Loading...
Logo TinLit
Read Story - DI LAIN SISI RAMADHAN
MENU
About Us  

DI LAIN SISI RAMADHAN

By: Hanafi GLMNS

 

Di dalam kamar asramanya yang lengang, sembari duduk di pojok tempat tidur, Zen mengenang kembali momentum ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Terutama di masa-masa ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Masa-masa ketika virus COVID-19 masih menghambat. Masa-masa ketika ia tersadar, bahwa ia sudah berada di akhir jenjang. Meninggalkan keluarga, teman, sahabat untuk merantau lintas provinsi. Zen menghela napas panjang. Menatap kamar asramanya yang kosong, sepi, tidak ada orang. Semuanya pulang ke rumah masing-masing, menginap selama tiga hari. Menanti tarawih pertama ramadhan di rumah. Sementara Zen, harus menanti di asrama.

Merasa jenuh di kamar sendirian, Zen pergi menuju masjid dekat asrama dengan membawa perlengkapan sholat dan tas jinjing berisi laptop. Ia berencana untuk mengistirahatkan diri sejenak di masjid, selagi menunggu waktu Maghrib. Sesampainya di masjid, ia segera menaruh perlengkapannya di shaf paling belakang, mengambil air wudhu, dan melakukan shalat sunnah di sudut kanan masjid dan dilanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an.

Usai tilawah, Zen menaruh kembali Al-Qur’an yang digunakannya di rak masjid. Kemudian ia kembali duduk di posisi semula. Sembari menatap keluar jendela dan mengamati pena pemberian orang tuanya. Ya, ia rindu suasana ramadhan di rumah, bersama keluarga tercintanya.

Ia teringat saudara laki-lakinya, yang seakan-akan mempunyai energi tak terbatas walaupun dalam kondisi berpuasa. Bayangkan, sore hari puasa, di mana itu adalah masa-masanya seseorang merasa lemas atau capek, justru dia mengajak Zen atau Abi mereka untuk bermain bulu tangkis. Teringat saudarinya, yang sangat iseng dan tengil, namun sangat terobsesi untuk mengungguli Zen dalam hal hafalan Qur’an. Bahkan ia hampir menyamai hafalan Zen yang sudah berjumlah tujuh juz di usia yang masih sekolah dasar. Dengan adik bungsunya, perempuan. Yang selalu antusias di saat sahur maupun menjelang berbuka. Terkadang saking antusiasnya, ia sampai bernyanyi, melompat-lompat di ruang makan, mendendangkan nasyid atau sholawat dari penyanyi favoritnya seperti Aishwa Nahla, Maher Zein, dan beberapa lainnya.

Tanpa sadar, mata Zen mulai berkaca-kaca, namun ia usahakan untuk tidak menangis. Kendatipun begitu, aura kesedihannya masih terlihat dengan jelas. Hingga mengundang perhatian dari salah seorang temannya yang juga tidak pulang karena orang tuanya sibuk bekerja di Jakarta.

“Kenapa kamu Zen?” Itu reaksi pertamanya, melihat Zen yang berkaca-kaca.

Dibuat terkejut dengan kehadiran temannya itu, Zen tergesa-gesa menjawabnya sambil memperbaiki ekspresi wajah. “Nggak kenapa napa kok Bi. Aku lagi pengen kena angin aja dari jendela.”

“Udah jujur aja, kamu kangen rumahkan?” Tanya temannya curiga. “Beneran, aku cuma mau hirup udara sejuk, Yubi.” Jawab Zen tak mau kalah. “Jujur aja sama aku Zen. Insyaallah aku bisa bantu kok. Lagian, mumpung lagi sepi nih di masjid. Gak ada orang selain kita berdua.” Ucap temannya yang dipanggil Yubi itu.

Zen akhirnya tidak bisa memberikan alasan apapun lagi. Ia mulai menceritakan semuanya dengan jujur kepada Yubi, dengan diiringi ekspresi wajah yang sendu. Ia berkata bahwa dirinya ingin pulang kerumah, menikmati malam tarawih pertama bersama keluarga, berkumpul bersama orang tua dan adik-adiknya di rumah, dan semua perasaan yang selama ini memenuhi pikirannya.

“Kayaknya keluarga kamu seru juga ya Zen.” Ucapnya.

“Ya, alhamdulillah Yubi, kalau menurutmu keluargaku seru.” Balas Zen.

“Mendengar ceritamu Zen, aku malah iri sama kamu. Keluargamu masih perhatian sama kamu. Sedangkan aku, sering ditinggal keluar kota oleh orang tuaku. Walaupun sekalinya mereka pulang, aku bagaikan raja di sebuah negeri. Apapun yang aku minta sebisa mungkin dituruti sama mereka, hehe.” tutur Yubi yang diakhiri senyum kecil dan tawa kecil oleh Zen.

“Meskipun begitu, tetap saja mereka jarang berada di rumah. Kamu harus lebih bersyukur Zen. Kalau kamu pulang, kamu masih bisa bertemu orang tuamu yang menanti di rumah. Sedangkan Kalau aku pulang, aku belum tentu bisa bertemu secara langsung dengan mereka.” Ujarnya lagi.

Situasi berbalik sekarang. Yang tadinya Zen merasa dirinya adalah orang paling tidak beruntung di bumi ini, berubah menjadi orang yang paling tidak bersyukur dan bersabar dengan ujian kecil yang dihadapinya saat ini. Dengan cepat, Zen mengucap Istighfar berkali-kali di dalam hati. Astaghfirullahaladzim… Ya Allah, ampunilah kelancangan hambamu ini.

“Tapi kenapa kamu nggak merasa sedih Yubi? dengan kondisimu yang demikian?” Tanya Zen yang penasaran. Dirinya saja sudah merasa sedih akibat jarang ketemu orangtua karena jauh dari rumah. Sementara Yubi yang rumahnya saja dekat namun jarang bertemu dengan orang tuanya tidak terlihat murung sedikit pun.

“Karena aku mau membanggakan mereka berdua. Justru kalau aku sedih terus, itu akan menghambat perkembanganku untuk membahagiakan mereka dengan prestasi yang kucapai. Lagi pula, kita bisa sekolah karena orang tua kita yang membiayai bukan? Karena itu, aku mau membalas jasa mereka dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai impianku dan harapan orang tuaku. Jadi kamu jangan sedih lagi, banggakan orang tuamu yang menunggumu di rumah.” Tutur Yubi, yang pada akhirnya berhasil membuat Zen lebih sadar lagi.

“Ya Allah, ternyata selama ini aku cuma kurang bersyukur kepadamu. Kepada pemberianmu. Aku sudah dikasih keluarga yang perhatian kepadaku, sekolah yang mendukungku berkembang, dan kawan-kawan yang biasa menjadi teman mainku, tapi aku lupa kalau itu cuma nikmat darimu supaya aku bisa terus berkembang, bukan terpuruk di tengah jalan. Ketika aku diberi ujian dari-Mu dengan dijauhkan dari orang tua, dengan hari libur yang membuat asrama sepi dari gurauan kawan-kawan, aku malah menganggap itu adalah takdir sial ku. Ampuni aku ya Allah. Aku seharusnya memanfaatkan kesempatan itu dengan mengisinya dengan hal-hal yang dapat meng-improve bakatku untuk membuat bangga orang tuaku. Orang-orang yang mengenalku. Membuat bangga Engkau ya Allah. Bukannya meratapi nasibku.” Sesal Zen dalam hati.

Seketika Zen mendapat ide di dalam benaknya. “Oke Yubi, makasih banyak atas nasehatnya. Nggak nyangka loh di kasih paham ama temen sendiri, hehe.” Guraunya. “Gak masalah. Aku cuma gak mau kamu jadi salah fokus disini. Kamu jadi terhambat untuk belajar dan berkembang di mana pun.” Balas Yubi.

“Ngomong-ngomong tentang berkembang, aku lagi mau mengasah skill menulis ku. Dari obrolan kita tadi, aku mendapat inspirasi untuk menjadi salah satu bahan tulisanku ini. Sekali lagi makasih banyak ya Yubi.” Kata Zen.

“Siap deh, asalkan nulisnya nanti. Sekarang kita kan mau sholat maghrib dulu. Lihat tuh, udah jam berapa?” Tunjuk Yubi mengarah ke jam di dinding masjid.

“Iya, iya. memang nanti kok, setelah maghrib.” Jawabnya.

“Eh btw, kamu nanti sholat tarawih di sini kan? rumah kamu kan dekat Yubi?”

“Iya, aku di sini. Wah, bakal rame nih masjid. Karena yang kutahu, penduduk sekitar sini diundang untuk sholat tarawih berjamaah di sini.” Yubi menjawab.

“Oo, kok aku baru tahu ya?” Heran Zen, yang langsung terjawab oleh suara toa dari pusat asrama yang mengumumkan berita yang baru saja dibawakan Yubi.

“Pantes belum tahu, baru diumumin sekarang toh” Ujar Yubi.

“Hehe. Yaudah buruan gih, kita siap-siap. Itu alarm adzan tinggal 30 detik lagi tuh, menuju maghrib. Aku aja yang jadi muadzinnya.” ajak Zen. “Serius nih? kamu nggak bakal murung lagi kan, nanti? Waktu adzan? Takut bikin malu yang ngedengerinnya.” Tanya Yubi. Kedua tangannya disedekapkan di depan dadanya, sambil diiringi gelak jail. “Ya nggak lah. Kan baru saja ada yang menetralisirnya.” Balas Zen disertai senyum hangat yang meyakinkan. Menyiratkan keteguhan yang sudah berhasil ia peroleh tadi.

Alarm masjid telah berbunyi, menandakan waktu adzan maghrib dikumandangkan. Zen mulai melangkahkan kakinya dengan mantap, menuju ke depan mimbar tempat mikrofon masjid di sediakan. Zen yang sebelumnya bersimpuh di pojokan masjid, sok jadi anak galau, berbeda dengan Zen yang saat ini menggenggam sebuah mikrofon, dan mulai menyalakannya. Tak lama setelah itu, Masjid Pendidikan Insantama di riuhkan dengan suara adzan yang menggelegar dengan syahdu dan penuh ketundukan.

Allahu Akbar!!

Allahu Akbar!!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hati Langit
8064      2165     7     
Romance
Ketika 2 orang teman yang saling bertukar pikiran mengenai suatu kisah sehingga terciptalah sebuah cerita panjang yang berwujud dalam sebuah novel. Buah pemikiran yang dikembangkan menjadi suatu kisah yang penuh dengan inspirasi dan motivasi dalam menghadapi lika-liku percintaan. Persembahan untuk mereka yang akan merengkuh jalinan kasih. Nani Sarah Hapsari dan Ridwan Ginanjar.
Mahar Seribu Nadhom
4926      1712     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Dinding Kardus
9777      2613     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.