.” Ucap Dilon terbata-bata.
“Ya.” Kata itu yang terucap dari mulut Vanya.
Lima hari telah berlalu, Dilon diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tetapi ia sedih karena Vanya tidak menjenguknya dan tidak menjemput kepulangannya. Semenjak Dilon siuman Vanya tidak mpernah mengunjunginya di rumah sakit lagi. Entah apa yang membuat Vanya seperti itu.
Bertemulah ia dengan Vanya, tepat di depan perpustakaan. Tak ada tatapan istimewa yang diberikan Vanya pada Dilon hanya, tatapan yang biasa yang Dilon pancarkan. Mereka berhadapan satu sama lain, tanpa Vanya sadari Dilon menarik tangan dan mendekap tubuh Vanya dalam pelukannya. Vanya kaget bukan kepalang.
“Lepasin gue engga?” sinis Vanya.
“Gue engga mau, gue engga bakal lepasin lo untuk yang kedua kalinya.” Ungkap Dilon tegas dan Vanya, dia hanya terdiam.
“Kenapa lo engga jemput kepulangan gue dari rumah sakit bahkan lo engga jenguk gue selama sakit? Lo engga perduli sama gue?” Vanya dihujat beribu ppertanyaan.
“Emang penting buat lo?” jawab Vanya singkat.
“Yaa jelas penting. Karena lo bla...bla...bla...!” jelas Dilon panjang lebar.
Ia menjelaskan betapa penting dan berharganya Vanya dalam hidupnya. Dilon mengingatkan Vanya akan masa-masa indah mereka sebelum kejadian itu yang membuatnya jadi seperti ini. Bermusuhan.
"Lo engga tahu sih, gimana paniknya gue saat lo ketabrak dan berlumuran darah, gimana khawatirnya gue saat lo dibawa ke IGD dan lo engga tahu giman takutnya gue waktu lihat lo hampir sekarat karena gara-gara kekurangan darah karena stok darah di rumah sakit lo itu abis dab lo....” jelas Vanya dan Dilon menempelkan jari telunjuknya di bibir Vanya.
“Dan lo juga yang udah ngedonorin darah buat gue dan lo juga engga mau kehilangan guekan?” jawab Dilon enteng.
Vanya tertunduk dan mebitikkan air matanya.
“Udah lo engga usah nangis dan gue paling engga suka lo nangis. Maafin gue dengan tindakan bodoh gue waktu itu.” Ungkapnya menyesal. Vanya memberikan senyum termanisnya.
Dilon tersenyum dan mengecup pipi kanan dan kiri Vanya yang terakhir ia mengecup kening Vanya.
Kemudian hujan turun di antara kebahagiaan Dilon dan Vanya. Mereka kemudian melihat hujan yang turun itu, tak lama kemudian hujan itu pergi. Mereka melihat pelangi setelah hujan itu lagi, setelah lima tahun yang lalu.
Sejak saat itu Vanya dan Dilon sering bersama dalam sebuah jalinan persahabatan yang saling mencintai dan menyayangi satu sama lain, bersama melihat pelangi setelah hujan yang diiringi senyum kebahagiaan. (13 Januari 2014).