3 September 2619
Hiruk-pikuk suara penonton memenuhi stadion Satledown. Semua bergembira, berteriak menyemangati jagoan mereka yang sedang bertanding. Dua orang remaja berdiri di atas arena berlantai beton, yang dikelilingi rerumputan. Ada yang menepuk-nepukkan tangan raksasa yang terbuat dari karet, ada yang menyalakan kembang api dan mengarahkannya ke langit, yang seketika itu juga mendapat perhatian oleh penjaga stadion.
Pertandingan yang sangat dinanti-nanti. Dua remaja yang sedang berdiri menunggu aba-aba itu adalah peserta turnamen yang dinantikan oleh sebagian besar penonton. Babak final adalah tempat di mana mereka menjadi tontonan yang dinanti oleh para penonton. Beberapa di antara mereka bahkan sudah memiliki penggemar saat babak penyisihan.
Suara penonton dari bangku stadion semakin riuh. Menyoraki panitia yang terlalu lama memulai pertandingan dan juga menyoraki kedua peserta memberi semangat.
Hologram yang mengambang di langit akhirnya muncul. Tepat di atas lapangan. Di atas arena pertandingan. Tampil seorang pria tua berwajah keriput yang memiliki semangat membara-bara. Menyapa para penonton lewat hologram yang menampilkan wajahnya yang sedemikian jelek.
“Halo semua! Salam olahraga!”
“Cepat mulai pertandingannya!” balas para penonton berseru kompak.
“Oke, oke, pertandingan akan segera dimulai. Mohon bersabar.” Suaranya tiba-tiba berubah menjadi berat seperti ketika mau mendongeng. “Baiklah, untuk pertama-tama aku harus bertanya pada semuanya. Semuanya.” Hologram berbentuk persegi itu bergerak, mengelilingi stadion. “APA KALIAN SUDAH SIAP?!!” teriaknya.
“YA!” seru penonton lagi, kompak.
“Baiklah, aku sudah mendapat suara di sini. Sekarang giliran mereka berdua.” Hologram itu melesat turun dan berhenti tepat di tengah-tengah kedua peserta. “Anakku, kalian sudah siap?” tanyanya riang.
Salah satu peserta melakukan peregangan otot, sedangkan yang satunya menguap sambil menggumamkan sesuatu. “Siapa yang kau panggil anak, berengsek?” gumamnya.
Suasana menjadi hening. Kemudian, “Baiklah, akan kuanggap itu sebagai jawaban.” Hologram itu kembali naik. Langsung melesat kembali ke hadapan penonton. “Kita sudah mendapat jawaban dari mereka.” Si pria tua dalam hologram itu menaikkan alisnya. “Waktunya kita mulai!”
Suara yang memekikkan telinga terdengar sampai ke sudut stadium. Riuh penonton yang sejak tadi meramaikan bagian dalam stadium sekarang jadi lebih tenang. Tidak ada lagi suara penonton yang sebelumnya sangat berisik. Sekarang menjadi lebih tenang dan terkendali. “Kali ini aku akan benar-benar memulainya. Jadi, kumohon tenanglah.” Suara dari hologram itu terdengar sedikit horor.
Api mencuat keluar dari pinggiran arena. Meletus dan terbang sampai ke langit-langit stadion. Berterbangan dan membentuk seekor naga merah, yang kemudian menukik turun menabrak arena sampai meletup dan kembali ke langit dan berganti menjadi angka-angka hitungan mundur. Suara si pria tua dalam hologram itu juga ikut menghitung.
“Waktunya menghitung mundur, 3… 2… 1… HAJAR!!” penonton di segala penjuru stadion bersorak gembira. Berdiri dan meneriakkan “Ayo!” secara kompak dan bergantian dari setiap sisi bangku penonton.
Kedua peserta yang berada di arena bersiap-siap sebelum akhirnya mereka saling berlari ke arah masing-masing dan melayangkan tinju mereka yang pertama. Pada pukulan yang pertama keduanya saling bertahan. Tidak ada dari keduanya yang terkena pukulan. Dua-duanya saling menahan pukulan masing-masing.
Mereka berdua kemudian melompat mundur kembali ke tempat mereka semula, sambil memasang kuda-kuda kuat-kuat. Mata mereka berdua sama-sama berkilat. Memancarkan tatapan tak mau kalah. Berambisi untuk menang. Harus.
Mereka bersiap-siap lagi. Usaha yang kedua, salah satu peserta berlari lebih dulu. Mencoba mengambil kesempatan untuk memulai penyerangan. Rambut gondrongnya berkibar saat berlari ke arah peserta yang satunya. Laki-laki itu mengambil ancang-ancang, menarik tangannya yang sudah terkepal. Kemudian melepaskannya saat tepat berada di hadapan peserta yang satunya.
Serangan laki-laki berambut panjang itu terhenti. Tepatnya, ia dihentikan. “WOAH!” pria tua dalam hologram itu berseru aneh, suaranya sangat keras dan menggema di seluruh bagian dalam stadion maupun luar stadion. Pengeras suara yang berada di luar stadion membuat orang-orang yang berjalan di sekitar stadion terganggu. Baik yang berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan. “Berengsek!!!” Seorang pengendara mobil yang menabrak sebuah truk berteriak menyalahkan pengeras suara yang memiliki ukuran besar.
“WOAH, WOAH! APA YANG TERJADI? APA YANG TERJADI? APA YANG TERJADI? APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADA RUBERT HADIRIN SEKALIAN?” pria tua dalam hologram itu berseru lagi dengan nada-nada aneh dalam suaranya.
Penonton yang ada di dalam stadion pun sama penasarannya dengan apa yang terjadi. Desahan mereka yang terhenti menyiratkan ingin tahu kenapa Rubert tiba-tiba terhenti di tengah serangannya.
“ITU DIA!!” pria tua dalam hologram itu berteriak kencang dengan pengeras suara yang besar. “RUPANYA ITU MASALAHNYA!”
Hologram yang menampilkan wajah pria tua sebagai komentator berganti menjadi keadaan di atas arena. Terlihat dua peserta yang sedang berdiri di atas arena, saling berhadap-hadapan. Dengan kuda-kuda masing-masing. Yang satu tampak kokoh, sedangkan yang satunya tampak lemah. Sangat lemah.
“RUBERT TERKENA PUKULAN TELAK!!!!” seru pria dalam hologram itu, yang sudah berganti lagi menjadi wajahnya. “TAMPAKNYA PUKULAN NAK LUCIUS MEMBERIKAN DAMPAK YANG SERIUS PADA PERUT NAK RUBERT.” Para penonton masih terdiam membeku. Menyimak dan mengamati apa yang sedang dibicarakan si komentator dan apa yang saat ini terjadi di atas arena.
“OHH!! ADA PERGERAKAN SAUDARA-SAUDARA!! SEPERTINYA NAK RUBERT BELUM MAU MENYERAH SAUDARA-SAUDARA!!”
Rubert bergerak sedikit-sedikit, melepaskan diri dan berusaha menjaga jarak dengan Lucius. Rubert berjalan mundur mulanya, kemudian melompat ke belakang dan langsung berlari mundur. Wajahnya berkeringat. Tampak ekspresi khawatir di wajah Rubert. Raut wajahnya berubah kesal. Kepercayaan dirinya mulai berkurang. Sekarang, Rubert merangkai potongan-potongan rencana yang sempat disusunnya tadi di ruang ganti.
“Aku terlalu meremehkannya. Sangat memalukan bagiku jika tanpa kekuatan saja dia bisa mengalahkanku.” Gumamnya.
Rubert mengambil ancang-ancang. Tubuhnya membungkuk sedikit lebih rendah dari posisi awalnya. Matanya kembali berkilat berambisi untuk menang. Di sudut yang lain, Lucius tetap pada kuda-kudanya di tempatnya berdiri. Tak bergerak. Hanya menunjukkan seringainya yang seolah memiliki arti tersembunyi.
Rubert berlari maju. Lagi. Semakin lama laju larinya semakin kencang. Posisi tubuhnya masih sama. Sedikit membungkuk. Sambil berlari Rubert membuat gerakan-gerakan untuk melancarkan serangannya. Detik-detik sebelum mendaratkan pukulannya, Rubert melompat, kemudian ia berputar di udara, dan membuka serangan dengan tendangan yang cukup keras yang mengarah ke kepala Lucius bagian kiri.
Namun Lucius menahannya dengan punggung tangan kirinya. Tidak sampai berhenti di situ, Rubert masih berada di udara, setelah tendangannya gagal, ia lalu menarik kaki yang ia pakai untuk menendang tadi. Lalu mengeluarkan kepalan tangannya yang sejak tadi ia simpan. Diarahkan ke wajah Lucius yang terbuka tanpa pertahanan.
Secara mengejutkan, dalam jeda waktu yang tak dapat mengerti, Lucius berhasil menghindarinya. Kepalanya miring ke kanan, dan matanya menatap tajam ke arah Rubert yang kembali terlihat panik. Dengan sekejap, Lucius melancarkan serangan sekali pukul. Lucius memberi upper cut pada Rubert tepat di ulu hatinya. Yang pada akhirnya membuat Rubert terjatuh tersungkur tak berdaya di hadapan Lucius.
“WOAHHH!!! APA ITU BARUSAN?? SERANGAN SEKALI PUKUL?? ITUKAH NAMANYA?? SANGAT MENARIK!! MARI KITA LIHAT LEBIH DEKAT!” pria tua dalam hologram itu menghilang, dan hologram berbentuk persegi itu berganti jadi sebuah tayangan pertandingan yang sedang berlangsung.
Rubert terlihat dalam hologram persegi itu. Terkapar di atas permukaan arena, pingsan. Di sampingnya, Lucius berdiri dengan gagah dan berkacak pinggang. Santai sambil melemaskan otot lehernya.
Di tengah arena, wasit berekspresi lesu muncul dalam bentuk hologram ukuran manusia penuh. Memandang ke arah Rubert dan Lucius. Mengamati dengan serius. Wasit kemudian mengangkat tangan kanannya dan menyatakan Lucius adalah pemenangnya.
“Lucius. Pemenangnya.” Kata wasit itu singkat. Kemudian hologram si wasit menghilang perlahan saat berjalan ke luar arena.
Di sudut atap stadion.
“Wah, sangat menarik. Kau melihatnya juga ‘kan Luke?” Tanya seorang bocah laki-laki di sudut dekat atap.
“Ya, sangat menarik. Tidak sia-sia kita susah payah memanjat sampai ke atas sini.” Kata seorang laki-laki berambut pirang, matanya bersinar bahagia.
“Saat besar nanti aku mau mendaftar di Saint Jackson. Dan aku akan menjadi yang terkuat dari yang terkuat.” Ujar bocah itu penuh semangat.
“Ya, aku juga.” Sahut laki-laki yang ada di sebelahnya.
“Kau tidak bisa.” Bantah bocah itu.
“Kenapa?”
“Kalau mau mendaftar harusnya tiga tahun yang lalu, minimal.”
“Memangnya kenapa kalau sekarang? Ada yang salah?” laki-laki itu bertanya polos.
“Kau mau mendaftar sebagai apa? Petugas kebersihan? Ha?”
“Tentu saja sebagai murid.”
“Itu tidak bisa. Umurmu sudah tujuh belas, dan sekarang pendaftaran sudah ditutup. Pelajaran semester satu sudah dimulai. Dan lagi, Saint Jackson tidak membuka pendaftaran di tengah jalan. Terutama untuk kita yang tidak memiliki riwayat bersekolah sebelumnya. Mereka pasti akan menolak mentah-mentah. Itu pasti.” Ucap bocah itu bergaya sok tahu.
“Hemm, begitu. Jadi aku tidak punya kesempatan ya?” laki-laki itu terlihat murung.
“Sudah, sudah. Jangan sedih begitu. Ayo, kutraktir kau ayam bakar jumbo.”
“Kau dapat uang dari mana?”
“Ada deh.” Mereka berdua berjalan menuju ke tepian. “Luke,”
“Apa?”
“Tadi kau taruh di mana ya tangganya?”