Loading...
Logo TinLit
Read Story - the Last Climbing
MENU
About Us  

Rosna ikut duduk makan malam bersama keluarga Silvi. Menjelang dia masuk ke tenda khusus perempuan, untuk tidur, dia masih melihat Marco duduk membaca. Hingga beberapa saat Rosna belum bisa tertidur, soalnya di dalam tenda itu tidak nyaman karena sempit. Terlalu banyak barang bawaan yang menyita ruang dalam tenda. Rosna melumuri kaki dan lengannya dengan minyak kayu putih, untuk menolak nyamuk dan menghangatkan tubuh. Masih sempat didengarnya suara beberapa orang masuk ke tenda laki-laki. Lalu hening.

Jerit hewan malam berbaur dengan suara angin yang menerjang badan Tebing Lawe. Marco menyelesaikan tilawahnya, lalu memasukkan Alqur’an kecil itu ke dalam saku jaket parka yang dipakainya. Dia berjalan-jalan menikmati malam, lalu tiba di sebuah lokasi yang mengingatkannya ke waktu tepat tiga tahun silam.

 

Di sini, tiga tahun lalu.

Malam itu, Marco keluar tenda karena sulit tidur. Dia melihat Tonny sedang duduk sendirian, agak jauh dari tenda. Marco menghampiri, lantas duduk di hadapan Tonny.

“Mau merokok?” Tonny mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya.

“Nggak.”

“Oh iya, lo mah no smoking ya? Memangnya lo nggak pengin nyicip rokok?”

“Pernah juga nyicip, tapi gue nggak tahu apa gunanya rokok buat hdup gue.” jawab Marco.

Tonny kembali pada aktivitasnya, yaitu menyentil-nyentil senar gitar. Tonny memang lumayan mahir main gitar. Mulanya hanya dentingan gitar saja yang terdengar. Kemudian Tonny mulai bersenandung, lagu “Runtuh” yang dipopulerkan oleh Feby Putri dan Fiersa Besari.

Tak perlu khawatir ku hanya terluka

Terbiasa tuk pura-pura tertawa

Namun bolehkah sekali saja kumenangis

Sebelum kembali membohongi diri?

 

Marco mengerutkan alis mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Tonny.

“Ton, suara lo kayak yang lagi sedih, kenapa?” tanya Marco. “Baru putus?”

“He eh, aku bubar dengan semua cewekku, tapi nggak masalah.” Tonny mendongak. “Nah, lo sendiri gimana? Gue nggak pernah dengar lo ngomongin pacar! Kenapa heh? Berprinsip no woman no cry, atau… jangan-jangan… lo homo ya? Nggak apa-apa Marco, ngaku aja kalau memang lo punya kecenderungan begitu.” Tonny tertawa-tawa. Namun, dalam pandangan Marco, ketawa itu dibuat-buat. Sorot mata Tonny tak bisa menipu. Begitu sedih.

“Bukannya aku nggak tertarik sama cewek, tapi aku ingin konsentrasi mengembangkan organisasi pencinta alam di kampusku.” Jawaban Marco serius. “Olahraga petualangan itu punya potensi besar untuk dikembangkan. Bisa jadi alternatif wisata dan bisnis merchandize. Mungkin suatu saat, UKM Adventure di kampusku bisa punya toko khusus peralatan olahraga outdoor. Anak-anak pecinta alam bukan cuma naik gunung aja kerjaannya, tapi belajar berbisnis. Tapi itu nanti, masih dalam jangka panjang. Targetku cuma sebatas organisasi itu mapan keberadaannya di kampusku, dengan anggota yang berkualitas, bukan sekadar pingin berbondong-bondong naik gunung lalu mengotori lingkungan dengan sampah bawaannya.”

“Aku salut dengan semangatmu. Lantas kuliahmu gimana?”

“Lumayan keteteran, dan nilainya banyak yang jeblok. Aku harus mengulang dengan adik kelas. Memalukan ya?” Marco tersenyum asem memikirkan kuliahnya.

Tonny bertanya lagi pada Marco. “Bokap nyokap nggak marah soal kuliah lo yang jeblok? Atau lo nggak pernah kasi lihat nilai-nilai lo sama ortu?”

“Marah juga, tapi aku janji, suatu saat kuliahku akan beres juga, walaupun telat.”

“Lo orang paling optimis, yang pernah gue kenal.” Tonny menatap Marco.

“Kalau bukan kita sendiri yang optimis dengan hidup kita, lantas siapa lagi? Keluarga, pacar, dan teman mungkin bisa ngasi semangat, tapi tetap saja dorongan utama untuk bisa mencapai target hidup adalah dari dalam diri kita sendiri.”

Tonny kembali menyentil-nyentil senar gitar.

“Ton, lo ada masalah ya?” tanya Marco lagi.

Tonny bergumam, “Kalau besok terjadi apa-apa pada diriku, anggap saja kecelakaan.”

“Ton… apa maksud lo?”

Tonny menatap Marco. “Please Bro, gue pengin sendirian! Lo tidur sana! Besok lo jadi belayer buat gue. Gimana gue bisa merasa aman saat manjat, kalau besok lo malah ngantuk?!”

“Oke.” Marco akhirnya kembali ke tenda.

Keesokan paginya Marco bangun paling dulu. Dihampirinya sisa pembakaran untuk membuat lagi api unggun, mau merebus air. Sekilas diliriknya batu yang diduduki Tonny semalam, ada sesuatu di situ. Sebuah amplop coklat. Marco berjalan untuk meraih amplop itu, lalu mengambil isinya, berupa surat dari Tonny.

 

Saudara-saudaraku, para climber, yang aku cintai dan banggakan.

Jika kalian temukan suratku ini, aku sudah tak ada lagi bersama kalian.

Papaku sangat berharap aku sukses, karena aku anak lelaki satu-satunya, penerus nama keluarganya. Bahkan papaku sudah bicara pada banyak orang, bahwa tahun depan aku diwisuda jadi sarjana. Bahkan ortuku sudah mengumpulkan uang banyak, untuk modal usahaku nanti, atau untuk pelicin jika aku ingin jadi pegawai di instansi tertentu. Sebegitu besarnya harapan mereka, sampai-sampai aku tak sanggup untuk membayangkan, bagaimana lebih besarnya rasa kecewa mereka, andai mereka tahu apa yang saat ini kualami.

Minggu lalu aku melakukan tes darah, dan hasilnya…. HIV positif! Rasanya dunia runtuh menimpaku. Semua rencana hidupku mendadak berantakan, hancur jadi serpihan. Aku tahu ini semua karena salahku sendiri yang suka free sex. Tapi… aku masih muda! Kenapa harus aku yang kena penyakit laknat ini?! Siapa yang menulari aku?! Aku marah sekali, tapi entah harus marah pada siapa?  Mungkin Tuhan menghukumku karena aku banyak melanggar norma agama. Tapi aku tak mau keluargaku tahu, dan merasa kasihan padaku! Aku tak butuh dikasihani oleh siapa pun

Saudara-saudaraku para climber,

Apapun yang terjadi pada diriku hari ini, anggap saja kecelakaan. Please, jika kalian mencintaiku sebagai saudara, jangan katakan apapun pada keluargaku tentang kejadian ini, apalagi tentang penyakitku. Biarlah mereka mengenangku sebagai Tonny yang selama ini mereka harapkan.

Saudara-saudaraku para climber,

Maafkan tindakanku, yang mungkin bakal menodai nama baik organisasi pemanjat tebing. Hari ini akan kuserahkan hidupku kembali pada Tuhan. Aku tak mau menunggu hari lain. Toh pada akhirnya aku mati juga. Tapi aku tak mau mati merana digerogoti penyakit ini. Aku tak mau mati sebagai pasien HIV AIDS!

Aku mau mati… sebagai climber!

 

Ibarat orang gila, Marco berteriak-teriak panik, membangunkan semua orang yang masih meringkuk dalam tenda ataupun sleeping bag. Beberapa menit kemudian belasan climber itu sudah berpencar di sepanjang kaki tebing lawe, sambil menengadah ke atas, memandang lewat teropong.

“Itu dia! Tonny naik di jalur yang belum pernah dipanjat!”

Lalu semua berkumpul di bawah salah satu dinding. Mereka menengadah, menahan napas, menyaksikan Tonny yang merayap naik, berusaha melewati sebuah roof, yaitu tonjolan tebing. Jaraknya dengan tanah sudah cukup tinggi, mungkin lebih dari 50 m. Tampaknya Tonny memanjat sejak matahari mulai terbit.

“Aku akan susul dia!” Marco memasang harness pada tubuhnya, lalu mencantolkan beberapa buah karabiner pada harness, juga ascender dan descender. Dia juga membawa beberapa buah piton dan martil khusus buat manjat tebing. Tak lupa dia membawa sebotol air minum, lalu sekantong tepung magnesium karbonat untuk melumuri tangan jika licin oleh keringat. Terakhir dikenakannya helm khusus buat manjat tebing. Tambang kernmantel sepanjang 100 meter sudah disiapkan, dengan salah satu ujung tambang terikat pada harness yang dikenakan oleh Marco.

“Aku akan jadi belayer buat Marco.” ujar salah seorang teman Marco, sambil mempersiapkan peralatan panjat tebing.

“Hati-hati.” Rekan-rekannya memberi semangat. “Kalau jarak lo udah dekat dengan Tonny, bujuk dia untuk turun, atau usahakan supaya dia nggak terus memanjat. Jangan terlalu banyak berteriak saat di atas tebing, karena kayaknya tebing bagian sini adalah batuan yang rapuh dan gampang runtuh.”

Marco manggut-manggut. Dia dan rekan-rekannya cuma punya satu tekad ketika itu, menyelamatkan Tonny. Mereka tak ingat lagi sama minum kopi di pagi hari, apalagi sarapan. Tak ada yang merasa lapar, yang ada cuma rasa tegang.

 “Beberapa orang akan naik dari punggung tebing, untuk menurunkan tambang lain. Marco bisa pakai tambang itu buat membantu menurunkan Tonny. Tapi kalau Marco gagal mendekati Tonny, dan Tonny nggak mau turun dengan sukarela, akan ada yang turun dengan tambang itu untuk membantu menurunkan Tonny. Kalau Marco mengalami kesulitan, tambang itu juga bisa untuk membantunya segera turun. Oke, semua siap di posisi masing-masing!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags