Aku menyesap kopi panas dengan perlahan, menghangatkan tubuhku yang kedinginan karena hujan sore ini. Hujan. Fenomena alam yang satu ini selalu mengingatkanku tentang kenangan akan kehilangan. Aku benci kata itu, kehilangan selalu menyesakkan dadaku. Ingatanku menoleh sebentar kebelakang, menengok seorang gadis yang jatuh cinta kepada seorang pemuda.
Kata orang masa SMA adalah masa yang paling indah dan berwarna bukan?
Hujan sore itu menjadi background atas perpisahan gadis bernama Sandra itu dengan seorang pemuda bernama Dika.
“Kenapa kamu tinggalin aku? Tega-teganya kamu selingkuh. Setahun nggak berarti buat kamu?”, emosi Sandra ditengah lapangan upacara yang sepi. Seragam osisnya basah kuyup. Dika tak kalah emosi, “Kamu yang salah. Gak pernah ada buat aku”.
Ditengah pertengkaran mereka, Andi datang dengan payung kuningnya, dia menarik Sandra, memakaikan jaket kulitnya yang terlihat kebesaran ditubuh Sandra, menyeret Sandra pergi menjauh dari Dika. Sandra duduk, ia menangis meratapi kehilangan yang barusan ia dapat. Dika menyandarkan kepala Sandra yang basah dibahunya, Rambut panjanga gadis itu membasahi seragam osis Andi. Andi menepuk pelan lengan gadis itu, orang yang sedang menangis tak butuh nasehat, ia hanya butuh bersandar. Andi bukan teman dekat Sandra, mereka saling mengenal karena mengikuti ekstrakulikuler yang sama, dan Andi tahu dari dulu tingkah Dika dibelakang Sandra, dan sore ini Andi tahu akan terjadi hal tersebut.
Cinta itu datang di waktu yang tak terduga bukan? Iya. Dari kejadian tersebut kisah Sandra-Andi dimulai. Dua manusia SMA yang sedang jatuh cinta. Waktu bergulir, mereka semakin dekat dan saling membutuhkan tanpa sadar. Andi bingung, ia berada diposisi yang sulit. Sebelum ia dekat dengan Sandra tanpa sengaja. Ia telah terlebih dahulu dekat dengan gadi bernama Chika, dan rumitlah urusan mereka. Chika yang tidak terima membuat fitnah bahwa ia telah diperlakukan kasar oleh Sandra karena Sandra tidak terima Chika dekat dengan Andi. Gosip menyebar, dari satu mulut ke mulut siswa lain. Sandra terlambat mengetahuinya, sudah banyak teman menjauhinya dan memakinya. Hati Sandra bagaikan ditusuk sebuah pedang, ia mencoba meyakinkan teman-temannya tapi nihil. Kini Sandra hanya dipercayai teman-teman satu ekstrakulikulernya saja dan beberapa sahabatnya, karena mereka tahu Sandra bukan gadis yang seperti itu. Dilain pihak, siswa-siwa lain percaya oleh perkataan Chika karena Chika orang yang dikenal pendiam, ramah, dan halus. Sanda segera menghubungi meminta Chika untuk bertemu dengannya, untuk mengkonfirmasi segala yang dikatakan oleh gadis itu. Tapi Chika bersikeras untuk bertemu Sandra dengan banyak alasan, membuat Sandra frustasi dengan keadaan ini. Dua minggu sudah Sandra menerima tatapan sinis dari berbagai arah. Tapi bukan Sandra jika ia tetap tak mampu berdiri tegak.
“Kamu kenapa ngelabrak Chika sih? Aku nggak nyangka kamu kayak gini”, ucap Andi ditelefon dengan nada yang tidak percaya. Sandra yang saat itu sedang berbaring didepan televisi rumahnya mendadak duduk dengan sigap. Hatinya patah, satu-satunya orang yang ia harapkan dapat mempercaiyainya malah bersikap seperti ini. “Kamu tanya dia, kapan dan dimana aku nglabrak dia?”, tanya Sandra berbalik, ia bertanya dengan nada setenang mungkin. Andi menjawab, “Chika cuma bilang sama aku, yaudah kalo aku nggak percaya sama dia”.
Sandra mengacak poni tengahnya dengan frustasi, jawaban macam itu. Dasar wanita ular, batinnya. “Menurutmu kenapa dia jawab gitu? Kamu mikir, mungkin nggak aku kayak gitu”, sejak percakapan tersebut mereka tak lagi saling berkomunikasi. Sandra sibuk meyakinkan teman-temannya yang tak kunjung percaya. Sedangkan Andi sibuk menenangkan fikirannya dan tak tahu harus mempercayai siapa. Puncaknya ketika ibu Chika meninggal, banyak yang memaki Sandra, mereka mengatakan bahwa tega-tegannya Sandra berlaku jahat kepada anak yatim, tega-tegannya Sandra menambah penderitaan Chika. Dan lengkap sudah kebingungan Sandra. Hingga suatu malam Andi datang ke rumah Sandra, sudah lama sejak masalah ini muncul pemuda itu tak datang kerumahnya.
“Terus ini kita mau gimana, San? Aku bingung”, ucap Andi lirih, ia menatap tajam mata Sandra yang lelah dengan permasalahan yang sedang menghadangnya. “Aku nggak tau,An. Aku capek”, ucap Sandra lelah. Lelah karena ia tak kunjung mendapatkan kebenaran. Andi menatap wajah cantik di depannya, menatap bingung.
“Kalo kamu mau solusi yang ampuh. Kamu jadian sama Chika. Yang dia mau itu kamu. Kalo kalian jadian aku nggak akan kena fitnahan dari dia kayak gini. Sekarang semua ada dikamu. Aku gak tau kamu maunya gimana. Karena selama ini kamu diem”, Sandra berharap Andi akan mengatakan bahwa ia menyayanginya, bukan Chika, bahwa ia ingin jadian dengannya bukan Chika.
Tapi Andi tetap terdiam ditempat, kemudian beranjak meninggalkan Sandra yang terpaku ditempat. Pikiran yang berat itu membuat Andi jatuh sakit selama 3 hari, di hari keempat ia memutuskan jadian dengan Chika, meninggalkan Sandra dalam hidupnya. Chika menang dia mengejek Sandra dengan kesombongannya, dan Sandra hanya bisa menangis dalam hujan setelah mendengar pengakuan dari Andi secara langsung. “Setahun lagi aku mau ngomong sama kamu, setelah kita lulus.”, hanya itu kata terakhir yang diucapkan Andi, sambil memberikannya payung kuning. Sandra memakai payung tersebut 5 detik, kemudian ia jatuhkan ke tanah, ia lebih suka menangis dalam hujan. Kehilangan kedua, dan rasanya sama menyesakkannya.
Aku menyunggingkan senyum sedikit, mengingat diriku yang sangat naif waktu itu, kupandang orang berlalu lalang diluar sana yang berlarian menghindari hujan. Sambil menunggu seseorang datang ku makan sepotong kue yang masih hangat.
Setahun berlalu begitu cepat, dan setahun itu Sandra selalu berusaha menghilangkan Andi didalam hatinya, karena terlalu sakit untuk diingat. Tapi semua runtuh ketika mereka berhadap-hadapan sekarang, ucapan Andi memang benar, ia akan menemui Sandra setahun lagi. Dan disinilah mereka, di restaurant dengan pemandangan alam yang sangat indah.
“Apa kabar, An?”, tanya Sandra berbasa-basi, suasana kaku mengelilingi mereka berdua yang tak pernah saling berbicara bahkan menyapa selama setahun ini.
“Sandra, aku mau cerita sama kamu”, ucap Andi setelah meminum jus jeruknya, ia memandang pemandangan dibawah sana, tetapi tatapan matanya kosong. Sandra diam menunggu Andi mengatakan sesuatu yang ditahannya selama setahun ini.
“Dulu aku sayang kamu, bukan Chika”, ucap Andi menatap mantab mata Sandra yang mulai berkaca-kaca. Sungguh 2 tahun Sandra menunggu pengakuan itu dari Andi, tapi bukan dengan situasi yang seperti ini.
“Tapi nyatanya kamu sekarang tetap sama dia kan? Aku sayang kamu,An”, sebisa mungkin Sandra mengucapkannya dengan tenang meski agak bergetar.
“Tapi ada sesuatu yang buat aku nggak bisa sama kamu, San. Aku mau kita kayak sodara, sodara nggak akan pernah putus, sedangkan pacar kan bisa putus.”, Andi sedikit tersenyum, tepatnya memaksakan senyum dibibirnya.
“Oke sodara”, Sandrapun menjawab riang. Batinya berkata, saudara tidak akan saling jatuh cinta An. Entah kenapa ini seperti penolakan dari kamu buat aku. Dan begitulah kisah SMA mereka tutup dengan pertemanan yang erat. Sandra berusaha melupakan Andi dan melanjutkan kuliahnya dengan baik. Andi juga melanjutkan pendidikan militer di tempat yang jauh, dan mengenyahkan Sandra dari dalam hatinya. Tetapi semesta seakan tak ingin dua orang manusia ini terpisah jauh, ada saja yang membuat mereka saling bertemu di waktu dan tempat yang tak terduga, membuat 2 manusia ini tak bisa saling melupakan.
“Kok bisa ketemu di hotel ini sih? Aku satu malem doang disini”, ungkap Sandra terkejut sekaligus bersemangat. Ini adalah dari keduanya Kuliah Kerja Lapangan, dan menginap satu malam salah satu hotel Bandung.
“Aku cuman semalem disini, besok dijemput ajudan. Aku pendidikan 1 bulan di Bandung, San. Perwakilan dari Kalimantan Selatan.”, jelas Andi sambil memberikan sebotol minum kepada Sandra, dan duduk dikasu hotel menatap Sandra yang tak pernah benar-benar hilang dalam hatinya. Sandra juga sama, ia akhirnya dapat menatap Andi sepuasanya tanpa ada gangguan malam ini. Andi menggenggam tangan Sandra untuk pertama kalinya, membuat gadis itu kaget sekaligus membuat degup jantungnya berdetak tak karuan. “Sandra, aku sayang kamu”, ucap Andi tanpa sadar.
“Iya kan dulu kamu emang sayang sama aku.”, Sandra mencoba mencairkan suasanya, ia merasa semakin gerah dan gugup melirik tangannya yang erat digenggam oleh Andi. Andi memeluk Sandra, membuat Sandra lemah dan tak berdaya dalam pelukan Andi. Kaget sekaligus bingung.
“Kamu bisa denger degup jantungku?”, tanya Andi pelan. Sandra mengangguk sebagai jawaban. “Udah 4 tahun dan degup jantungku tetep sama ke kamu, San. Aku sayang kamu dari dulu sampe sekarang”, ungkap Andi lelah, ia tak sanggup menahan perasaanya lagi. Sandra memeluk erat Andi, malam ini saja ia ingin merasakan kasih sayang Andi secara nyata. “Udah berapa kali kita saling menjauh dan berapa kali kita ketemu lagi, San”, ungkap Andi lebih banyak berbicara dari biasanya.
“Kamu mau tau kenapa aku nggak bisa sama kamu? Aku harus menjaga Chika, San. Itu pesan bapaknya Chika. Aku yakin kamu bisa tanpa aku. Kamu berhak dapetin yang lebih dari aku”, jantung Sandra tertohok mendengar kalimat berusan keluar dari mulut pemuda ini. Kenapa sakit ini datang tepat setelah ia merasa bahagia.
“Aku juga sayang kamu, An. Makasih kamu udah sayang sama aku.”, hanya itu yang mampu Sandra katakan. Ia pasrah jika memang mereka hanya bisa bersama seperti ini. Ini sudah sangat cukup baginya. Selebihnya biarkan Tuhan yang berkehendak. Ia bisa merasakan rasa sayang yang dimiliki Andi terhadapnya. Kehilangan yang tetap sama menyakitkannya bagi Sandra. Kehilangan karena ia tak mampu juga melupakan Andi.
Pria itu datang, dan duduk disebelahku. Kemudian melepas jaketnya yang basah karena hujan belum juga reda.
“Kamu kapan dateng ke Semarang? Apa kamu kabur dari kalimantan ya?”, selidikku dengan tawa renyah yang disambut olehnya. Andi nampak gagah didepanku meski kita tak pernah bertemu selama 4 tahun setelah pertemuan terakhir di hotel Bandung. “Cara kamu liat aku tetep nggak berubah”, ucap Andi santai tapi mampu menohok hartiku seperti dulu.
“Aku pulang kesini cuman 2 hari, San. Aku mau ngasih cincin ke orang”, Andi tersenyum simpul memandang keluar jendela kaca. Senja mulai berganti dengan gelap dan masih dengan hujan yang sama.
Aku mengepalkan tangan, berdoa agar kuat dan tidak menangis kali ini, karena perasaanku yang masih sama. Aku tahu bahwa sampai detik ini dia masih bersama Chika karena terlihat di Instagramnya.
“Eh”, aku kaget karena tiba-tiba Andi menyematkan cincin di jari tengahku. Aku bertanya dalam hati kenapa, tepatnya menjerit apa yang sedang Andi mainkan kali ini.
“Sandra, aku nggak akan nembak kamu jadi pacar aku. Tapi hari ini. Aku pengen kamu jadi calon pendamping aku. Kamu mau?”, aku terkejut tak tahu harus berkata apa, bagaimana dengan Chika?
“Kalo yang kamu khawatirnkan tentang Chika. Aku udah jelasih semuanya. Aku nggak bisa San hidup tanpa kamu.”, terang Andi dengan menggenggam tanganku untuk yang kedua kalinya.
Aku hanya mampu mengangguk. Aku tak pernah berandai seindah ini dalam hidupku. Pemuda yang sekarang menjelma menjadi Pria tetaplah orang yang sama dengan 8 tahun yang lalu, aku selalu mencintainya tanpa jeda. Dan hujan, kali ini setiap aku melihatmu aku akan mengenang kenangan yang baik ini.