Hari ini, aku tahu semuanya telah berakhir. Kau tak lagi menunggu aku mengangkat teleponmu seperti biasanya, kau tak lagi menoleh seperti dulu-dulu saat kita berpapasan di warung sebelah rumahku, kau tak lagi mengatakan kalimat-kalimat yang awalnya ku anggap sepele. Sekarang aku tahu, hal sepele itu ternyata dapat mengartikan sebuah hal besar. Aku mengenang setiap momen kita saling teleponan. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
***
Masih teringat, dulu kau sering menelpon. Sesekali ku abaikan, tapi lebih banyak ku angkat dengan penuh semangat. Meskipun kita sering berkomunikasi, tapi kau hanya menganggap dirimu kakak untukku. Sejak awal sepertinya pengartian itu sudah salah, karena aku tidak mau dianggap adik.
Sampai suatu malam, kau bercerita habis-habisan tentang orang yang kau sukai. Kau menceritakan betapa cantiknya dia, betapa manisnya dia, betapa pintarnya dia, betapa lembutnya dia. Aku diam.
“Aku tidak tahu lagi mengapa ada wanita tercipta seperti dia. Terlalu sempurna untuk ku kenali.” Katamu semangat.
Aku masih diam.
“Hei, jangan diam dong. Rainy, kamu masih dengar, kan?”
Aku memperbaiki dudukku, berusaha tersenyum. Lalu bertanya,
“Kalau Aku?”
Kakak tertawa. Ah, aku masih ingat jelas, lebih dari semenit aku mendengar tawamu.
“Tentu saja kamu juga cantik, baik, pintar...” Jawabmu akhirnya.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
“Kenapa... aku hanya adik?”
Kau terdiam begitu lama.
“Karena kamu memang adikku Rainy!!!”
Kau berusaha menjawabnya dengan tenang, tapi aku tahu kau mulai mengerti maksudku. Aku tersenyum.. namun baru kali itu senyuman terasa sangat menyakitkan. Aku bahkan bisa merasakan tubuhku bergetar hebat setelah percakapan. Mataku panas, seakan-akan air mata mendorong paksa untuk bisa menampakkan diri. Sungguh sangat menyakitkan hingga paru-paruku susah untuk bekerja. Sangat amat menyakitkan. Lalu beberapa hari kemudian, kau menelpon seperti biasanya. Menanyakan kabar dengan penuh kecemasan.
“Maaf karena kemarin-kemarin aku tidak menelpon. Bagaimana kabarmu Rainy? Jangan bilang sakit ya!”
“Emm.. tidak terlalu baik. Kadang batuk karena asap rokok.”
“Hm.. asap rokok ya....” Jawabmu.
“Kakak merokok?”
“Iya...”
Aku terdiam, memikir pertanyaan yang ingin ku ajukan lagi.
“Kakak pernah minum minuman haram?”
“I... iya...”
“Kakak.....” aku tidak tahu lagi harus menanyakan apa.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak keberatan kan?”
“Iya.”
“Rainy, aku sangat suka orang yang berkata ‘iya’ “
Kalimat itu adalah kalimat terakhirmu untukku di tahun 2011. Aku sangat kecewa karena teleponnya tiba-tiba putus dan kau tak kunjung menelpon lagi. Aku masih ingat, kau menyuruhku untuk tidak menelponmu lebih dulu. Alasannya sederhana;
“Jangan habiskan pulsamu untuk aku.”
Aku yakin, kau, Kakak, belum pernah merasakan rindu seberat apa.
***
Hari-hari berlalu dan aku masih menunggu teleponmu. Sesekali aku mengecek beberapa media sosialmu, namun tampaknya kau tidak disana. Dibeberapa kesempatan aku bahkan sengaja lewat depan rumahmu, namun kosong disana.
Kau tetangga yang lucu, pikirku diawal mengenalmu. Sering beli beras disamping rumahku, tapi tidak pernah pulang lewat depan rumahku. Kau lebih memilih jalan satu putaran untuk sampai dirumah. Aku sering bertanya kenapa, dan katamu;
“Aku tidak mau kalau kamu lihat aku ngangkat beras.”
Atau kau mencari alasan lain kalau sedang bosan mengatakan itu.
“Mau olahraga, biar jadi sehat!”
Aku hanya senyum kalau kau mengatakan hal itu, tapi aku tahu itu bukan alasan utamamu. Kata Ibumu, mungkin saja kau tidak mau lewat depan rumah karena malu bertemu denganku. Kata Ibuku, kau tidak percaya diri, bisanya hanya menelpon saja.
Aku tidak peduli dengan alasan-alasan kau. Yang jelas sekarang aku benar-benar rindu dengan ucapan-ucapanmu yang tidak penting itu. Kalimat sepele yang penuh akan makna.
Setiap sore aku duduk didepan rumah, siapa tahu kau lelah untuk olahraga atau tidak sedang membeli beras. Sapaan “Hai” atau “Rainy!” dari suara khas milikmu sangat aku rindukan. Kau tahu? Aku tidak tahan tidak mendengar suaramu!
Aku tidak bisa!
***
Kemarin sore, aku bertemu dengan temanmu, si Dani. Kau ingat Kang Dani kan? Lelaki Sunda yang masih tergolong tetangga baru di komplek ini. Lelaki Sunda yang juga tergolong ke anak cowok paling jail di komplek ini.
Aku menanyakan kabarmu, dia bilang kau baik-baik saja.
“Hamid mah masih sering makan depan komplek.”
Itu kata Kang Dani, Kau masih sering makan di rumah makan depan komplek. Katanya juga, Kau masih sering bermain futsal di lapangan sebelah sekolahku. Tapi Kang Dani juga bilang;
“Tapi Hamid lagi ngurusin sesuatu, teh. Kayaknya lagi sibuk banget.”
Awalnya Aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba menghilang dariku, tapi sepertinya karena kesibukanmu itu. Bahkan Kang Dani juga tidak tahu kau sedang mengurusi apa. Tapi satu yang jelas, kau berbohong padaku.
Kang Dani yang kemarin aku temui di warung samping rumahku mengatakan, kau tidak merokok. Kau tidak pernah minum minuman haram. Diajak untuk menginap di rumah Kak Andre saja kau takut. Kau terlalu takut melakukan dosa.
Saat pulang ke rumah, aku sadar. Kau menjelek-jelekkan dirimu di hadapanku. Kau membuatku ingin melupakanmu. Kau tidak mau membalas perasaanku. Kau... memang hanya menganggapku adik.
Rasanya begitu sakit.
Rasanya begitu sakit.
Rasanya begitu sakit.
***
Pagi ini, masih sama seperti kemarin-kemarin. Kau belum juga menelponku. Sudah terhitung dua bulan sejak terakhir kau menelpon dengan penuh kecemasan. Ini rekor terbarumu. Aku harap kau tidak membuat rekor yang lebih lama lagi.
Saat aku hendak membeli sabun cuci muka di warung sebelah, Ibu menghentikan langkahku. Katanya aku harus sisir dulu sebelum keluar rumah. Aku hanya mengikuti perintahnya tanpa bicara, tapi tiba-tiba langkahku terhenti melihat Ibu yang sedang membaca.
Ibu mengerutkan keningnya,
“Ada apa?” Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, segera ke kamar dan menyisir rambut. Setelah membeli sabun cuci muka, aku mengambil selembar kertas yang tadi Ibu baca. Sekarang aku lihat Ibu sedang memasak sarapan pagi.
Warnanya merah mudah dengan pita putih yang cantik. Tulisannya dari tinta emas yang berkilauan disetiap mata yang melihatnya. Aku duduk di kursi ruang tengah. Dalam hati mengumpat sebanyak-banyaknya untuk kau, Kakak.
Hari ini, aku tahu semuanya telah berakhir. Kau tak lagi menunggu aku mengangkat teleponmu seperti biasanya, kau tak lagi menoleh seperti dulu-dulu saat kita berpapasan di warung sebelah rumahku, kau tak lagi mengatakan kalimat-kalimat yang awalnya ku anggap sepele. Sekarang aku tahu, hal sepele itu ternyata dapat mengartikan sebuah hal besar. Aku mengenang setiap momen kita saling teleponan.
***
“Undangan Pernikahan
11 Februari 2012
Hamid Syahdani Ihsan & Raisyana Adinda Putri
Untuk:
Abdul Karim M.Sc & Nyonya”
Air mataku jatuh tak tertahankan. Ku usap undangan itu, warnanya merah muda. Warna kesukaanku, tapi sekarang aku benci.
Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir. Sudah berakhir, untuk hal yang sebenarnya bahkan belum pernah bermula.
Kak Hamid, semoga pernikahanmu berkah.
MERAH MUDA
Hari itu, aku tahu semuanya telah berakhir. Kita berjalan bersama namun langkah kita berbeda. Kau tak lagi menunggu seperti biasanya, kau tak lagi menoleh seperti dulu-dulu, kau tak lagi melakukan hal yang awalnya ku anggap sepele. Sekarang aku tahu, hal sepele itu ternyata dapat mengartikan sebuah keputusan besar. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
***
Masih teringat, dulu kau sering menelpon. Sesekali ku abaikan, tapi lebih banyak ku angkat dengan penuh semangat. Meskipun kita sering berkomunikasi, tapi kau hanya menganggap dirimu kakak untukku. Sejak awal sepertinya pengartian itu sudah salah, karena aku tidak mau dianggap adik.
Sampai suatu malam, kau bercerita habis-habisan tentang orang yang kau sukai. Kau menceritakan betapa cantiknya dia, betapa manisnya dia, betapa pintarnya dia, betapa lembutnya dia. Aku diam.
“Aku tidak tahu lagi mengapa ada wanita tercipta seperti dia. Terlalu sempurna untuk ku kenali.” Katamu semangat.
Aku masih diam.
“Hei, jangan diam dong. Rainy, kamu masih dengar, kan?”
Aku memperbaiki dudukku, berusaha tersenyum. Lalu bertanya,
“Kalau Aku?”
Kakak tertawa. Ah, aku masih ingat jelas, lebih dari semenit aku mendengar tawamu.
“Tentu saja kamu juga cantik, baik, pintar...” Jawabmu akhirnya.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
“Kenapa... aku hanya adik?”
Kau terdiam begitu lama.
“Karena kamu memang adikku Rainy!!!”
Kau berusaha menjawabnya dengan tenang, tapi aku tahu kau mulai mengerti maksudku. Aku tersenyum.. namun baru kali itu senyuman terasa sangat menyakitkan. Aku bahkan bisa merasakan tubuhku bergetar hebat setelah percakapan. Mataku panas, seakan-akan air mata mendorong paksa untuk bisa menampakkan diri. Sungguh sangat menyakitkan hingga paru-paruku susah untuk bekerja. Sangat amat menyakitkan. Lalu beberapa hari kemudian, kau menelpon seperti biasanya. Menanyakan kabar dengan penuh kecemasan.
“Maaf karena kemarin-kemarin aku tidak menelpon. Bagaimana kabarmu Rainy? Jangan bilang sakit ya!”
“Emm.. tidak terlalu baik. Kadang batuk karena asap rokok.”
“Hm.. asap rokok ya....” Jawabmu.
“Kakak merokok?”
“Iya...”
Aku terdiam, memikir pertanyaan yang ingin ku ajukan lagi.
“Kakak pernah minum minuman haram?”
“I... iya...”
“Kakak.....” aku tidak tahu lagi harus menanyakan apa.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak keberatan kan?”
“Iya.”
“Rainy, aku sangat suka orang yang berkata ‘iya’ “
Kalimat itu adalah kalimat terakhirmu untukku di tahun 2011. Aku sangat kecewa karena teleponnya tiba-tiba putus dan kau tak kunjung menelpon lagi. Aku masih ingat, kau menyuruhku untuk tidak menelponmu lebih dulu. Alasannya sederhana;
“Jangan habiskan pulsamu untuk aku.”
Aku yakin, kau, Kakak, belum pernah merasakan rindu seberat apa.
***
Hari-hari berlalu dan aku masih menunggu teleponmu. Sesekali aku mengecek beberapa media sosialmu, namun tampaknya kau tidak disana. Dibeberapa kesempatan aku bahkan sengaja lewat depan rumahmu, namun kosong disana.
Kau tetangga yang lucu, pikirku diawal mengenalmu. Sering beli beras disamping rumahku, tapi tidak pernah pulang lewat depan rumahku. Kau lebih memilih jalan satu putaran untuk sampai dirumah. Aku sering bertanya kenapa, dan katamu;
“Aku tidak mau kalau kamu lihat aku ngangkat beras.”
Atau kau mencari alasan lain kalau sedang bosan mengatakan itu.
“Mau olahraga, biar jadi sehat!”
Aku hanya senyum kalau kau mengatakan hal itu, tapi aku tahu itu bukan alasan utamamu. Kata Ibumu, mungkin saja kau tidak mau lewat depan rumah karena malu bertemu denganku. Kata Ibuku, kau tidak percaya diri, bisanya hanya menelpon saja.
Aku tidak peduli dengan alasan-alasan kau. Yang jelas sekarang aku benar-benar rindu dengan ucapan-ucapanmu yang tidak penting itu. Kalimat sepele yang penuh akan makna.
Setiap sore aku duduk didepan rumah, siapa tahu kau lelah untuk olahraga atau tidak sedang membeli beras. Sapaan “Hai” atau “Rainy!” dari suara khas milikmu sangat aku rindukan. Kau tahu? Aku tidak tahan tidak mendengar suaramu!
Aku tidak bisa!
***
Kemarin sore, aku bertemu dengan temanmu, si Dani. Kau ingat Kang Dani kan? Lelaki Sunda yang masih tergolong tetangga baru di komplek ini. Lelaki Sunda yang juga tergolong ke anak cowok paling jail di komplek ini.
Aku menanyakan kabarmu, dia bilang kau baik-baik saja.
“Hamid mah masih sering makan depan komplek.”
Itu kata Kang Dani, Kau masih sering makan di rumah makan depan komplek. Katanya juga, Kau masih sering bermain futsal di lapangan sebelah sekolahku. Tapi Kang Dani juga bilang;
“Tapi Hamid lagi ngurusin sesuatu, teh. Kayaknya lagi sibuk banget.”
Awalnya Aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba menghilang dariku, tapi sepertinya karena kesibukanmu itu. Bahkan Kang Dani juga tidak tahu kau sedang mengurusi apa. Tapi satu yang jelas, kau berbohong padaku.
Kang Dani yang kemarin aku temui di warung samping rumahku mengatakan, kau tidak merokok. Kau tidak pernah minum minuman haram. Diajak untuk menginap di rumah Kak Andre saja kau takut. Kau terlalu takut melakukan dosa.
Saat pulang ke rumah, aku sadar. Kau menjelek-jelekkan dirimu di hadapanku. Kau membuatku ingin melupakanmu. Kau tidak mau membalas perasaanku. Kau... memang hanya menganggapku adik.
Rasanya begitu sakit.
Rasanya begitu sakit.
Rasanya begitu sakit.
***
Pagi ini, masih sama seperti kemarin-kemarin. Kau belum juga menelponku. Sudah terhitung dua bulan sejak terakhir kau menelpon dengan penuh kecemasan. Ini rekor terbarumu. Aku harap kau tidak membuat rekor yang lebih lama lagi.
Saat aku hendak membeli sabun cuci muka di warung sebelah, Ibu menghentikan langkahku. Katanya aku harus sisir dulu sebelum keluar rumah. Aku hanya mengikuti perintahnya tanpa bicara, tapi tiba-tiba langkahku terhenti melihat Ibu yang sedang membaca.
Ibu mengerutkan keningnya,
“Ada apa?” Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, segera ke kamar dan menyisir rambut. Setelah membeli sabun cuci muka, aku mengambil selembar kertas yang tadi Ibu baca. Sekarang aku lihat Ibu sedang memasak sarapan pagi.
Warnanya merah mudah dengan pita putih yang cantik. Tulisannya dari tinta emas yang berkilauan disetiap mata yang melihatnya. Aku duduk di kursi ruang tengah. Dalam hati mengumpat sebanyak-banyaknya untuk kau, Kakak.
***
“Undangan Pernikahan
11 Februari 2012
Hamid Syahdani Ihsan & Raisyana Adinda Putri
Untuk:
Abdul Karim M.Sc & Nyonya”
Air mataku jatuh tak tertahankan. Ku usap undangan itu, warnanya merah muda. Warna kesukaanku, tapi sekarang aku benci.
Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir. Sudah berakhir, untuk hal yang sebenarnya bahkan belum pernah bermula.
Kak Hamid, semoga pernikahanmu berkah.