Telah disepakati secara de facto meski tanpa surat keterangan resmi bahwa masa paling menyenangkan di mana jiwa bebas mengembara, pikiran tak dituntut banyak hal, belum saatnya untuk mengkhawatirkan tagihan listrik, bangun pagi bisa langsung berdiri tanpa harus ngesot dulu, tak perlu minyak angin saat berpergian, tak pernah ditanya kapan nikah saat lebaran, tak peduli cibiran tetangga, masa bodo dengan uang simpanan yang nyaris tak pernah tersimpan dan senang sekali merasakan sensasi berdebar di dekat si dia adalah masa SMA.
Yang jatah tiga tahunnya tak bisa diulang lagi meski sangat ingin. Yang masa enam semesternya tak bisa direka lagi walau kantong sanggup membiayai.
Momen mahal. Saat tawa begitu ringan usai menggoda teman sekelas, saat air mata begitu murahan usai cinta ditolak crush.
Momen langka. Saat mengerjai guru yang masih single adalah surga dunia, saat diburu guru piket dengan pemukul kasti karena memanjat pagar belakang adalah jurang neraka.
Momen istimewa. Saat yang pertama kali dirindui sebelum tidur adalah teman semeja, saat yang pertama kali disumpahi usai bangun tidur adalah teman semeja.
Perkara jam kosong, meja yang dicoret ketika sedang ada masalah dengan guru, dinding kamar mandi yang menjadi saksi bisu pendar asmara, utang yang bertumpuk di kantin ujung, kertas ulangan matematika yang basah karena keringat dingin, juga penjaga sekolah yang serasa orang tua sendiri, semua itu tak akan tercabut dari nikmat menjadi siswa SMA. Dapat merasakannya adalah anugerah terindah, yang jika dimasa depan ditanya, apakah masa SMAmu menyenangkan, maka tak perlu mulut yang menjawab hal itu. Linangan air mata sudah cukup menggambarkan segala.
“Lama nggak keliatan, guanya runtuh atau gimana Ra? Kok tumben sekolah lagi? Udah cukup ya masa semedinya?” Uno, si gempal dengan senyum paling tulus seantero kelas berdiri di ufuk barat. Melambai pada siswi yang baru saja melangkah masuk. Mengulum rasa terkejutnya karena tak menyangka sang teman kembali muncul setelah menghilang beberapa pekan.
Semua mata langsung tertuju pada sosok yang Uno ajak bicara. Pekikkan histeris tak bisa disembunyikan. Bahkan beberapa ada yang berdiri dari kursinya untuk sekadar menyapa.
Dihara Sanjana, satu dari enam orang murid perempuan di kelas XI F4 yang telah menghilang tanpa kabar selama tiga minggu pagi ini kembali menampakkan batang hidungnya. Gadis pemilik sorot mata tajam dengan rambut hitam sebahu yang selalu diikat asal-asalan itu melangkah ke tempat duduknya sambil mengabaikan teriakkan teman-temannya.
“Welkom bek Ra! Long taem no si.” Suara menggelegar ketua kelas tak bisa dihindari. Meski ia berbicara bahasa asing dengan logat Minangnya yang kental, ia tetap percaya diri. Dan seisi kelas bahkan candu dengan gaya bicara sang ketua yang seperti itu.
“Welcome back Ra! Long time no see.” Vazel, satu-satunya murid blasteran Surakarta-Palembang agak ke timur menyalin utuh kalimat sang ketua kelas, namun dalam bentuk hasil revisi. Bersama Uno, siswa berambut ikal itu mendatangi meja belakang, tempat si siswi yang baru kembali bersekolah setelah tiga minggu tak ada kabar meletakkan tas.
“Hilang tiga minggu ke mana aja Ra?” Uno kembali bertanya. Dengan akrabnya ia merangkul bahu sang teman. Keripik singkong bumbu balado erat dalam genggaman tangan kirinya.
“Semua guru panik saat kamu nggak masuk sekolah dan nggak ada kabar. Kamu anggota inti tim voli putri sekolah. Saat turnamen makin dekat, eh kamunya malah ngilang macam ditelan bumi. Pontang-panting Pak Ute mencari penggantimu.” Vazel ikut menyela. “Iya kan No?”
Uno mengangguk takzim. “Betul.”
Di dekat mereka ada sekitar enam atau tujuh orang siswa yang ikut bergabung. Kepo.
Hara membisu. Bibirnya terkunci rapat. Tatapan matanya yang tajam menelusuri semua wajah yang ada di sekitarnya. Semakin ramai orang berkumpul. Semakin malas ia menjawab tanya Uno.
“Libur tiga minggu pergi gadein pita suara ya Ra? Ditanya kok diam aja? Mana nih suara cewek yang katanya paling kuat seantero sekolah?” Uno mulai kesal. Senyum ramahnya malas bekerja sama, sudah meninggalkan wajah chubby-nya tanpa izin.
“Terlalu banyak yang kepo.” Balas Hara datar. “Aku bukan selebriti. Kurasa informasi tentang kehidupanku amat nggak penting untuk diketahui.”
Mendengar kalimat pertama Hara yang begitu terus terang, enam atau tujuh siswa yang tadinya kepo serasa diguyur air es dari kepala hingga ke ujung kaki. Satu-satu menarik diri. Menjauh dari meja Hara.
Di dekat jendela sebelah selatan ruangan, dalam diam dan tanpa ekspresi, dari tempatnya duduk kini, Hara dapat melihat dengan jelas tatapan Cipa tertuju untuknya. Mata mereka beradu pandang. Namun Cipa cepat-cepat mengalihkan pandangannya sedetik kemudian. Kembali terlihat tak peduli.
“Hara! Jawab tanyaku napa?” Uno menggoyang kencang bahu Hara. Nyaris membuat engsel leher cewek itu bergeser ke lambung. “Kok malah bengong? Kamu libur tiga minggu ini ke mana aja? Jawab aja apa susahnya heh?”
“Ceritanya panjang.” Timpal Hara malas.
“Dimulai dari yang paling awal biar nggak terlalu panjang.” Desak Vazel.
“Nggak ada yang bisa dipisah. Kisahnya utuh. Satu kesatuan.”
“Sok seleb kamu ya.” Kesal Uno.
Hara meletakkan wajahnya di atas meja. Menarik napas panjang. “Aku bilang aku bukan selebriti. Kisahku nggak penting. Kalian fokus ajalah urus tugas kalian.”
Vazel menatap Uno sambil mengangkat samar bahunya. Mengode Uno untuk tak mendesak Hara.
Dan tepat disaat itu, Leo dan Sutis yang nyaris menabrak dinding pembatas kelas terburu-buru masuk ruangan, mendatangi meja Hara dengan wajah pucat tanpa darah. Mereka berdua adalah teman semeja yang duduk persis di belakang Vazel.
“Hei, chill Man!” Vazel menahan tangan Leo yang nyaris memukul bahu Hara. Memberi isyarat lewat tatapan bahwa Hara sedang dalam mode senggol bacok. “Kenapa kau dan Sutis ngos-ngosan gitu? Ada apa?”
“Paling dikejar Dacid, pasti belum bayar utang kantin yang kemarin.” Celetuk Uno asal-asalan. “Iya kan?”
Sutis menggeleng cepat. “Guru-guru sudah tau kalau Hara masuk sekolah. Tadi ada yang ngeliat waktu di gerbang.”
“Terus?” Tanya Uno.
Sementara orang yang dibicarakan tetap meletakkan dengan malas wajahnya di atas meja. Tak peduli.
“Bu Meridian menyuruh kami untuk memanggil Hara. Dia diminta menemui Bu Meridian di ruang BK sekarang juga.” Jelas Leo tanpa jeda.
Hara menarik napas panjang, sudahku duga.
“Juga disuruh kabari kalau nanti bakalan ada siswa baru di kelas ini.” Sutis menyambung ucapan Leo. “Yang kata wali kelas akan duduk sebangku dengan Hara.”
Hara langsung mengangkat kepalanya. “Siswa baru?”
Leo dan Sutis mengangguk serempak.
“Duduk sebangku denganku?”
Leo dan Sutis mengangguk lagi.
“Nggak pegel apa sebangku berdua?” Uno terkekeh. Meski ekspresi tegangnya tak bisa disembunyikan.
Leo dan Sutis saling berganti tatap. “Teman semeja maksud kami,” revisi mereka serentak.
Gantian, kini Uno dan Vazel yang saling tatap. Teman semeja Hara yang baru?
…
-tbc-
-24 Juni 2025-