Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Marco masuk ke homebase, lalu meletakkan dua bungkusan plastik besar di atas meja. Dia duduk sambil menghela napas panjang.

“Berat juga nih barang.” gumamnya.

Cepi sedang berada di markas itu, dia melotot melihat barang bawaan Marco.

“Apaan tuh?” tanya Cepi seraya menghampiri bungkusan itu, hendak membuka, namun tangan Marco menahannya. Cepi hanya bisa meraba-raba plastik pembungkus, untuk mencari tahu benda apa yang dibungkus itu. Cepi terbelalak saat jarinya merasakan ada delapan berkas tebal yang masing-masing disampul hard cover.

“Ini skripsi?” Cepi menatap Marco. “Lo sudah bikin skripsi?!” tanya Cepi dengan nada suara yang panik. “Katanya lo mau barengan nyusun skripsi dengan gue, terus kita wisuda bareng tahun depan!”

“Ya gimana dong? Gue pingin cepat kelar kuliah nih.”

“Lo nggak bilang-bilang kapan nyusunnya, tahu-tahu skripsi lo udah jadi! Kalau begini, gue yang paling telat, dan … gue nggak ada teman lagi dong! Gimana neeeh?”

Marco memandang isi homebase. Beberapa foto masih terpajang. Diambilnya foto Raymond, dengan syal miliknya, dibersihkannya pigura dan kaca foto itu dari debu yang melekat. Lalu dipasangnya lagi foto itu di tempat semula, sembari bicara dalam hati.

“Raymond, selama organisasi ini eksis, foto lo juga akan tetap berada di situ. Kita semua, bahkan hingga para junior yang kelak akan datang ke homebase ini, akan menatap fotomu sebagai bagian permanen dari organisasi ini. Kamu nggak bakal hilang dari kami.”

Di sisi lain homebase, ada foto beberapa anggota Adventure yang sedang memanjat tebing kapur di Citatah, di Kabupaten Bandung Barat. Marco teringat Tebing Lawe, tempatnya mempertaruhkan keselamatan, untuk menuntaskan masalah kematian Tonny.

Beberapa bulan setelah kematian Tonny, Marco kembali ke tebing itu, penasaran ingin menjajal jalur maut tempat Tonny melemparkan diri. Kebetulan Marco batal ke Jayawijaya, dan malah kena skorsing satu semester dari kampus. Maka waktu yang enam bulan itu digunakan oleh Marco untuk berada di sekitar Tebing Lawe, mungkin sudah seratus kali Marco memanjat Tebing Lawe, berusaha menambah ketinggiannya. Hingga akhirnya dia berhasil melewati jalur pemanjatan setinggi 112 m. Pada jalur itu sudah dipasanginya puluhan piton untuk memudahkan pembuatan anchor saat memanjat di hari-hari lain, dan bisa juga memudahkan bagi climber lain yang ingin menjajal jalur itu.

Jalur pemanjatan tempat Tonny tewas itu sesungguhnya sudah kerap kali dipanjat oleh Marco. Dia sudah hapal setiap roof dan stratregi untuk melewatinya. Dia mengenal hampir setiap celah cadas, setiap retakan batu, bagian tebing mana yang rapuh, bagian mana yang dapat digapai atau diinjak. Itulah sebabnya, Marco berani untuk menantang keluarga Tonny, agar menuntaskan masalah dengan caranya memanjat jalur itu. Karena dia sudah mahir, dan optimis bisa turun lagi dengan selamat. Kecuali jika Tuhan berkehendak lain. Namun, tak ada seorang pun yang tahu tentang jalur pemanjatan yang sebenarnya sudah bolak-balik dipanjat itu, kecuali Marco sendiri, dan beberapa orang climber yang sering latihan bareng di Tebing Lawe.

 

Marco mengembalikan pikirannya ke homebase, tempat dirinya berada saat ini. Beberapa anggota Adventure masuk ke dalam homebase, lalu mengajak Marco bercakap-cakap soal rencana pendakian ke Gunung Ciremai, untuk menggelar upacara peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus di puncak Ciremai. Acara tahunan itu biasanya melibatkan ratusan pendaki dari banyak organisasi pencinta alam di Jawa Barat.

“Setelah upacara, kita adakan kegiatan bersih gunung, begitulah rencananya, Bang.” ujar seorang anggota Adventure yang sudah ditunjuk menjadi komandan.

Bersih gunung adalah acara rutin bagi banyak organisasi pencinta alam. Para pendaki yang kurang mawas diri, banyak yang membuang sampah seenaknya di gunung. Tidak heran jika saat diadakan bersih gunung, beraneka macam sampah dibawa turun dari gunung, dalam karung. Jumlahnya bisa puluhan karung.

“Saya mau menghadiri dulu wisuda, seminggu sebelum upacara itu.” ujar Marco. “Kali ini mungkin saya nggak bisa ikut upacara 17 Agustus di puncak Ciremai.”

“Please Bang, tolong Abang yang memimpin rombongan dari kampus kita, yang akan berangkat ke Ciremai. Kali ini bukan cuma anggota Adventure, tapi ada juga dari Menwa, dan beberapa ikhwan dari masjid kampus.”

Marco berpikir sejenak. “Baiklah, saya mau ikut, tapi bukan sebagai komandan, cuma anggota rombongan.” jawab Marco. “Masa depan organisasi Adventure ada di tangan kalian, tidak lagi bergantung pada senior. Kalau bukan saat ini kalian jadi pemimpin, mau kapan lagi?”

“Baiklah Bang, kita usahakan.” Mereka pamit ke luar homebase.

Sudut mata Marco melirik ke satu arah. “Hei, jangan pegang-pegang skripsi gue!” teriaknya, saat melihat Cepi berusaha membuka ikatan kantong plastik pembungkus skripsi.

“Hey Marco, kapan lo sidang sarjana? Kok, gue nggak tahu?” Cepi masih penasaran.

“Sengaja gue nggak bilang, biar lo terkejut!”

Cepi menatap Marco. “Kenapa muka lo memar?”

“Biasalah, climbing.” jawab Marco sembari meraba-raba sebagian wajahnya yang terasa sakit. Memar-memar itu hasil memanjat Tebing Lawe. Namun Cepi mengira Marco hanya melakukan latihan rutin di Tebing Citatah, Kabupaten Bandung.

Cepi melihat ada banyak bekas luka lecet dan memar pada telapak tangan dan jari-jari Marco, memang seperti lecet dan memar yang biasa dialami para pemanjat tebing.

“Lo climbing, sebelum atau sesudah sidang?”

Marco mau menjawab omongan Cepi, tapi saat itu dilihatnya Maryam berdiri di depan pintu homebase. Marco melambai. Maryam masuk ke dalam homebase.

Maryam bicara, “Dekan sudah datang. Aku mau minta tanda tangannya sekarang.”

“Kamu duluan jalan, nanti aku nyusul sambil bawa skripsinya.” jawab Marco.

“Sebentar, sebentar!” Cepi menghentikan langkah Maryam yang mau pergi. “Maryam, kamu mau minta tanda tangan Dekan buat apa?”

“Buat pengesahan skripsi.”

“Yang itu?” Cepi menunjuk tas plastik besar yang masih ada di meja. “Itu skripsi punya kamu, atau punya Marco?”

“Punya aku.”

Cepi menghampiri Marco. “Dasar kampret! Gue sudah panik melihat lo bawa skripsi, taunya bukan punya lo! Awas lo ya, lain kali gue kerjain juga!” Dalam hati Cepi merasa lega karena ternyata Marco belum menyusun skripsi. Berarti ada teman sesama (mantan) gondrongers yang masih belum kelar kuliah, dan bisa bareng wisuda tahun depan.

Cepi beralih bicara pada Maryam. “Maryam, ada ikhwan di masjid kampus yang mau taaruf dengan kamu. Ikhwan itu sudah lulus, orangnya shaleh, nggak pernah tawuran di kampus.”

Marco menoleh pada Cepi. “Heh, gue garot lo ya!”

Cepi tertawa. “Tuh kan, kamu dengar sendiri Maryam, si Marco mah nggak pernah benar-benar insaf. Mending sama ikhwan itu … dia itu mau lanjut kuliah S-2.”

“Kita ke ruang Dekan aja!” Marco meraih kantong plastik berisi skripsi, lantas berjalan meninggalkan Cepi yang masih berusaha mengganggunya. Maryam juga ke luar dari homebase.

Urusan pengesahan skripsi sudah beres. Daftar wisuda sudah. Tinggal menunggu dibagi toga. Maryam duduk di teras, di tengah rekan-rekannya calon wisudawan. Wajahnya penuh senyum dengan sorot mata berbinar, menantikan banyak kebahagiaan yang bakal tiba. 

*** tamat ***

Novel trilogi <tamat buku 1: the Last Climbing>

Nantikan lanjutan kisah Marco dan Maryam di buku 2 : the Bridal

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags