Sativa Illana Mersani namaku. Sebelum kejadian itu, tiada firasat menyentuh benakku. Aku berumur 21 tahun, dan sedang dalam perjalanan menuju kisah cintaku. Selama ini aku sulit mendapat pasangan. Mungkin karena aku perempuan berpola pikir aneh, dengan ketertarikan yang juga aneh.
Saat perempuan seumuranku menggemari K-Drama, aku malah menggemari film Sci-Fi dan teori konspirasi. Dan jangan coba berbicara mengenai alien kepadaku; Reptilian, Nordic, Greys, mau memulai dari mana? Atau kamu ingin mengurai jejak peradaban purba yang raib ditelan zaman, menelisik letak Lemuria, atau menyelami rongga bumi yang konon memendam rahasia? Otakku adalah ensiklopedia berjalan untuk hal-hal semacam itu, dan aku tidak keberatan jika kita harus berdebat sampai fajar menyingsing.
Tuhan menciptakan semua berpasangan, mungkin hanya itu yang bisa menjelaskan pertemuanku dengan Mr. Rice. Bukan secara harfiah, sih. Kami lama mengenal di dunia maya, berawal dari sebuah forum online komunitas penggemar teori konspirasi. Dari situ kukenal dia, pengetahuannya luas, cara berpikirnya 'out of the box'. Ada hal menarik dari caranya menjelaskan; persuasif namun mengasyikkan, diselingi banyolan yang kerap menampar logika hingga tersungkur, namun dalam cara yang ramah. Diskusi berat sekalipun terasa ringan bersamanya. Intelegensinya, sebuah permata langka di tengah rata-rata nalar masyarakat.
Malam Minggu itu kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kotaku. Baginya mungkin aku sekadar teman forum biasa, tapi sungguh aku sangat mengaguminya. Aku sangat menantikan pertemuan ini. Aku terlanjur jatuh hati pada jiwanya. Aku sendiri belum mengetahui bagaimana bentuknya, apakah dia pemuda tampan, kucing, atau shape shifter. Tapi menurut pengakuannya sih dia pria 22 tahun yang sedang menunggu jadwal wisudanya.
Pemuda itu berjanji akan mengenakan pakaian yang mencolok agar aku mudah mengenalinya: turtle neck hitam dengan jaket kulit merah merona. Ah, dia weirdo sejati, dan itu sempurna untukku yang freak ini. Ibarat kunci dengan lubangnya, kami sepertinya ditakdirkan untuk saling melengkapi keanehan masing-masing. Kubilang, aku juga akan mengenakan gaun hijau stabilo selutut, dengan luaran kemeja kotak-kotak. Paduan yang tidak padu, aku tahu, tapi ternyata lumayan lucu juga, setidaknya aku mudah dikenali. Curangnya dia telah mengetahui nama asliku, padahal aku belum mengetahui nama aslinya. Janjinya, ia akan mengungkapkan identitasnya hari ini.
Karena itu aku berangkat dengan senyum terkembang, menuju kafe dengan live music yang akan dimainkan semalam suntuk, hiburan yang lumayan untuk mengisi kecanggungan nanti.
"Kelewatan Bang! Itu kafenya!" Aku menepuk pundak pengemudi ojek.
"Ya maaf Neng, turun di sini aja ya. Nanti makin jauh. Neng tinggal nyeberang," gagasnya.
Aku menurut dan membayarnya. Saat hendak menyeberang jalan raya besar, aku mendengar warga memekik memerhatikan kucing yang kelabakan di tengah jalan, bingung hendak ke mana, sementara lalu lintas padat dan cepat. Bagiku kucing adalah hewan yang sakral, tanpa berpikir panjang aku melesat menuju hewan malang tersebut.
Baru saja aku berhasil menangkapnya dan mengamankannya di pelukanku, sebuah truk datang ke arahku, sinar lampunya menyilaukan. Sepertinya ia tidak sempat mengerem sehingga kurasakan tubrukan yang kencang ke arah tubuhku. Aku melayang, kucing itu tetap kudekap erat agar aman. Semesta seolah melambat, layaknya adegan film, namun kencang menghantam.
Penyesalan itu hadir; pertemuan yang gagal, dan rindu yang tak terjamah. Aku pasti membuatnya menunggu, di antara detik-detik yang kini membeku.
-oOo-
Sebuah Rumah Sakit besar di Jakarta, 08.15
Pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit terbuka dengan keras. Dua brankar didorong cepat oleh petugas ambulans dan perawat jaga.
"Lakalantas, dua korban, satu pria satu wanita!" Suara paramedis melaporkan ke tim triase yang langsung bergerak.
"Korban wanita, usia sekitar 20-an, cedera kepala belakang, kemungkinan fraktur servikal! GCS 6, tekanan darah 90/60, nadi filiformis, saturasi 88% dengan non-rebreathing mask 15 LPM!" Seorang perawat dengan sigap membacakan kondisi pasien dengan suara lantang.
Wanita muda itu terbaring dengan gaun hijau stabilo selutut, kemeja kotak-kotaknya basah oleh darah dari kepala belakang. Dokter jaga, Dr. Nita, langsung bergerak. "Oke, kita jaga airway dulu! C spine control, segera pasang neck collar, dan siapkan intubasi kalau perlu!"
"Neck collar terpasang!" Sahut seorang perawat sambil menyesuaikan posisinya.
Sementara itu, seorang residen bedah saraf, Dr. Arga, sudah datang. "CT scan kepala dan servikal urgent, ada indikasi trauma tumpul di oksipital!"
"Pasang dua jalur IV besar, ringer laktat wide open! Cek darah lengkap, elektrolit, gas darah, dan crossmatch dua kantong PRC!" Instruksi dokter anastesi, Dr. Bayu, yang baru masuk ruangan.
"PIP 90/60, nadi 130! Pasien mulai hipotensi!" Seru perawat monitor.
"Bolus cairan 500 cc! Kalo tidak naik, siap-siap vasopressor!"
CT scan menunjukkan fraktur oksipital dengan kemungkinan hematoma epidural. Tim bedah saraf langsung memutuskan pasien harus masuk ruang operasi. "Booking kamar operasi! Hubungi ICU untuk post-op care!"
"Sudah dikabari, kamar operasi siap dalam 10 menit!" Jawab seorang perawat dengan cepat.
"Sudah berhasil kabari keluarganya?" Tanya Dr. Nita.
"Saya... keluarganya..." Seorang pemuda berpakaian dokter terpaku memperhatikan tubuh wanita yang sedang ditindak. Ia menahan syok bertemu Adik perempuannya di sini, dengan keadaan terluka parah.
"Dokter Narendra?"
Semua pasang mata menatap iba padanya, sebelum kembali kepada kesibukan masing-masing.
Brankar pasien kembali meluncur, kali ini menuju kamar operasi, diiringi suara monitor yang terus berbunyi, langkah cepat para tenaga medis, dan instruksi yang bersahut-sahutan.