Semburat jingga mulai muncul di langit, beradu dengan warna biru dan putih menghasilkan perpaduan warna yang amat cantik di langit. Mentari perlahan-lahan tenggelam kembali ke singgasananya. Meninggalkan secercah sinar sebelum semuanya menjadi gelap dan digantikan sang rembulan.
Kedai kopi tampak sepi pengunjung sore ini, hanya ada beberapa pengunjung yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Seorang gadis duduk di sofa paling ujung ditemani dengan setumpuk berkas dan laptop yang menyita semua perhatiannya. Sudah lebih dari dua jam dia sibuk dengan laptopnya, mengetik sesuatu di sana, hingga dia tidak sadar sore telah berganti malam.
Dering ponsel mampu mengalihkan sejenak perhatiannya dari laptop dan setumpuk berkas itu. “Hallo,” gadis itu menempelkan benda persegi panjang itu di telinganya. “Iya, Ma. Emm—“ dia melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. “Sudah dua jam saya menunggu.” Wajahnya terlihat letih dan bosan. “Baiklah akan saya tunggu tiga puluh menit lagi.”
Wanita itu meletakkan benda itu setelah sambungan telephone terputus kembali mengetik, membiarkan jemarinya menari di atas keyboard. Ia membenarkan letak kaca matanya yang melorot.
Masih sambil mengamati layar laptopnya, gadis itu menggapai, bermaksud untuk mengambil secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Tiba-tiba, gelas itu melayang ke tangannya.
“Thanks,” ujar gadis itu tanpa menoleh sedikit pun.
“Sejak kapan kamu suka kopi?”
Gadis itu terkejut, merasa mengenali suara itu. Perlahan, gadis itu mendongak. Raut wajahnya tiba-tiba berubah begitu menyadari siapa yang sedang duduk di depannya. "Kamu," ujar Naya tidak percaya pada penglihatannya.
Pria itu tersenyum hangat saat akhirnya bersitatap dengan mata hazel itu lagi. “Do you still remember me?” Detik berikutnya pria itu mengeluarkan setangkai mawar putih dari balik punggungnya.
Gadis itu segera tersadar, ia segera mengemasi semua barangnya di atas meja tanpa menghiraukan pria itu. “Maaf saya lagi sibuk.”
Pria itu menahan pergelangan tangan gadis itu. “Tunggu! Bisakah kita bicara sebentar saja?”
Gadis itu menghempaskan tangan pria tadi.
“Maaf saya tidak punya waktu.” Gadis itu lalu berjalan menjauh.
“Sampai kapan?”
Suara pria itu menghentikan langkah kaki gadis itu.
“Sampai kapan kamu menghindar dari masalah, Nay? Aku mau jelasin semuanya. Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya!”
“Semua sudah berakhir satu tahun yang lalu,” jawab Naya dingin.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, gadis itu masih terjaga, menikmati setiap udara dingin yang membelai kulitnya, membiarkan angin malam bermain dengan rambutnya. Ia menghela napas panjang.
Ingatannya melayang pada kejadian tiga tahun yang lalu.
“Kenapa? Dia anak yang baik kok,” ujar seorang wanita paruh baya waktu itu.
“Ma, saya bisa cari pasangan sendiri, Mama nggak perlu repot-repot mencarikan jodoh untuk saya.”
“Naya kamu terlalu sibuk sama kerjaan, coba jalanin aja dulu.” Wanita paruh baya itu berusha membujuk putrinya.
Naya, gadis itu menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan memori masa lalunya.
“Harusnya dulu saya nggak pernah terima perjodohan itu.”
***
Tok… tok… tok…
“Masuk!” seru Naya, gadis itu masih sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya.
“Maaf, anda dipanggil ke ruangan Pak Yoga.”
Naya mengerutkan dahi, tampak berpikir. “Siapa Pak Yoga?”
“Beliau adalah CEO baru di sini?”
“Baiklah saya akan menemuinya setelah ini.” Naya merapikan berkasnya sebelum beranjak dari posisinya.
Sesampainya Naya di depan pintu ganda nan kokoh itu, ia menghela napas panjang untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ini pertama kalinya ia masuk ke ruangan CEO selama satu tahun ia bekerja di perusahaan itu. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu itu.
“Masuk!
Naya membuka pintu itu dan berjalan masuk.
“Bapak memanggil saya?” Naya memperhatikan seorang pria yang mukanya tertutup sebuah Koran, pertanda pria itu sedang membaca Koran.
Naya tersentak saat pria itu melipat korannya dan menampakkan wajahnya. “Dean?” ujar Naya lalu gadis itu melirik papan nama yang bertengger manis di meja pria itu ‘Dean Prayoga.’
Naya mundur secara perlahan, saat Dean berjalan menghampirinya. “Nay, kita harus bicara!”
Naya memejamkan mata, ia bergegas menuju pintu. Sebelum Naya mencapai pintu keluar Dean berhasil menahan pergelangan tangan Naya dan langsung memeluk gadis itu dengan erat dari belakang.
Kaget, Naya berusaha melepaskan pelukan itu. “Biarkan seperti ini sebentar saja, Nay!” Dean semakin mengeratkan pelukannya. “Aku merindukanmu Naya.” Ujar Dean pelan tepat di telinga gadis itu.
Naya memejamkan mata, ada gejolak amarah dalam dirinya. Hatinya ingin menjerit, “saya juga merindukanmu, Dean.” Namun, otaknya melarangnya. Semakin ia ingin mengutarakan isi hatinya sebenarnya semakin otaknya memutar semua kenangan pahit, tentang penghianatan yang di lakukan pria itu.Untuk saat ini, Naya membiarkan pria itu memeluknya, menumpahkan segala rindu yang sudah lama mereka pendam.
***
Hari ini kedai kopi tampak ramai didominasi para pelajar, ada yang hanya berkumpul dengan temannya ada juga yang tampak serius dengan buku bacaannya. Aroma kopi mampu mengurangi beban pikiran Naya. Namun, gadis itu menatap secangkir kopi dengan tidak berselera.
Sedangkan di depannya duduk seorang pria yang mengusik ketenangannya membuat ia sedikit risih sedari tadi pria itu terus menatapnya.
“Nay!”
Suara barito itu berhasil membuat Naya mendongak.
“Aku minta maaf,” ujar pria itu tulus.
Kedua mata itu memancarkan penyesalan yang mendalam, Naya tau itu. “Maaf katamu? Buat apa?” tanya Naya tak bersemangat.
Dean menghela napas pasrah, ia tau membujuk gadis di depannya harus penuh kesabaran. “Kamu berubah. Kamu bukan Naya yang dulu.”
Perkataan Dean berhasil memancing amarah Naya, dari raut wajahnya terlihat jelas amarah gadis itu. “Saya memang bukan Naya yang dulu.” Naya mengepalkan kedua tangannya, menahan semua amarahnya yang hampir meledak. “KAMU YANG BUAT SAYA BERUBAH!” seru Naya penuh penekanan.
Dean menatap Naya tidak percaya, gadisnya bisa berubah menjadi wanita yang dingin tak tersentuh. “Kamu lupa?” Dean metatap mata hazel Naya. “Dulu kamu yang hilang tanpa kabar, Nay. Satu tahun aku berusaha cari kamu. Bahkan Mama kamu nggak mau ngasih tau di mana kamu.”
“Itu karena kamu sudah merusak kepercayaan Mama saya dan saya.”
“Nay!” Dean berusaha menggenggam tangan Naya. Namun, gadis itu lebih dulu menarik tangannya menjauh. “Aku—“
“Sudahlah hubungan kita sudah berakhir satu tahun yang lalu.”
“Nggak, Nay! Nggak ada yang berakhir di antara kita.” Dean berusaha meraih tangan Naya. Tapi, gadis itu selalu mengelak.
“Saya nggak mau dituduh sebagai perusak hubungan orang. Jangan temui saya lagi! Besok saya akan kirimkan surat pengunduran diri saya.” Naya beranjak dari posisinya.
“Fira, dia cuma sahabat aku, Nay. Aku nggak pernah main belakang sama dia. Aku sama dia cuma sahabatan nggak lebih.”
“Kamu bisa bicara seperti itu. Tapi, hati dan omongan kadang tidak sama. Kamu pikir saya bodoh? Saya lihat sendiri kamu pelukan sama Fira.”
“NAY! NAY! TUNGGU NAY!” Dean pasrah menatap punggung Naya yang semakin menjauh.
***
“Percaya sama aku, Dean sayang banget sama kamu, Nay.”
Naya duduk di taman bersama Fira. Sepulang dari kedai kopi tadi, tidak sengaja Naya bertemu dengan Fira. Gadis yang menjadi alasan retaknya hubungan Naya dan Fira.
“Aku tau kenapa kamu menjauh bahkan menghilang dari hidup Dean. Kamu pasti dengar pengakuan aku waktu itu.”
Naya kembali mengulang memori kelam satu tahun yang lalu.
“Kenapa kamu pilih dia? Kamu bilang kamu nggak mau dijodohin? Kamu bilang kamu sayang sama aku? Aku sayang sama kamu Dean, lebih dari seorang sahabat. Kamu bilang kamu nggak suka sama Naya. Bilang sama aku Dean! Bilang kalau kamu sayang sama aku dan kamu nggak sayang sama Naya,” ujar Fira histeris. Gadis itu memukul dada bidang Dean menumpahkan seluruh air matanya di sana.
Naya mendengar semua itu, gadis itu bersembunyi di balik pohon mengamati dua orang itu dari jauh.
“Fira, dengerin aku.” Dean mencoba menenangkan Fira yang mulai menangis histeris. “Kamu memang benar aku memang nggak mau dijodohin. Aku juga sayang sama kamu Fira,” kata Dean.
Naya diam membatu di balik pohon itu. Air matanya langsung berjatuhan. Ia membekap kedua mulutnya. Ia mengintip Dean dan Fira yang tengah berpelukan. “Kamu tega Dean.” Naya meninggalkan taman itu dengan hati yang hancur.
“Benar kamu juga sayang sama aku?” tanya Fira prnuh harap.
“Aku sayang sama kamu cuma sebatas sahabat, Fira. Dan tentang perjodohan itu, awalnya memang aku menolak tapi aku bersyukur setelah mengenal Naya, pandanganku tentang dunia telah berubah karena gadis itu. Gue sayang banget sama Naya. "
Fira menjelaskan peristiwa malam itu secara rinci berharap Naya mau mendengarnya.
“Kamu percaya kan?”
“Aku nggak tau.”
“Kalau gitu aku pamit dulu. Kamu selesaikan masalah kamu sama Dean! Kebetulan Dean ada di sini.” Setelah berkata seperti itu Fira meninggalkan mereka berdua.
“Nay! Kamu mau maafin aku?” Dean membawa dua tangkai mawar. Di tangan kanan ia membawa mawar merah di tangan kiri ia membawa mawar hitam. “Kalau kamu mau maafin aku ambil mawar merah ini, Nay. Tapi, kalau kamu nolak aku kamu pilih mawar hitam ini.”
“Jadi?” tanya Dean memastikan, dalam hati ia berdoa semoga ia tidak mendapat jawaban yang buruk.
Naya mengambil setangkai Mawar hitam, Dena menatap Naya tak percaya. Ternyata sudah nggak ada lagi kesempatan buat Dean. Naya tersenyum tulus pada Dean, lalu Mawar hitam itu diletakkan dipangkuan Naya. “Hitam. Aku percaya warna hitam tak selamanya buruk. Hitam melambangkan lika-liku kisah cinta kita. Tanpa adanya lika-liku kita nggak akan pernah tau cinta itu tulus atau palsu,” kata Naya membuat Dean bingung.
Naya mengambil setangkai mawar merah, dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Detik berikutnya Dean sadar Naya telah memberikan kesempatan kedua untuknya. "Balikan sama mantan mungkin memang terlihat bodoh dan membiarkan kita jatuh untuk kedua kali. Seperti membaca ulang sebuah novel, nggak ada yang menarik lagi dan endingnya pun pasti sama. Tapi bagiku, balikan sama kamu adalah hal yang paling indah dan aku terima semua konsekuensinya. Aku percaya kita bisa bangun cerita baru dengan ending yang berbeda."
END