Akhi Idaman
Berawal dari pertemanan hingga menuju sebuah persahabatan yang diikat erat oleh kata ‘nyaman’, dibubui dengan candaan sampai curhatan mengenai cinta untuk seorang wanita. Danu tersenyum melihat foto keempat lelaki termasuk dia, terbingkai rapi didinding kamarnya. Bayangan dari ketiga sahabat disampingnya terhenti saat suara mama memanggilnya.
“Mikha!”
“Iya”
Danu menuju dapur, tempat suara mama terdengar. Namanya Danu Mikhano, entah ada angin apa mama memanggil dirinya “Mikha” yang lebih identik dengan nama wanita.
“Kamu potong wortel ini kecil-kecil ya, potong dadu aja”
Danu menganggukkan kepala sambil membenarkan kacamatanya.
Bila hari libur, Danu pasti membantu mama, kalau bukan dia, siapa lagi. Dia tidak terlalu tega melihat mama mengerjakan banyak tugas rumah sendirian, dia tidak setega kakak maupun adik lelakinya yang sibuk dengan dunia sendiri. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaan ibu rumah tangga, dari mulai memotong, menggoreng, mencuci, sampai menyetrika pakaian, tapi satu yang tidak biasa baginya, dia... tidak biasa jatuh cinta. Namun, tepat dihari itu, dia merasakannya.
Waktu menunjukkan pukul 7 pagi, suasana kelas sudah ramai seperti kicauan anak ayam yang baru menetas, nyaring tanpa dosa, tanpa merasa bersalah karena dosen belum ada. Wido, salah satu sahabat Danu, mulutnya tidak bergerak sedikitpun, dia sibuk dengan laptop, dia terlihat menggabungkan dan mengedit beberapa video. Sedangkan Danu, sibuk dengan teman-teman lain yang menanyakan jawaban tugas, dia mengajari mereka. Dan pada saat itu, Faiz sahabatnya yang lain, baru saja datang, dia memasuki kelas seakan tau bahwa dosen tidak ada hari ini, dia tersenyum puas. Wido menunjukkan ekspresi bete melihat sahabatnya itu.
“Lo gak bareng Chico?” tanya Wido.
“Bareng, tapi dia langsung ke masjid, sholat dhuha”
“Wah makin rajin aja tuh anak. Gue juga ah mau ke masjid, kalian ikut gak?” timbrung Danu.
“Entar nyusul” jawab Wido dan Faiz kompak.
Disisi lain, setelah salam Chico berdoa, begitu serius. Dia terlihat karismatik dengan senyumnya, wajahnya bersih, seakan memancarkan cahaya putih. Dia membuka al-qur’an kecil yang dibawanya, dia mengaji dan membaca arti ayat dengan suara pelan.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid:20)”
Chico tampak begitu excited membacanya,
“Ya, berusaha untuk kelangsungan hidup di dunia tentu boleh dengan terus berdoa dan tawakal untuk hasil terbaik, tapi perlu diingat, bahwa jangan pernah lupa dengan kehidupan akhirat nanti, persiapkan diri” kata Chico menanamkan semangat dalam dirinya untuk terus beribadah dan menjadi lebih baik.
Sebelum masuk ke dalam masjid, angin bertiup cukup kencang, membuat sisi belakang jilbab panjang seorang wanita berkibar tangguh seperti bendera merah putih. Dia spontan memegangi sisi belakang jilbab dengan senyum yang sempat merekah dibalik wajah teduhnya. Tanpa disengaja, Danu melihat itu, dia menatap fokus dari jauh, terpesona. Wanita itu menyadari bahwa Danu melihatnya, raut wajahnya berubah bete dan mempercepat langkahnya menuju masjid. Danu salting, dia membenarkan kacamata dan sempat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, jantungnya berdetak cepat.
“Parah, kenapa jantung gue. Padahal gak lagi ngadapi dosen kiler, padahal gak lagi nunggu hasil ujian”
Danu membersihkan pikiran dengan mengambil wudhu. Dia memasuki masjid dan sempat menepuk pundak Chico, keduanya tersenyum. Danu meletakkan kacamatanya tepat di tengah al-quran terbuka yang dipegang Chico tanpa mengucapkan apapun, dia langsung sholat dhuha.
Mereka berdua keluar masjid. Pada saat itu, Danu melihat wanita berjilbab panjang yang sempat dilihatnya tadi. Mereka melewatinya, namun seperti ada yang salah, ada yang aneh antara wanita itu dan Chico, mereka tampak kaku.
“Lo kenal tu cewek?” tanya Danu.
“Iya, dia Zahra, kenapa emangnya?”
“Enggak nanya aja”
Danu menunjukkan sikap yang biasa, namun tidak biasa dalam hatinya. Dia terus mengingat nama wanita itu. Sampai di kelas, dia langsung mencari akunnya.
“Yeelah, pakai digebok aja ni ukhti. Padahal ana mau ngepo. Follow gak ya...”
Danu memejamkan mata dan mem-follow wanita itu. Ketiga sahabatnya yang lain heran melihat sikap Danu. Mereka saling memandang dan,
“Woy” teriak mereka sambil menepuk pundak Danu.
“Eh palakmu, palakmu copot. Astaghfirullahal'adzim akhi!!”
Danu menenangkan pikiran dan menetralkan rasa didadanya yang sempat kaget deg-degan. Ketiga sahabatnya, tidak berhenti menjahili dan menggoda Danu dengan berusaha mengambil handphone-nya, ingin melihat apa yang sebenarnya Danu lihat.
“Ayo lo lihat apaan?” kata Chico.
“Enggak lihat apa-apaan akhi. Eh, jadi gimana rencana traveling kita? mau naik gunung, nyelam laut atau gimana nih?!”
“Garap sawah ajalah iya” kata Faiz nyengir.
Mereka langsung duduk rapi di kursi masing-masing, membicarakan rencana lebih lanjut dan itu membuat Danu berhasil mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.
Setelah pembicaraan yang menghabiskan waktu sekitar satu jam tanpa titik temu, semua seakan hanya rencana tanpa ada kepastian yang jelas. Mereka memutuskan untuk mencari informasi lagi mengenai tempat yang akan dituju dan pulang. Tidak ada niat bertahan berlama-lama di kampus, dikarenakan dosen sibuk mengurusi kakak tingkat yang mau lulus.
“Dan, pinjam hp lo bentar, numpang sms emak gue” kata Chico.
Tanpa perasaan curiga, Danu langsung memberikannya kepada Chico. Chico benar-benar meminjam untuk sms, tapi tak melupakan apa yang sempat dicurigainya. Dia membuka akun instagram Danu dan melihat riwayat pencarian terakhir.
“Zahra...” kata Chico dalam hati sambil melihat Danu.
...
Hujan turun cukup deras dengan tiupan angin menyertainya, dingin terasa menyusup ke tulang-tulang, namun itu tak membuat langkah kaki Chico terhenti. Dia berjuang dengan payung menuju masjid, seperti ksatria kuda hitam ditengah badai yang terus menerobos cepat tanpa peduli akan terbawa badai untuk menyelamatkan orang yang dicintainya, sang putri, sang bidadari Surga.
“Alhamdulillah” kata Chico setelah sampai dipintu masuk masjid.
Tiba waktunya, dia mengumandangkan adzan shubuh. Chico di masjid sampai langit menunjukkan cahaya birunya, dia sempat berbaring, beristirahat sebentar. Dia berangkat dari posisinya sekarang saat mendapat video call grup dari sahabatnya.
“Assalammualaikum, kalian lagi ngapain?” kata Danu memulai pembicaraan.
“Walaikumussalam” jawab mereka serentak dengan senyuman, seakan aneh dengan keadaan itu.
“Gue lagi ngepel” jawab Faiz.
“Gue lagi lihatin kamu” kata Wido sambil ngaca dilayar hp dengan muka sok imut.
“Gue masih di masjid, bentar lagi gue pulang” kata Chico.
“Widih.. akhi kita” jawab yang lain kompak.
“Jangan lupa ke rumah gue hari ini, acara masak-masak kita” kata Danu.
Disaat itu, Faiz yang sempat memberhentikan tugas mengepel lantai, sedikit kesal melihat adik wanitanya berlarian kesana kemari melewati lantai yang sudah dipel. Dia spontan meletakkan hp nya diatas meja.
“Aduh dek, jangan lari-lari, nanti kepeleset, jatuh. Sini-sini kakak gendong”
Sahabatnya tertawa mendengar suara Faiz dari video call grup yang masih aktif. Komentar bermunculan
“Kakak sayang adek”
“Kakak yang baik”
“Calon bapak”
“Sudah sudah, gue selesain tugas rumah dulu, nanti gue ke rumah lo” kata Faiz langsung mengakhiri video call.
Sekitar pukul 10 pagi, mereka sudah berkumpul di rumah Danu. Hari ini, Danu sendirian di rumah. Dia tidak suka sendirian, namun terkadang... sendiri bukan sebuah pilihan. Rencana memasak seperti hanya sebuah rencana, ketiga sahabatnya yang lain malah asyik bermain mobile legend di ruang tengah. Danu sempat marah-marah, mulutnya tidak berhenti bicara, dia sudah seperti ibu-ibu rempong. Dia menarik tangan satu persatu sahabatnya, cukup lama, namun akhirnya mereka menurutinya.
Semua terkendali dengan tak lepas dari arahan Danu. Memotong sampai menumis sayur, berjalan dengan lancar diiringi senyuman. Chico terlihat begitu antusias dari yang lain, namun ekspresinya berubah saat mendengar perkataan Danu.
“Chico, gue sempat ngepoi lo, gue ketemu akun lo yang lama, ternyata lo pernah alay juga ya?”
“Ha?”
“Aku akan setia mencintamu sampai mati. Sekarang gimana?”
“Wow..” kata Faiz dan Wido yang sesaat tertawa.
“Ya itu gue yang dulu, gue pernah alay mencinta, gue pernah patah hati, patah sepatah-patahnya, hingga gue males untuk mencinta, tapi karena itu..., gue bisa mengambil sisi positif, bahwa ini memang bukan waktu yang tepat, ini bukan saatnya. Untuk apa menyiksa perasaan dengan pacaran? selain menyiksa, itu juga dosa. Setiap orang punya masalah lalu kan? so, jangan ungkit lagi, karena seseorang berhak, untuk lebih baik dari masalah lalunya”
Mereka semua terdiam, suasana menjadi begitu serius, namun bisa ternetralisir saat Faiz dan Wido memasukkan ikan kepenggorengan dengan minyak yang sudah panas. Mereka berempat kaget dan respek menghindar,
“Woy! mak! haha” tawa Wido dan Faiz.
Danu dan Chico menggelengkan kepala. Mereka saling merangkul, tersenyum melihat itu.
...
Break, Danu dan ketiga sahabatnya berjalan menuju kantin dan pada saat itu, ada Zahra dan teman-temannya. Mereka saling melewati, teman-teman Zahra sempat berbisik,
“Ehm, ada Chico tuh”
Dengan sikap dan suara yang terdengar ditelinga Chico, dia bertanya dalam hatinya,
“Kenapa? Zahra...”
Danu menyadari sikap kaku mereka berdua, ada rasa yang disebut cemburu didadanya. Danu tipe cowok yang blak-blakan, ditambah dia jarang sekali merasakan jatuh cinta, dia tidak biasa mengendalikan itu sendiri. Danu memberhentikan langkahnya,
“Lo suka ya sama Zahra?” tanya Danu.
“What?. Hm... Kalau iya kenapa? lo juga suka kan sama dia?”
Danu terdiam, kedua sahabatnya yang lain hanya menyaksikan perkataan mereka seperti menyaksikan film horror dengan popcorn ditangan, tidak berkutik, tegang. Mereka belum pernah seserius ini membahas seorang wanita.
“Udahlah kelihatan kok, tapi perlu diingat Dan, wanita kayak Zahra itu gak pacaran. Jujur, dia adalah wanita yang tersirat mengubah sudut pandang gue, dia..., ah gue minder sama dia. Gue gak mau bersaing sama lo, karena itu bisa memungkinkan persahabatan kita rusak.”
“Tapi gue mau bersaing sama lo, untuk menjadi lebih baik, karena sekarang ini cara terbaik untuk mencintainya adalah mendoakan dan memantaskan diri untuk itu. Iya kan? dan jangan kasih kode, jangan kasih sinyal kalau lo belum sikap nikahin anak orang”
“Wih, makin dewasa lo. Ya, lihat aja nanti, doa siapa yang akan terjabah haha”
Faiz dan Wido ikutan tertawa. Pada hari itu mereka menyadari bahwa Allah itu maha pembolak-balik hati, jadi doa adalah cara terbaik untuk menyimpan nama seseorang, biarlah itu tersimpan di langit dan terjawab pada waktu yang tepat. Allah punya rencana terbaik untuk itu, kita hanya perlu memantaskan diri dan memasrahkan semua pada-Nya, bukan karena seseorang yang kita suka, namun untuk menuju akhirat, untuk menuju akhir yang indah.
“Kita siap jadi akhi idaman!!” teriak mereka sambil tersenyum dan saling merangkul.
END