Matahari perlahan muncul. Pagi yang cerah mulai menerangi Satlered dan kota di sekitarnya. Kilau sinar teknologi yang terpasang di fasilitas publik satu persatu dimatikan. Lampu yang menyilaukan di malam hari sekarang meredup, berganti jadi panel surya praktis. Dengungan mesin saat berganti fungsi pun jadi penanda yang sudah sangat dikenali masyarakat sekitar.
Para orang tua yang pertama meramaikan jalanan berbatu itu. Kakek-nenek, ayah-ibu, mereka melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh manusia semasa dulu. Tetap mempertahankan berkat anjuran para ahli. Berolahraga, menyapu jalanan, dan juga tentunya yang paling disukai yaitu; berjemur. Berjemur di bawah langit yang cerah. Tidak panas namun menghangatkan. Senyuman juga turut menghiasi pagi yang cerah. Pilihan pemerintah untuk mempertahankan kebiasaan lama ini terbukti sangat membantu warga untuk pulih dari trauma akibat serangan-serangan yang menyasar mereka secara acak.
Tentu, kebiasaan ini bisa dipertahankan oleh seluruh masyarakat tanpa persetujuan pemerintah. Tetapi, selama dua ratus tahun lebih, pemerintah sudah membangun perlindungan tambahan di atmosfer bumi. Perlindungan ini meliputi penghalangan sinar apapun yang masuk ke bumi. Salah satunya sinar matahari. Bisa dibilang, seluruh pemerintah Negara di belahan bumi manapun menjadi sangat ketakutan setelah penjajahan pertama dimulai.
Pada kenyataanya, selama seratus tahun sejak bumi diserang, bumi sering menjadi target dari beberapa perompak luar angkasa atau penjahat antar galaksi, dan sayangnya para ilmuwan dari seluruh dunia belum sanggup membuat perlindungan atau sistem pertahanan yang cukup ampuh untuk menghalau semua serangan para penjajah. Dengan mudahnya bumi dimasuki oleh mereka. Selama itu juga, banyak korban berjatuhan yang tak terhitung jumlahnya.
Hologram berbentuk ayam muncul dari atas piringan logam yang dipenuhi tombol-tombol berwarna. Sebuah suara memekikkan telinga terdengar sesaat sebelum ayam itu muncul, yang kemudian berkokok layaknya ayam asli. Di akhir, ayam itu terdengar seperti batuk dan tersedak seperti sedang sekarat. Suara kokok-nya kemudian terhenti dan berubah menjadi suara ledakkan yang disusul asap hitam dengan bau menyengat. Dampak ledakkan itu tidak terlalu besar dan parah, namun suaranya cukup keras hingga tetangga-tetangga yang berada di sekitar rumah itu mendengarnya.
Brakk!
Seorang wanita paruh baya baru saja mendobrak pintu, ke asal suara ledakkan tadi.
“Lucas!” teriaknya.
Di hadapannya, tampak seorang lelaki yang masih tertidur pulas meski barang-barang di sekitarnya terbakar oleh api kecil. Termasuk tempat tidurnya. Pakaiannya bahkan juga ikut terbakar, masih menyala dan terus membakarnya.
“Dasar. Bagaimana bisa dia masih tertidur saat dirinya sedang terbakar? Kalau aku sedang tidak di rumah pasti tempat ini sudah menjadi abu saat aku sampai.” Wanita itu berjalan mendekat, mengeluarkan alat yang selalu ia bawa di sakunya untuk berjaga-jaga.
Wanita itu kemudian memakai alat itu di pergelangan tangannya, lalu mengangkat tangannya. Yang ia lakukan selanjutnya adalah memejamkan matanya dan membuka telapak tangannya lebar-lebar. Lalu, “Pengaman, dibuka! Melepaskan untaian materi.” Titik-titik air mulai tercipta, membentuk butiran-butiran air yang mengambang di udara. “Pengendalian air tahap pertama!” Butiran-butiran itu kemudian pecah dan mengeluarkan air dengan skala yang bisa dikendalikan. Mengalir mengarah ke titik-titik api yang membakar ruangan. Terus mengalir tak ada habisnya.
Lucas langsung melompat bangun dari tempat tidurnya setelah ikut diguyur oleh bibinya.
“Banjir!!” teriaknya melompat ke dekat jendela dengan membelalak. “Ah, bibi.” Akhirnya dia sadar.
“Kau tidak merasa sedang terbakar hidup-hidup ya?”
“Terbakar?!”
Wanita paruh baya itu menunjuk sumber api berasal. “Ayam milikmu meledak, kau tidak mendengarnya sama sekali?”
Lucas menggeleng bingung.
“Aku penasaran apa yang terjadi dalam mimpimu tadi. Coba ceritakan padaku. Bisa-bisanya terlelap saat sedang terbakar. Dasar bocah ini.”
“Kalau yang terjadi di mimpiku tadi,” Lucas menatap langit-langit, mengingat kembali apa mimpinya tadi sewaktu terbakar hidup-hidup. “Seingatku, tadi aku sedang berkelahi dengan seorang iblis. Dan pada saat itu aku kalah dan aku terjebak dalam kobaran api milik iblis itu, dan setelahnya, aku melihat ada banjir datang yang menyelamatkanku dari kobaran api itu dan menyeretku ke lautan. Begitu kira-kira mimpiku tadi.” Kata Lucas menjelaskan, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Wanita itu menghela napas panjang. “Untung kau terseret banjir.” Katanya memandang Lucas dengan tatapan kesal. “Cepat mandi, lalu sarapan. Setelah itu bantu kakek Rotho di kebun. Jangan kebanyakan bermain dengan Mikie, nanti otakmu bisa rusak.” Kata wanita itu sambil menurunkan tangannya. “Penghentian materi! Pembersihan rangkaian aktivasi! Pengaman, aktifkan!” butiran-butiran air yang memadamkan api di kamar Lucas berhenti mengeluarkan air dan menghilang menyatu dengan udara. Wanita paruh baya itu kemudian berjalan keluar.
Lucas masih berdiam diri di kamarnya. “Mimpiku normal kan?” gumamnya.
Menu sarapan sudah tersaji di meja makan. Ditata rapi dan disusun sedemikian rupa menghadap matahari. Dan tentu saja tujuannya agar mendapat sinar matahari secara langsung.
“Seperti sarapan di bawah matahari langsung.” Lucas menarik kursi yang ada di sebelah kiri jendela. “Sinar matahari memang yang terbaik.” Ujar Lucas dengan senyum pahit samar.
Lucas menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Melihat satu persatu lauk yang akan disantapnya. Dihirupnya aroma dari setiap makanan, yang tanpa dihirup pun harum aromanya bisa tercium dari kejauhan.
Lucas duduk dan membalik piring di meja, mengambil sendok dan menuang air di teko ke gelasnya. Saat ia hendak mengambil nasi, terdengar suara nyaring dari pintu. Seseorang tampaknya sedang menggedor-gedor pintu dengan kencang. Lucas mengurungkan niatnya mengambil nasi dan lauk di depannya, ia bangkit dan berjalan menuju pintu. Semakin mendekat ke pintu, Lucas mendengar tambahan suara; berupa teriakan. Lucas membuka pintu dan seorang wanita berdiri di hadapannya. Rambutnya panjang sampai ke punggung, berwarna hitam campur coklat, matanya tampak bersemangat, senyum terpasang di wajahnya yang bingung ketika melihat Lucas yang membukakan pintu. Umurnya sekitar empat puluhan. “Oh, Lucas. Apa Helen ada?” tanyanya sambil mengintip ke dalam rumah.
“Bibi… Helen, aku rasa dia ada di dalam.” Lucas berbalik. “Bibi! Ada yang mencarimu!” teriaknya.
Ruangan masih senyap tanpa ada jawaban dari panggilan Lucas. Tapi ada suara langkah tegas dan berani yang terdengar semakin mendekat.
“Sudah kubilang untuk tidak berteriak di rumahku ‘kan? Alice.”
“Hei, yang berteriak tadi itu bukan aku, tapi Lucas.” Alice mengerutkan dahinya.
“Ya, ya, aku tahu. Tapi ‘kan kau yang membuatnya berteriak.”
Alice menatap tajam Lucas dan mendengus di depan wajah Lucas. “Kau membuatku dalam masalah anak muda.” Katanya dengan suara pelan, seperti berbisik.
“Jadi, ada urusan apa kau pagi-pagi datang kemari?”
“Urusan kenegaraan, tidak boleh ada warga sipil yang mengetahuinya. Hanya kita saja.” Kata Alice melirik dengan tatapan sinis ke Lucas.
Lucas balik menatap Alice dengan ngeri, dan kemudian ia berangsur mundur ke belakang. Kembali ke meja makan. Setelah sampai di meja makan, Lucas bernapas lega. Menghela napas panjang di depan piringnya yang masih bersih.
Sambil sesekali memperhatikan Alice dan Helen yang sedang berbicara berdua, Lucas menyendok satu-dua kali makanan ke dalam mulutnya.
Dari kejauhan, sejauh yang ditangkap mata Lucas, ekspresi Alice jadi semakin serius setelah berselang beberapa menit sejak mereka mulai berbicara berdua. Sedangkan Helen, yang hanya bisa dilihat dari punggungnya, tampak sedang menggaruk pelipisnya. Seperti sedang bingung. Alice berbicara sambil menggunakan kedua tangannya saat membuat gerakan-gerakan menunjuk ke arah barat, dan terkadang alisnya menyatu layaknya sedang marah. Helen yang berdiri di depannya hanya diam mendengarkan Alice berbicara yang semakin lama lebih mirip mengomel ketimbang menyampaikan laporannya.
Lucas akhirnya menyelesaikan sarapannya. Meminum segelas air putih, lalu menaruh piring serta gelasnya ke bak cuci piring. Lucas tidak memikirkan gerakan dan ekspresi aneh dari Alice dan Helen, yang ia lakukan malahan membuka kulkas dan mengambil satu buah apel dengan santai. Langsung menggigitnya tanpa mencucinya lebih dulu.
“Lucas!” panggil Helen.
“Iya!” teriak Lucas dari dapur, sambil melempar apel yang sudah kurus karena dimakannya ke tempat sampah.
“Aku harus pergi, ada urusan mendadak. Kau jangan lupa bantu kakek Rotho seperti kataku tadi, dan jangan terlalu banyak bergaul dengan Mikie. Ingat!”
“Baiklah.” Jawab Lucas mengiyakan.
“Kau bergaul dengan Mikie?” Alice mengintip dari balik bahu Helen. “Wah, pantas saja kau tampak bodoh sekali.”
Kali ini, Lucas memasang ekspresi kesal. Wajahnya cemberut merasa tersinggung.
“Dasar nenek lampir.” Gumam Lucas sambil memalingkan wajahnya.
Tak disangka, ternyata Alice memperhatikan bibir Lucas yang sedang mengucapkan sesuatu dengan pelan. “Hei! Bilang apa kau barusan?” Alice berkacak pinggang maju ke depan Lucas.
“Tidak, aku t-tidak bilang apapun.” Balas Lucas gugup.
“Hah?”
“Sudah, sudah. Ada urusan yang lebih penting. Ayo.” Helen menyeret Alice.
“Awas kau ya.”
Lucas tersenyum. “Hati-hati di jalan!” saat itu juga, Alice langsung menoleh dan matanya menyipit saat menatap ke arah Lucas. Seringai mengancam dilemparkannya pada Lucas yang sedang ditatapnya.
“Bagaimana bisa bibi Helen punya teman seperti itu?” Lucas menutup pintu dengan keheranan.
Lucas berangkat ke kebun dengan rompi hijau kesayangannya. Juga dengan celana coklat berbahan kain yang terasa sangat nyaman baginya untuk beraktivitas. Memakai sepatu hadiah dari bibinya, Lucas berjalan dengan hati-hati di jalan bebatuan yang mulai rusak termakan waktu. Rumput-rumput liar yang tumbuh di celah retakan jalan mulai meninggi dan mengganggu. Pada hari-hari sebelumnya beberapa penduduk setempat banyak yang terjatuh tersandung oleh rumput liar itu saat sedang membawa barang dagangan mereka ke distrik lain.
Hari setelahnya, mesin-mesin rumit dari mobil pengangkut milik warga kesulitan melintasi jalan karena rumput-rumput liar yang masuk ke dalam gir dan menghentikan kinerja mesin. Karena minimnya mekanik resmi di distrik-distrik, banyak sekali kendaraan mereka yang jadi semakin rusak alih-alih menjadi betul kembali setelah dibawa ke bengkel.
Setiap berjalan melewati jalan itu Lucas sering kali terlihat prihatin pada kondisi jalan itu dan juga yang ada di sekitarnya. Seolah bibinya yang kenyataannya seorang Hedda seperti tak memenuhi tanggung jawabnya dengan benar. Kiri dan kanan yang diisi gedung-gedung terbengkalai terkadang memberi kesan seram pada pejalan kaki yang terpaksa menikmati suasana berantakan sekitar jalan rusak itu.
Distrik 9 adalah salah satu distrik yang memiliki ciri khas atas wilayahnya. Identitas yang dipertahankan atau dibuat oleh pemimpin distrik 9; yaitu mempertahankan nuansa masa lampau yang mana bahan bangunan masih berbahan dasar bata dan semen. Selain karena murah, pemandangan yang menggambarkan nuansa masa lampau ini juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan dalam maupun luar negeri. Tapi itu juga bisa menjadi kelemahan bagi distrik itu sendiri. Dampaknya yang bisa dilihat kini adalah rusaknya jalan penghubung antar distrik dan rapuhnya gedung-gedung karena termakan waktu.
Dalam perjalanan ke kebun milik pak Rotho, Lucas memandang gedung-gedung tua itu. Perasaannya sedih melihat mereka semua akan hancur seiring berjalannya waktu. Lucas memang tidak memiliki kenangan di gedung-gedung tua itu maupun di sekitar tempat itu. Itu hanya salah satu kelemahan Lucas saja. Salah satu dari sekian banyak kelemahannya yang akan menghambatnya nanti.
Lucas akhirnya sampai di ujung jalan. Di hadapannya sekarang ada dua jalan setapak menanjak yang mengarah langsung ke rumah kakek Rotho. Meskipun begitu, jalan setapak itu juga bisa digunakan untuk pergi ke area taman di daerah timur. Tapi siapapun itu, yang mau pergi ke taman harus bersusah payah turun ke sana karena tidak adanya pijakan yang aman untuk dilintasi baik manusia maupun hewan. Jika nekat melintas menggunakan kendaraan, itu tak masalah, kalau mereka mau menanggung risiko kendaraan mereka terjebak di sana.
Hanya ada satu jalan setapak di sana, yang mengarah langsung ke rumah kakek Rotho. Seharusnya. Saat ini Lucas melihat sesuatu yang berkebalikan dengan fakta yang ada. Dua jalan setapak, yang satu mengarah ke barat dan yang satunya ke arah utara. Sebelumnya Lucas belum pernah ke rumah kakek Rotho. Ini adalah kali pertamanya.
Lucas memang sering mendapat perintah dari bibinya untuk membantu para orang tua yang ada di distrik 9, tapi pergi ke rumah kakek Rotho adalah pengalaman pertama baginya. Meski Lucas sudah mengenal dan mengetahui letak rumah setiap orang tua yang ia bantu. Itulah yang membuat Lucas berpikir sekarang. Karena ada dua jalan setapak yang seharusnya hanya ada satu.
“Aneh, bukankah seharusnya hanya ada satu jalan setapak saja?” gumam Lucas, yang teringat ucapan bibinya.