Gadis itu membereskan sisa barang miliknya yang tidak seberapa ke dalam ruangannya. Ruangan berukuran 5 x 5 yang direnovasi sedemikian rupa hingga memiliki toilet yang amat sempit itu telah menjadi tempat tinggalnya untuk satu bulan, dan akan tetap tinggal di sana sampai keuangannya stabil.
Setidaknya itulah pikiran sederhana yang ia miliki semenjak keluar dari penampungan anak. Ia tinggal di loteng kos-kosan kecil berlantai 3. Setelah susah payah menamatkan sekolah tingginya. Gadis itu mencari tempat tinggal murah sembari menyambung pendidikannya ke jenjang universitas yang lebih tinggi.
Dengan bermodalkan beasiswa serta harus bekerja paruh waktu, ia mencoba menghemat uangnya sedemikian rupa.
Induk semang menawarkannya kamar di loteng atas dengan harga murah. Tapi ia harus tinggal selama satu minggu bersama kebisingan renovasi kamar mandi di loteng tempatnya tinggal.
Ia tak akan pernah menyangka kalau dirinya akan memiliki kemampuan sinting dalam semalaman berada di sana.
---
Hari itu hujan terus menderu, di hari pertama ia datang. Setelah menyapa induk semang yang bosan duduk di antara meja penerima tamu. Meskipun tempat itu bisa disebut sebagai kos-kosan kecil yang sederhana, tapi induk semang seolah membuatnya sebagai hotel. Ia menciptakan lemari tanpa tutup untuk meletakkan penitipan barang orang-orang. Serta membuat catatan-catatan orang yang berkunjung ke dalam.
Induk semang merupakan seorang nenek yang sudah berusia hampir delapan puluh tahun. Ia masih begitu sehat hingga rambut-rambut putihnya seolah di cat untuk mengungkapkan usianya.
“Selamat pagi, saya yang akan tinggal di loteng.” ucap gadis itu perlahan.
Induk semang mendonggakkan kepalanya dengan senang. “Ah iya, anak dari penitipan anak itu kan. Penjaga panti sudah meneleponku semalam. Selamat datang,” ia menyodorkan selembar kertas formulir, kertas itu ditulis dalam tulisan tangan yang hanya berisikan nama, usia serta nomor telepon.
“Tolong di isi, meskipun hanya tiga pertanyan. Setidaknya aku harus tau nama semua orang yang akan tinggal di sini.” Induk semang tersenyum penuh arti.
Gadis itu hanya segera menuliskan isi yang diperlukan, ia segera menyerahkan kembali kertas itu kepada induk semang.
Kini ia disodori kertas lain yang merupakan tulisan tangan yang telah di fotocopi berkali-kali. Tertulis dengan pena bermata yang lebih besar kata ‘ATURAN’
“Alice, nama yang indah. Kau tidak punya nama panjang?” Induk semang bertanya lagi.
Alice hanya menggelengkan kepalanya.
“Baiklah, Sebenarnya loteng belum siap untuk ditinggali saat ini. Masih ada beberapa perbaikan, serta menambahkan kamar mandi. Meskipun sedikit berisik di siang hari, tapi kau tetap bisa tidur di malam harinya. Lalu untuk aturan yang sudah dibuat, aku harap kau bisa mematuhinya. Tidak ada hal lain yang bisa ku sampaikan, biaya bulananmu seperti yang sudah disepakati.”
Alice mengangguk sekali lagi. Pengurus panti sudah mencoba mencarikan banyak tempat yang murah, namun tidak ada tempat semurah milik induk semang ini. meskipun ruangan di loteng sempit dan rawan dengan cuaca dingin ataupun buruk. Asalkan ia bisa tinggal, tidak masalah.
Pengurus panti memberikannya sejumlah uang untuk bertahan hidup selama satu hingga dua bulan. Karena itu, Alice harus secepatnya mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri.
Setelah naik ke lantai dua, ia masih harus menaiki dua lantai lagi untuk sampai di kamar loteng. Suara berisik palu yang terus mengetuk bagian dalam ruangan membuat Alice merasa hidup. Entah sudah berapa lama ia menginginkan kehidupan seperti ini. Tempat di mana ia bebas.
Tapi rupanya hari itu ia tidak akan pernah bisa bebas lagi. Alice ingat, malam hari yang gelap dengan penerangan yang sempit. Ia terbangun dari tidurnya karena suara berisik seperti gemeretak cangkir.
Ruangan kecil itu tidak memiliki sekat, Alice tidur di ruang tamu. Hanya ada pembatas kayu antara dapur dengan ruang tamu serta ruang kecil untuk kamar mandi.
Sontak gadis itu melirik ke dalam dapur. Tak ada siapapun di sana, Alice meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah tikus atau mungkin kecoak yang melintas tak sengaja menyenggol cangkir miliknya.
“Bwa!” tangan seseorang menggapai bahunya, rasanya dingin. Bulu kuduk Alice langsung berdiri. Ia yakin tidak ada seorangpun sekarang, induk semang tidak mungkin terjaga hanya untuk mengagetkannya.
Alice tidak berani menoleh, ia melirik sedikit tangan di bahunya. Transparan, tangan itu tak berwujud seperti manusia, warnanya kelabu apalagi cahaya bulan sedang masuk dari jendela. Tangan itu menyebarkan cahaya berwarna biru sesuai dengan ucapan orang-orang tentang makhluk bergentayangan yang seharusnya tak ada.
“Menolehlah, menoleh.” ucap suara itu lagi.
Alice menutup matanya, tubuhnya bergemetar hebat. Kalau saat ini ia bisa melarikan diri, ia pasti akan segera meraih pintu luar.
Tangan itu menahannya. “Tidak usah berlari, tidak apa-apa. Aku kan tidak semenakutkan itu.”
Alice memberanikan diri untuk menoleh. Ia melihat wajah seorang perempuan yang setengah terbakar sedang tersenyum kepadanya. Satu-satunya hal yang paling mengerikan yang pernah ia lihat.
“AHHHH!” pandangan Alice seketika berubah gelap. Ia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.