Nia melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. "Telat dua puluh menit," ujar gadis itu. Dengan santai gadis itu memasuki halaman sekolah. Dari kejauhan terlihat beberapa anak perempuan dihukum berlari mengelilingi lapangan.
Nia tersenyum senang. Sepertinya usahanya untuk datang terlambat berhasil. Mata Nia menangkap sosok yang menjadi alasannya datang terlambat. Di pinggir lapangan pria itu mengawasi siswa yang terkena hukuman. Dengan kedua tangan disilangkan di depan dada membuat kadar kegantengannya bertambah berkali-kali lipat.
"Untung gue tau jadwal lo piket," ujar Nia. Pria itu adalah ketua osis di sekolahnya. Setiap pria itu mendapat giliran piket, Nia selalu datang terlambat atau lebih tepatnya segaja datang terlambat.
"Nia!"
Nia mengutuk pria itu. Baru ia berniat kabur lantaran hari ini gadis itu malas mendapat hukuman. Nia menengok kanan-kiri, memastikan mungkin yang dipanggil bukan dirinya, tapi Nia yang lain.
"Telat lagi?" tanya Gara yang sudah berada di depan Nia.
"Eh." Gadis itu segera menoleh, "Siapa yang telat? Gue habis dari koperasi kok.”
"Dasar bodoh.”
Nia memutar bola matanya malas. "Ya ya ya, di mata lo gue memang selalu terlihat bodoh," ujarnya lirih.
"Kalau cari alasan itu yang masuk akal, lo pikir gue nggak tau? Gue tau lo baru turun dari angkot." Gara tersenyum puas saat melihat wajah pasrah Nia. "Dan satu lagi, sejak kapan koperasi sekolah pindah di dekat lapangan basket?"
Nia menghela napas panjang. Kecewa lantaran usahanya untuk kabur gagal sudah.
"Lo ikut gue!" Dengan malas Nia mengikuti Gara. Dalam hati Nia girang bukan main, ia akan di hukum dan sudah pasti Gara yang mengawasinya. Hari ini ia bisa memandangi wajah tampan Gara sampai ia puas.
***
Lala berlari kecil saat melihat calon korbannya tinggal beberapa meter di depannya. "DOR!!" Lala menepuk bahu gadis di depannya dengan keras.
"Anj-" Gadis itu menoleh dan melotot pada Lala yang berhasil membuat dirinya jantungan.
"Language please!"
"La, lo kebiasaan deh. Bisa nggak lo sehari aja nggak bikin emosi gue naik?" tanya Nia.
Lala tersenyum jail. "Kalau nggak bisa gimana?"
"Please, gue lagi badmood dan nggak berniat berdebat sama lo."
"Kenapa? Galau lagi? Lecek amat muka lo?" Lala mengamati wajah Nia, tak ada pancaran semangat yang selalu menghiasi wajahnya.
"Gue abis di jemur di lapangan dan lo tau?" Nia menoleh. "Awalnya gue seneng banget bisa beduaan sama Gara," kata Nia bersemangat. "Itu berlaku sebelum ia mendapat telephone, setelah mendapat telephone dia pergi tanpa pamit sama gue."
"Emang lo siapanya?" tanya Lala menggoda Nia. Lala langsung diam saat mendapat tatapan tajam dari Nia.
Nia tidak menghiraukan Lala, gadis itu menengok kanan-kiri. "Yah, dia jalan kemana tadi?" tanya Nia pada dirinya sendiri, saat melihat Gara.
"Lo cari siapa sih?" tanya Lala penuh selidik.
"Hah? Bukan. Bukan siapa-siapa."
Mata Lala berkilat jail. "Pasti siapa-siapa?" Lala berjalan agak cepat menyusul Nia yang sudah jauh di depannya.
"Jangan sok tau, Lala!" ejek Nia saat Lala sudah berada di sebelahnya.
"Gue bukan sok tau, tapi emang tau. Itu dia," ucap Lala sambil menunjuk ke depan tepat saat seorang pria akan mendororong pintu perpustakaan.
Nia mengikuti arah yang ditunjuk Lala, detik itu juga terdengar suara Lala yang berteriak.
"GARA!" Teriak Lala.
Pria yang dipanggil menoleh dan tampak kebingungan. Dia mengurungkan niatnya membuka pintu perpustakan. "Kenapa, La?"
Nia langsung membuang muka, tidak berani menatap Gara. Ia mengutuk jantungnya yang berderak tak karuan hanya karena mereka sempat bersitatap beberap detik dengan Gara.
"Dicariin Nia, Ga!" Lala berteriak lantang kemudian segera berlari meninggalkan mereka berdua. Lebih tepatnya menghindri amukan Nia.
Nia menatap Lala yang sudah hilang di ujung koridor, dia terlalu terkejut. Andai Lala masih berada di sampingnya habis sudah ia kena jitakan Nia.
"Oh ... ada apa, Nia?" Gara melirik arlojinya. "Lo bolos pelajaran lagi?"
Nia menggeleng dengan cepat. "Pikiran lo negative mulu sama gue?"
"Kalau lo berkeliaran di jam pelajaran sudah pasti lo bolos kalau nggak diusir dari kelas. True?”
"Cie yang hapal kelakuan gue. Lo sendiri ngapain keluyuran di jam pelajaran?"
"Jangan kepedean lo! Cewek kayak lo itu gak perlu diapalin. Lagian, lo lupa gue itu ketos yang selalu sibuk.”
Nia cukup terkejut mendengar penuturan Gara. "Cewek kayak lo itu nggak perlu diapalin." Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benaknya. "Dasar sok sibuk." Usai bekata itu, gadis itu pergi dari hadapan Gara.
***
Nia menyandarkan kepalanya di atas meja, memejamkan mata. "Cewek kayak lo itu nggak perlu diapalin." Lagi dan lagi perkataan Gara mengusik pikirannya.
"Lo kenapa lagi?"
Nia membuka matanya saat mendengar suara Lala.
"Lo tau? hari ini jadwal Gara lomba debat,” ujar Lala mengigatkan sahabatnya itu. Nia menatap sahabatnya dengan penuh tanda tanya. Biasanya Nia yang paling heboh ketika Gara mengikuti lomba. Nia pasti sudah merajuk pada Lala supaya mau menemaninya menonton Gara.
"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka,” jawab Nia berapi-api.
"Ya jelas dia gak peka, lo main kode rahasia mulu sih."
"Di mata dia tuh gue cuma dianggap cewek badgirl yang hobi melanggar semua aturan. Padahal gue ngelakuin semua itu cuma buat cari perhatian dia."
"Hmm, terus sekarang lo mau gimana?" tanya Lala menatap iba sahabatnya.
"Gue capek. Ada saatnya gue terlalu lelah mengejar yang tak pasti," ujar Nia pasrah. “Semakin dikejar dia semakin menjauh.”
"Lo jangan pesimis dong!" Lala berusaha membangkitkan semangat Nia, meskipun dia tak itu nggak akan pernah mudah.
"Lo tau gimana rasanya dipandang sebelah mata sama orang yang selama ini lo sayang? Sakit, La."
Lala mengusap bahu Nia memberi semangat pada sahabatnya. "Mungkin sudah saatnya lo harus merelakan Gara. Masih banyak pria yang lebih baik dari Gara."
***
Nia mendorong pelan pintu perpustakaan hingga menimbulkan bunyi berdecit. Membuat penjaga perpustakaan menoleh ke arah pintu. Bu Tata, penjaga perpustakaan itu langsung membenarkan letak kaca matanya yang melorot saat melihat Nia masuk ke dalam perpustakaan.
"Nia?" tanya Bu Tata heran. "Dihukum lagi?"
Nia menggeleng dengan cepat. "Emang harus dihukum dulu ya Bu kalau mau ke perpustakaan?"
Bu Tata menatap Nia dengan curiga. "Heran aja saya, badgirl kaya kamu mau aja ke perpustakaan. Biasanya harus dihukum dulu supaya kamu mau menyambangi tampat penuh jajaran buku ini.”
"Badgirl juga masih perlu buku kali, Bu."
Nia sedikit terkejut melihat perpustakaan yang ramai. Ada banyak junior dan senior yang sedang duduk berkelompok. Ada yang mengerjakan tugas, membaca majalah dan ada juga murid perempuan yang sedang bergosip sambil cekikikan melirik kumpulan cogan yang duduk di sebelah mereka.
Nia berjalan ke salah satu rak khusus komik. Gadis itu tampak kebingungan menatap puluhan judul komik di depannya. "Gue buta soal komik," ujar Nia lirih. Nia ingat kalau kebiasaan Gara setiap jam istirahat pertama adalah ke perpustakaan untuk meminjam komik. "Kalau bukan karena Gara suka ke perpustakaan mana mau gue ke sini."
Gadis itu menengok kanan-kiri mencari keberadaan pria itu. "Mana ya dia?" Nia mengambil asal komik di depannya. Ia berjalan menyusuri setiap rak, hingga matanya menatap punggung seorang pria yang tak asing lagi baginya. Gara. Pria itu duduk sambil membaca komik.
Nia menarik kursi di depan Gara. "Boleh duduk di sini?"
Gara menoleh sebentar, lalu ia kembali fokus pada komiknya. Seakan komik lebih menarik daripada Nia. Gadis itu tak ambil pusing, ia langsung duduk. Sesekali Nia melirik Gara dari balik komik miliknya.
"Ini caranya baca gimana ya?" batin Nia. Ia meneliti setiap gambar yang ada di komik itu. "Kok ceritanya nggak nyambung ya?" batinnya. Ia membuka lembar per lembar tanpa berniat membacanya.
"Lo nggak bisa baca komik?" tanya Gara. Pria itu sebenarnya memperhatikan kebingungan yang tergambar jelas di wajah Nia.
"Eh." Nia tersentak, ia segera meletakkan komiknya di atas meja. "Bisa kok," jawabnya ragu.
"Oh kirain nggak bisa." Gara kembali fokus membaca komik di tangannya.
"Cuek, dingin dan nggak peka," tukas Nia dalam hati. Ia melirik Gara yang masih asik dengan komiknya. "Untung lo ganteng," batin Nia.
Tiba-tiba suara bel masuk berbunyi memecahkan keheningan diatara mereka, tanpa pamit Gara beranjak dari posisinya, berjalan menuju pintu keluar.
Nia menyandarkan kepalanya di atas meja, menghela napas panjang. "Kenapa gue harus suka sama lo? Sudah satu tahun gue suka sama lo, diam-diam memendam rasa sama lo itu sumpah gak enak banget." Nia memejamkan mata. "Mungkin sudah saatnya gue melepaskan lo."
***
Gara tak fokus mengetik proposal, pikirannya tak bisa fokus. Sesekali ia melirik kotak persegi warna merah di sebelahnya. Setengah mati ia menahan rasa penasarannya. Tadi pagi saat membuka lokernya, kotak itu sudah ada di dalam lokernya.
Bukan kali pertama ia mendapatkan kotak entah dari siapa. Setiap ia mendapatkan kotak isinya pasti semua barang yang memang benar-benar lagi Gara mau dan sepucuk surat yang isinya kata-kata penyemangat. Apalagi saat ia mendapat banyak masah, ia pasti akan mendapat surat setiap hari dari orang yang sama dengan inisial 'N.A.' Gara mengacak rambutnya, ia beranjak dari posisinya dan menyambar kotak persegi itu.
Sekolah sudah mulai sepi, karena jam pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu, menyisakan murid-murid yang aktif mengikuti ekstrakulikuler.
Semilir angin menyambut kedatangan Gara di taman belakang sekolah. Gara memilih duduk di bangku yang terletak di bawah pohon. Ia membuka kotak itu dengan hati-hati. Matanya terbelalak kaget, ia mendapat satu paket seri komplit komik yang kebetulan lagi banyak dibicarakan saat ini dan komik itu masuk dalam jajaran komik limited edition. "Wow ... gue salut sama orang ini, niat banget nih orang. Padahal gue pesan udah kehabisan."
Dari balik pohon itu seorang gadis tersenyum senang mendengar ucapan Gara. Namun, kesenagannya tak berlangsung lama. Ia kembali memfokuskan indra pendengarannya.
Gara mengernyit, dan mengambil sebuah kertas pink yang dilipat. Gara membuka dan membacanya.
Gara masih menatap kertas itu, walau dia sudah selesai membacanya. Entah sudah berapa kali ia mengulang membaca surat itu. Ia masih belum percaya. Surat itu berisi pengakuan cinta gadis itu pada Gara. "N.A."
Aku akan belajar menghilangkan rasa ini, sudah saatnya aku belajar menerima kenyataan bahwa kamu bukan ditakdirkan untukku. Bukankan cinta tak harus memiliki? Tak apa, aku tulus mencintaimu aku akan melepasmu. Melihatmu bahagia itu lebih dari cukup untukku. Meski aku tahu bukan aku alasan bahagiamu.
N.A (Nia Angelica)
Kutipan surat yang membut Gara tertegun.
Gara mengambil sebuah amplop yang berada di paling bawah. Ia membukannya, amplop itu berisi semua foto-foto dirinya yang diambil secara diam-diam.
"Jadi, selama ini dia ...." Gara mengenang setiap memori tentang Nia. Saat gadis itu datang terlambat, selalu memancing amarahnya dan saat dia selalu menjahilinya. "Kenapa gue nggak peka?"
Pantas beberapa hari ini Gara sudah tidak melihat Nia terlambat datang ke sekolah dan tidak melihat gadis itu dihukum oleh guru. Gadis itu terkesan menghindarinya beberapa hari ini. Entah kenapa ada rasa kehilangan pada diri Gara.
Jauh dalam hatinya Pria itu merindukan setiap ia mengomeli gadis itu, merindukan setiap menunggu gadis itu di lapangan waktu pagi hanya karena ingin menghukum gadis itu. "Gue kenapa sih?"
Nia menyandarkan tubuhnya di batang pohon, menatap cerahnya langit sore yang sudah mulai memunculkan semburat jingga. "Semoga ini yang terbaik buat kita berdua."
"Kenapa baru sekarang gue sadar?" ujar Gara. "Kalau gue juga sayang sama lo, Nia."
Nia terlonjak kaget, gadis itu mengintip dari balik pohon dan masih mendapati Gara duduk di bangku taman dengan sepucuk surat di tangannya.
"Sekeras apapun gue menolak rasa itu, gue harus mengakui kalau gue juga sayang sama lo, Nia Angelica," kata Gara menatap kertas itu sendu.
"Sudah terlambat, Ga."
END