Setelah kejadian puting beliung di dalam kamarnya, Kina menjadi lebih bersemangat untuk memecahkan rahasia yang ada di dalam rumah. Dia benar-benar bertekad untuk mendekati seluruh rumah itu. Jika selama ini dia tidak peduli, maka kali ini dia akan pelan-pelan mencari tahu. Jika tidak melihat keajaiban itu mana mungkin Kina mulai penasaran. Apalagi hal-hal ajaib yang selama ini tidak ada dalam banyangannya tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Kakak kali ini beneran mau bantuin aku kan?” tanya Gyn yang sudah rapi di depannya. Tasnya sudah dia peluk dengan erat. Hari ini ibu dan ayahnya sudah ke pasar terlebih dahulu karena memang ada yang memesan obat dan ingin mengambilnya sebelum berangkat ke kantor. Alhasil hanya tersisa Kina dan Gyn yang ada di rumah.
“Yap. Nanti kalau mereka ganggu kamu, aku maju.”
“Asikk.” Adiknya tersenyum dengan lebar sampai kedua matanya menghilang dan kedua lesung pipitnya muncul. Tubuhnya ikut bergoyang-goyang ketika kakinya bergerak.
Melihat ekspresi adiknya itu, Kina merasa hatinya yang telah lama kering mulai menghangat. Senyum tipis terpatri dibibirnya. “Ayo berangkat.”
Pagi itu senyum di bibir gadis berusia lima belas tahun secerah langit biru dan embusan angin lembut pagi hari. Suhu dingin menyapu kulit-kulit mereka dengan lembut. Sedikit membuat bulu kuduk merinding tapi tetap nyaman menemani aktivitas kali ini. Hari ini sepertinya memang menjadi hari yang baik.
Untuk pertama kalinya Gyn merasakan berangkat sekolah bersama kakaknya. Dia bersepeda dan mengekor kakaknya. Melewati perbukitan, melewati persawahan, melewati ladang, dan menyebrang di perkotaan. Kakaknya menjaganya dengan baik. Dia yakin sebenarnya memang dari dulu kakaknya itu baik kepadanya tetapi ada alasan kuat yang membuat kakaknya itu memilih untuk tidak memedulikannya.
Hari ini Gyn menjadi lebih semangat dalam bersekolah. Senyumnya tidak pernah luntur sampai membuat Yonel, Grafen, dan Horien heran. Gyn bahkan berani menatap ketiga laki-laki itu.
Yonel berbadan besar mendorong Gyn ke belakang sekolah tempat gudang penyimpanan barang-barang olahraga. Sementara Grafen si kurus dan Horien si kacamata menjaga situasi.
“Kamu berani sama kita? Anak miskin kenapa harus sekolah di yayasan ini? Dapat beasiswa ya?” tanya Yonel sambil menatap Gyn dari atas sampai bawah seperti biasa. “Baju kamu jelek, rambut kamu jelek, wajah kamu jelek. Seeeemuanyaaaa jelek. Heran kenapa masih betah sekolah di sini.”
Yonel mengemut permen kakinya dengan angkuh. Pipi cabinya ikut bergoyang-goyang ketika berbicara. Gyn baru menyadari betapa lucunya bentuk wajah temannya itu. Jika dia punya kesempatan untuk merundung Yonel, pasti dia akan menggunakannya dengan baik.
Gyn menatap sekeliling. Dia menunggu kakaknya tiba. Matanya dia tegakkan dan menatap Yonel dengan berani. Dia tidak takut karena kakaknya akan datang kemari. Sekalian dia bisa membalas semua kelakuan Yonel hari-hari kemarin.
“Kenapa? Ada yang salah? Aku lebih pintar tapi daripada kamu.” Gyn mentap mata Yonel sekilah dan mengalihkannya ke sisi lain agar tidak menyurutkan niatnya. Dia sebenarnya gemetar melakukan itu tapi sebelum kakaknya tiba setidaknya dia bisa memperlihatkan betapa kuat dirinya menghadapi perundung di sekolah.
“Oh mulai berani sama kita?” Yonel mulai menyadari ada yang tidak beres, sepertinya gadis di depannya sedang merencanakan sesuatu. Matanya tidak lepas melirik arah jalan ke gedung belakang. “Punya rencana? Kita lihat rencanamu seberhasil apa.” Yonel bersedekap dada.
“Sudah kita bilang, lebih baik kau meninggalkan sekolah ini. Menganggu pemandangan.” Horien membuat gerakan mengusap kaca untuk menghalangi pemandangannya. Dia ingin memberi tahu kalau pemandangan matanya tergangu jika ada Gyn.
“Betul.” Grafen menyetujui. Anak laki-laki yang lebih kurus dari ketiganya itu terlihat tidak tertarik untuk menambahkan. Selama ini dia memang lebih suka menikmati lawannya lemah, itu saja.
“Mau berapa lama kalian main kayak gini?” Kina bersedekap dada sambil berjalan dengan angkuh. Tubuh tegap dan mata elangnya mampu membuat Yonel terintimidasi. Apalagi Kina termasuk terkenal di sekolah sebagai pemanah yang hebat. Dia juga memiliki sifat yang tegas dan membuat orang-orang takut dengan dirinya.
“Orang lain tidak usah ikut campur. Ini urusan anak SMP,” lirih Yonel. Keberaniannya menguap begitu saja.
“Kenapa? Berani sama kita? Kamu nggak tahu siapa kita?” Horien yang memiliki rasio tubuh seimbang itu maju. Dia tidak takut dengan Kina karena tingginya melebihi Kina.
“Justru itu. Kalian tidak tahu saya?” Kina berkata dengan sombongnya. Meskipun dia tahu kalau mereka bertiga adalah sponsor tempat Kina bersekolah ini.
“Apa yang perlu dibanggakan dari kalian sebenarnya? Masih kecil sudah merundung orang.” Kina tersenyum mengejek.
“Baik, kita terima tantanganmu …” Horien melihat nama Kina di badge-nya. Dia lalu memberikan arahan kepada Yonel dan Grafen untuk pergi dari tempat itu.
Kina menatap mereka dengan miris. Anak orang kaya memang terkadang menyebalkan karena tidak bisa menyentuh tanah. “Tidak mungkin aku akan melepaskan kalian.”
“Kakak ada rencana lain?” tanya Gyn yang juga menatap kepergian ketiga orang itu dengan kesal.
“Tentu saja. Buat apa kita punya banyak tanaman obat di rumah.” Kina tersenyum misterius.