“Kurasa sudah waktunya kita berakhir, toh nyatanya hatimu bukan untukku lagi. Hatimu telah bercabang”
“Ya, jika itu memang yang terbaik untuk kita. Terimakasih telah menjadi teman untukku selama 2 tahun ini. Maaf.” Dia hanya berpaling meninggalkan ku sendiri. Menelan kata maaf yang tidak berbalas.
Dia seseorang lelaki yang telah mengisi hatiku selama 2 tahun belakangan, namun itu semua telah berakhir. Dia memutuskan tali percintaan diantara kami. Memutuskan hubungan yang telah dirajut selama ini. Dia yang memulai dan dia juga yang mengakhiri.
Sedih? Tentu. Namun semua hanya rencana Allah untuk menjauhkan aku dari jerat rayuan setan.
Kini hatiku hanya milik Allah, bukan milik dia atau pria manapun.
“Dulu aku mencintaimu, karena aku ingin kau menjadi kekasihku, kekasih yang belum halal untukku. Waktu itu hanya ada nafsu cinta untuk memilikimu yang ku punya, tak peduli bahwa Allah melarang hamba-Nya untuk menjalin hubungan tanpa ada ikatan resmi. Namun cintaku sekarang bukan cintanya Romeo dan Juliet yang menganggap dunia milik sendiri, tapi cintaku padamu sekarang layaknya Umar pada Rasulullah. Cinta tulus seorang sahabat. Maukah kau menjadi sahabatku dalam meraih janna-Nya?”
Alasan apa yang ku punya untuk menolaknya. Menjalin kasih yang tidak halal selama 2 tahun membuatku paham, bahwa dia adalah pria yang baik. Pria yang bertanggung jawab dan berhak menjadi sahabatku.
‘Semoga tidak ada fitnah dan zina diantara kami ya Robb’
…………
Sudah seminggu sejak kejadian berakhirnya hubungan kami banyak hal yang terjadi. Pertanyaan silih terulang dengan sang penanya yang silih berganti.
‘Kenapa kami berakhir?’
Berakhirnya suatu hubungan apakah harus mempunyai alasan yang khusus? Haruskah membeberkan alasan tersebut kepada orang-orang? Kami berakhir dengan cara baik-baik, tidak ada cara kekerasan yang kami lakukan. Itulah alasan yang kuberikan pada orang-orang yang senantiasa memburuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak seharusnya dipertanyakan.
“Apa..!!! kalian putus? Kenapa bisa?” ucapnya nyaris berteriak hingga memekakan telinga yang mendengar.
Kan, lagi-lagi pertanyaan membosankan ini keluar dari mulut orang. Apa mereka tidak mempunyai pertanyaan lain selain pertanyaan membosankan ini? Sungguh malas aku menjawabnya selama seminggu ini pertanyaan selalu muncul. Dan untungnya diujian akhir semester tiga hari lalu tidak keluar. Jika keluar sungguh lucu hidupku rasanya, penuh dengan lawakan dari pertanyaan itu.
“Ya, kami putus dan kenapa bisa? Tentu bisa karena itulah keputusan akhir kami.” Jawabku dengan nada kesal yang tertahan.
“Kau tidak mencintainya lagi? Atau jangan-jangan dia selingkuh? Awas saja jika dia berselingkuh akan kuhabisi dia!” ancam Ria. Sahabat ku semenjak awal masuk SMA.
“Sudahlah. Dia tidak berselingkuh dan ya aku tidak mencintainya lagi, karena cintaku hanya milik Allah” jawabku untuk mengakhiri prasangka buruknya dan mengakhiri perbincangan membosankan ini.
Setelah berakhirnya pembicaraan itu, kami kembali ke kelas yang sebelumnya kami baru saja selesai makan dikantin sekolah.
…..
Akhirnya setelah 2 minggu berlalu dengan menjawab pertanyaan membosankan itu, sekarang aku bisa bebas. Bebas dari pertanyaan bodoh itu, setelah sebelumnya aku selalu mengancam akan marak jika selalu diberi pertanyaan tentang berakhirnya kisah percintaanku.
Tidak terasa bulan Ramadhan sudah diambang pintu. Bulan penuh dengan kebahagiaan dan berkah yang melimpah dimana-mana.
“Assalamulaikum..”
“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarrakatuh. Ada apa ya bang? Tumben nih main kerumah. Silahkan masuk bang, bapak ada didalam” kupersilahkan dia masuk yang sebelumnya telah kubuka pintu untuknya masuk.
Setelah mengantarkan tamu tersebut keruang tamu, aku pun bergegas pergi kedapur untuk membuatkan minuman untuk tamu dan bapak. Setelah membuat dan menyediakan minuman diatas meja tamu, akupun bergegas pergi kekamar.
“Mau kemana, nduk?” tanya bapakku mencegah langkah kaki ku.
“Kekamar pak” jawabku sambil menundukkan mata menghindari tatapan bertanya dari tamu bapakku.
“Loh ini ada tamu, kau kok malah mau kekamar ndak sopan itu, sini duduk disamping bapak”
“Iya pak” akhirnya akupun mengurungakn niatku untuk kekamar dan duduk disamping bapakku.
“Ada apa toh, Le? Tumben datang kesini? Mau ngelamar Zahra ya?” ucap bapakku diselingi guyonan mengusili sang tamu.
“Apasih bapak ini.” Rajukku sambil merapikan ujung jilbab biru yang kukenakan.
“Hehehe.. Pakde ini bisa saja. Ini saya mau menyampaikan pesan dari ayah kalok ayah mau ngajak Pakde mancing ikan dikolam belakang rumah”
“Ooo dikira nak Radit mau ngelamar Zahra. Padahal Pakde tadi uda siap-siap mau bilang setuju loh. Hehehe”
“Paakkk”
“Yowes bapak kebelakang dulu mau ngambil pancingan. Kalian disini berdua bisa pedekatean. Hehehe” ucap bapak sambil melangkah menjauh menuju gudang tempat biasa dia menyimpan alat-alat pancingan.
Kini diruang tamu hanya tingal aku dan bang Radit. Bang Radit itu banyak yang bilang ustadznya dikampung tempat aku tinggal. Banyak ibu-ibu yang menjodohkan dia dengan anak perempuannya. Salah satu mahasiswa di Universitas Islam diwilayahku yang sudah hapal Al-Qur’an sekaligus anak Kyai Abdurrahman pendiri sekolah islam khusus anak-anak diwilayahku.
“Ekhem..” deheman bang Radit memecah keheningan diantara kami.
Mendengar deheman itu buru-buru aku mengalihkan tatapanku menuju lantai. Malu rasanya kedapatan melamun didepan orang yang disegani.
“Ekhem.. dek Ramadhan ini abang pingin sekali menjadi imam di shalatmu, menjadi yang pertama menikmati masakan yang adek buat dipagi hari.. maukah adek mewujudkan impian sederhama itu bersama abang?”
“Heh”
Tanpa cincin berlian, tanpa bunga mawar merah dan tanpa kata-kata romantis dia secara tidak langsung memintaku untuk menjadi teman hidupnya. Teman dalam menghabiskan sisa umur didunia dan teman yang kekal untuk disurga-Nya.
Saat itu rasanya ingin sekali aku jawab ‘ya aku mau mewujudkan impian sederhana itu bersamamu,menjadi ma’mum di shalatmu adalah impian sederhana yang kupunya’ namun itu semuanya hanya hayalan. Rasanya tidak pantas itu kujawab sekarang, selain karena usiaku masih belia yaitu 18 tahun sedangkan dia 20 tahun dan juga rasa bimbang yang menghantui hati akan banyak hal yang harus kami persiapkan demi memantaskan diri. Pernikahan bukan hanya menyatukan dua orang dalam satu ikatan yang sah namun juga menyatukan dua keluarga dalam satu nama yaitu keluarga, belum lagi usia kami adalah usia yang belum bisa dikataka dewasa. Aku takut jika pernikahan yang kami lakukan akan membawa petaka dikemudian hari karena ketidak dewasaan kami.
Aku tahu saat ini dia masih menatapku dengan pancaran mata yang penuh harapan akan sebuah jawaban kepastian. Namun aku tidak sanggup mengakat kepala ini untuk balik menatapnya, yang kulakukan hanya menunduk sambil meremas kesepuluh jari-jariku. Memikirkan jawaban yang pas agar dia tidak merasa kecewa.
“Terimakasih telah memiliki impian yang melibatkan aku didalamnya. Untuk saat ini aku tidak bisa menjawab ya atau tidak, namun InshaAllah aku akan berusaha menjaga hatiku dari pria yang ada diluar sana, jika kau bersedia menungguku untuk beberapa tahun kedepan. Dimana aku dan kau telah siap secara fisik dan mental untuk mengarungi sebuah pernikahan hingga ajal yang memisahkan kita.” Ucapku yang berusaha untuk tetap tenang. Berharap dengan rasa terimakasih dan sebuah janji mampu membuatnya tenang dan tidak kecewa.
Mendengar jawaban dariku membuat pancaran kebahagiaan dimatanya perlahan redup dan menghilang tergantikan oleh sinar kesedihan yang berusaha dia tutupi. Miris melihat dia seperti itu, namun aku tak sanggup untuk menghiburnya.
“Sesungguhnya aku rela jika kau tidak ingin menungguku. Carilah wanita lain yang bisa mengga-”
“Bagaimana jika Allah berkehendak lain?.. bagaimana jika aku pergi kedunia lain sebelum penantian untuk menunggumu terlaksana?” ucapnya memotong perkataanku.
Kutatap dirinya lekat-lekat setelah memotong perkataanku begitu saja, berusaha mencari alasan dia mengatakan itu.
“Itu berarti kita tidak berjodoh didunia ini, namun Allah mempunyai rencana dibalik itu semua, bisa saja kelak disurga-Nya aku adalah ratu dari bidadarimu yang aka menemanimu didunia yang kekal itu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kita ketahui, karena Allah Maha Mengetahui.”
“Aku bersyukur menemukanmu, aku akan berusaha atas ijin Allah untuk berusaha memantaskan diri menjadi imamu. Jodoh tidaknya kita semua aku serahkan kepada Allah. Sekarang mari kita sama-sama berusaha memantaskan diri dihadapan-Nya.”
Setelah dia mengatakan itu, aku hanya mengangguk dan diam mengingat apa yang telah ku katakana. Aku hanya berdoa semoga Allah meringankan jalan kami.
………….
Tak terasa lima belas menit sudah bapak meninggalkan kami diruang tamu hanya berdua. Kini bapak telah kembali dari gudang dan bersiap pergi dengan bang Radit.
“Nduk, bapak mancing dulu ya” kucium tangan bapak sebelum aku menjawab ucapannya.
“Iya pak asal gak kesorean pulangnya. Nanti mamak bisa marah”
“Iya. Ayok nak Radit calon mantuku kita berangkat. Assalamualaikum”
“Abang pamit ijin pulang dek, Assalamualaikum”
“Ihhh bapaakkk. Iya bang Waalaikumsalam” jawabku menjawab salam dari mereka lalu lekas aku kembali kedalam rumah menuju kamar untuk melanjutkan tilawahku.
Begitulah akhir dari kisahku. Aku tahu itu belum berakhir namun biarlah waktu yang mengakhiri kisah ini. Karena aku tidak berani membayangkan akhir kisah diantara aku dan bang Radit menjadi akhir yang happy ending, karena sesungguhnya masa depan Allah lah yang mengetahuinya.