Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Pelajaran Penjas di jam pertama digunakan Monita untuk meredam amarah. Sebagai pemanasan, mereka diminta memutari lapangan sekolah tiga kali. Di putaran pertama, Monita sengaja dekat-dekat dengan gerombolan di depan demi menghindari teman-temannya, termasuk Kana. Sejak tadi mereka berusaha mendamaikan suasana, memintanya untuk tidak terpancing dan asal tuduh.

"Mon, sorry banget gue nggak bisa temanin lo kemarin. Gue juga ngerti lo marah banget ke Delia. Tapi, lo jangan cuekin gue juga, dong."

Tanpa benar-benar memalingkan wajah dan masih mempertahankan laju kakinya, Monita melirik ke sebelahnya. Kana ternyata berhasil menyusul dan belum menyerah membujuknya.

"Habisnya lo ngebelain mereka," balas Monita dingin.

"Gue nggak bela siapa-siapa. Gue cuma saranin, lo dengar penjelasan mereka dulu. Dibicarain baik-baik, biar ketemu jalan keluarnya."

"Iya. Mon. Sekarang mending fokus nyelesain masalahnya dulu aja. Kita bisa cari tau bareng-bareng siapa yang nyebarin gosip itu." Fara yang ada di belakang mereka menambahkan.

Risma di sebelah Fara pun mengangguk setuju. "Benar kata Fara. Lebih baik kita fokus perbaiki masalahnya dulu."

Monita mencebik. "Lo aja kemarin nggak nyoba berhentiin mereka."

"Ya gue minta maaf kalo gue kesannya nggak belain lo. Tapi gue cuma nggak mau ikut campur aja."

"Teman lo juga, Si Bendahara OSIS itu. Bisa jadi dia yang nyebarin. Dia kan banyak kenalan senior."

Risma menggeleng cepat. "Bukan. Dia orangnya memang kepo kebangetan, tapi gue bisa jamin, dia nggak bakal main kotor gitu."

Jika bukan Bendahara OSIS, lantas siapa lagi? Monita berusaha mengingat-ingat. Di kafe kemarin, mereka duduk cukup jauh dari gerombolan anak kelas XII. Aneh sekali jika obrolan mereka terdengar jelas hingga ke deretan meja di dekat panggung. Belum lagi ada penampilan live music yang membuat suasana semakin ramai.

Monita yakin ada yang membocorkannya dengan sengaja. Kemungkinan besar orang yang ikut duduk di dekat mereka. Namun, tidak ada yang mencurigakan selain Delia, Priska dan Bendahara OSIS. Mereka yang paling ngotot ingin tahu. Anak-anak cowok pun saat itu malah punya obrolannya sendiri, seolah tidak sadar dengan topik kado itu. Aceng memang mengaku mendengar sedikit, tapi bisa jadi karena dia duduk paling dekat dengan meja mereka.

Peluit berbunyi sekali, menandakan satu putaran sudah terlewati. Monita menoleh ke arah Kana, Risma, dan Fara, mencoba mengira-ngira berapa kecepatan yang harus dia tambah untuk menjauh dari mereka. Namun, dia malah mendapati raut khawatir di wajah ketiganya, seolah tengah menghujaninya dengan belas kasih meski ditolak mentah-mentah.

Apa dia layak mendapat semua perhatian itu? Sementara kesulitan yang dia hadapi saat ini datang akibat omong kosong ciptaannya sendiri. Jika saja dia tidak memamerkan sesuatu yang belum dia miliki ....

Namun, menyalahkan diri sendiri malah membuat gemuruh di dadanya semakin menusuk.

Monita kembali bersiap-siap mempercepat kakinya. "Gue butuh sendiri dulu," katanya sebelum meninggalkan Kana, Risma, dan Fara. Seolah mengerti, ketiganya tidak lagi berusaha mengejar, memberikan Monita waktu untuk menenangkan diri.

Monita berlari secepat yang dia bisa. Sekitarnya mengabur, deru napasnya semakin kejar-kejaran. Meski begitu, kepalanya lebih berisik. Sangat mengusik.

Apakah dia mesti klarifikasi? Jika dia membantah, orang-orang pasti akan memintanya menjelaskan apa sebenarnya isi kado spesial itu. Apa yang harus disampaikan? Mengakhiri sandiwaranya dan meminta Dirga mengatasi segalanya?

"Ini kan baru pemanasan, mending simpan tenaga buat nanti."

Monita memelankan kakinya dan mendapati dirinya baru saja melewati Aceng.

Aceng tidak berkomentar apa pun saat Monita menyeimbangkan kecepatan. Dia juga tidak menyinggung tentang rumor pagi tadi. Namun, Monita bisa merasakan sekali-sekali Aceng menoleh ke arahnya, mungkin untuk memastikan seberapa murung wajahnya sekarang.

Daripada orang lain yang memulai, Monita memutuskan mengasihani diri sendiri. "Lo nggak mau ngetawain gue?" katanya sambil terus menatap lurus. Dia berharap Aceng tidak mengingat betapa mirisnya dia tadi pagi karena sempat terlampau optimis. Ternyata harapan yang dia coba raih di gerbang sekolah hanya sekadar numpang lewat.

"Kenapa gitu?" Aceng balik bertanya.

"Sekarang gue kayak lagi senjata makan tuan, gitu."

Aceng tampak diam sebentar sebelum membalas, "Salah gue juga, sih."

Alis Monita terangkat. Dia jelas tidak setuju. Dari semua Anak Raja, Aceng adalah orang terakhir yang dapat disalahkan. Malahan, Monita merasa beruntung Aceng tidak pernah menjauh meski Monita menyeretnya masuk ke arus penuh drama. Meski tidak aktif memberi bantuan langsung, setidaknya itu membuat Monita merasa tidak sendirian.

"Menurut lo ini bakalan lama, nggak?"

"Tergantung," jawab Aceng. "Kalau ada berita heboh lain yang muncul beberapa hari ke depan, mungkin bisa tenggelam."

Monita memikirkan berita apa yang dapat dia gunakan untuk mengalihkan isu. Namun, tidak ada ide yang muncul. Lagi pula, rasanya agak kejam mengorbankan orang lain demi menyelamatkan diri sendiri.

Di tengah lamunanya, peluit kembali berbunyi satu kali. Mereka sudah masuk ke putaran ketiga.

"Habis ini, kan kita mau shuttle run. Lo mau tips?" tanya Aceng tidak lama setelah mendengar nyala peluit.

Monita menaikkan kedua alisnya, teringat kembali akan arahan singkat guru penjas di awal bulan. Dalam sebulan ini, mereka menghadapi rangkaian tes sebagai penilaian untuk praktik akhir semester. Untuk hari ini, mereka akan lari bolak-balik. Jika tidak segera mengalihkan perhatiannya dan mulai fokus, Monita bisa-bisa mendapatkan hasil mengecewakan. Apalagi, dia tidak yakin lompatan kodok minggu lalu mendapat nilai yang bagus.

"Boleh, sih." Monita menyambut baik tawaran Aceng. "Tapi, kalo bisa tipsnya yang mudah dipahami. Jangan kayak minggu lalu."

Aceng meringis sebentar menunjukkan rasa penyesalannya, lalu tampak memikirkan saran yang pas untuk Monita. Tidak lama kemudian, dia berkata, "Waktu lo putar balik, jangan anggap lo lagi berhenti, tapi anggap itu awal buat lo mulai lari kembali."

"Lo lagi ngasih tips olahraga atau kutipan filsafat?" protes Monita.

"Coba bayangin dulu."

Monita mengikuti saran Aceng, dia mencoba membayangkan sedang berlari bolak-balik dari satu titik ke titik lain. Lalu dia mengingat tips dari Aceng dan mencoba membayangkan melakukan itu saat berhenti di satu titik. Meskipun tidak terlalu paham secara menyeluruh, sepertinya Monita bisa mendapatkan gambaran besarnya.

"Kayaknya gue paham," kata Monita.

Aceng menoleh ke arah Monita, seolah memastikan apakah dia benar-benar paham atau hanya tidak ingin berpikir susah-susah. Sementara itu, Monita masih menatap lurus ke depan sambil tersenyum, menyadari tips dari Aceng bukan sekadar masukan biasa.

"Nanti gue bakal jadi pelari cewek tercepat." Dengan sesumbar Monita mendeklarasikannya.

"Yakin?"

Monita mengangguk.

"Ya udah, karena putarannya udah mau habis, ayo kita uji bisa secepat apa lo sekarang."

Setelah mengatakan itu, Aceng segera mempercepat larinya. Monita kehilangan momen dalam sedetik, lalu segera menyusul sekuat mungkin. Di pandangannya, Aceng masih bergerak terlalu cepat. Mereka kini berada di semperempat putaran terakhir. Dia tertinggal cukup jauh. Semakin jauh jarak mereka, semakin ingin Monita mengejar. Meskipun rasanya tidak mungkin, nyatanya keinginan itu tidak surut sama sekali. Tidak masalah kalah atau menang, Monita hanya ingin berlari secepat mungkin. Dia ingin bergerak cepat tanpa memedulikan sekitar. Dan berharap sebaliknya.

Namun, sepertinya Monita gagal. Sebelum menyelesaikan putaran, matanya menangkap sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Di ujung koridor dekat ruang guru, Dirga dan Mauren terlihat sedang membicarakan sesuatu dengan serius. Monita mencoba mempertajam penglihatannya untuk memastikan apa mungkin dia hanya salah lihat, tapi itu malah membuatnya jadi tidak fokus dan berlari lurus. Alhasil kakinya terperosok ke dalam bak pasir tempat mereka lompat jauh minggu lalu. Dia tidak bisa melihat jelas siapa yang pertama kali menemukannya tersungkur menghantam timbunan pasir. Yang bisa dirasakan hanya dua hal: pergelangan kakinya terasa nyeri dan tercium jelas bau kotoran kucing.

🕶️

Setelah jatuh menyelam di bak pasir, Monita dilarikan ke UKS. Perawat yang memeriksa prihatin dengan pergelangan kakinya, tapi Monita lebih peduli dengan butiran-butiran pasir yang menempel di rambutnya.

"Coba dibawa jalan dulu," saran perawat ketika Monita meminta izin untuk kembali ke kelas. Jam istirahat baru saja berbunyi diikuti sayup-sayup orang lalu-lalang dari arah koridor.

Kondisi kaki kanannya sebenarnya tidak separah yang dikhawatirkan. Hanya terkilir ringan tanpa memar atau luka serius. Bahkan semakin membaik setelah dikompres air dingin sepanjang jam pelajaran olahraga.

Tadinya perawat menyarankannya pulang. Monita juga sempat mempertimbangkan hal itu karena situasinya menguntungkan. Mengingat rumor tentangnya dan Dirga yang sedang berputar di Raya Jaya, akan lebih baik jika dia bisa bolos barang sehari. Namun, jika dipikir-pikir lagi, dia malah akan kehilangan waktu untuk memastikan banyak hal. Siapa yang menyebar rumor itu? Ada hubungan apa antara Mauren dan Dirga? Dan kenapa sampai sekarang Dirga tidak mengambil tindakan?

Jadi, untuk meyakinkan perawat bahwa dia bisa mengikuti pelajaran dengan normal, Monita mencoba berjalan melewati dua ranjang UKS. Meski kecepatannya tidak maksimal, dia berhasil melewatinya tanpa memerlukan bantuan pegangan.

Perawat UKS mengangguk puas dan menuliskan sesuatu di buku besarnya dengan cekatan. "Ingat, ya, di kelas, jangan terlalu dipaksa jalan banyak dulu. Kalau ada apa-apa, langsung balik ke sini. Nanti malam, tetap kompres pakai air dingin. Terus, kalau nyerinya makin bertambah, atau ada bengkak, langsung ke rumah sakit."

Supaya tidak semakin panjang, Monita segera mengangguk dan pamit meninggalkan UKS. Baru saja melewati pintu, dia mendapati Aceng yang masih mengenakan seragam olahraga sedang bersandar di dinding sambil menggulir-gulir layar ponsel. Satu telinganya dipasangi earphone.

Begitu menyadari kedatangan Monita, Aceng mencopot earphone itu dan memasukkannya ke saku celana, kemudian mengamati cara Monita berdiri.

"Balik ke kelas atau pulang?"

"Balik ke kelas," jawab Monita sambil terus berjalan.

Mereka bergerak dengan pelan tanpa banyak bicara. Karena UKS letaknya berdekatan dengan area kelas XII, tidak heran beberapa senior yang lalu lalang di koridor melirik usil ke arah mereka. Namun, keduanya tidak berusaha mempercepat langkah. Bahkan Monita semakin memasang telinganya, barangkali ada hal menarik yang bisa dia dapat. Sekilas, dia bisa menangkap "yang itu orangnya" dan "tapi kok bareng cowok lain".

"Lo marahan sama Kana?" Akhirnya Aceng angkat suara begitu mereka berbelok ke area kelas XI.

"Kenapa lo bisa mikir gitu?"

"Kana minta gue ngecekin lo tadi. Padahal dia sendiri yang anggota DR."

Monita menunduk, tidak mau menanggapi, atau sebenarnya tidak tahu bagaimana menerjemahkan perasaannya saat ini. Ada sedih, kecewa, putus asa, dan—yang paling parah—rasa bersalah pada diri sendiri, yang berputar-putar dan terus merangsek dalam pikirannya.

"Maaf ya, harusnya pas pemanasan tadi gue nggak ajak lo lomba lari," kata Aceng lagi.

"Bukan. Gue jatuh bukan karena buru-buru." Monita cepat-cepat membantah. Merasa bersalah atas diri sendiri saja sudah bikin dia sesak, apalagi sekarang ditambah dengan raut penyesalan Aceng.

"Gue lihat Dirga sama Mauren," jelasnya kemudian.

Aceng sempat menoleh ingin tahu, tapi tidak lanjut bertanya.

"Mereka kayak lagi ngobrol gitu, kelihatannya akrab," sambung Monita.

"Cemburu?"

Kening Monita berkerut. Apa benar dia cemburu? Terakhir kali dia iri dengan seseorang adalah saat Delia memamerkan kado ulang tahun dari Dirga, seperti anak kecil yang menginginkan permen yang sama dengan temannya. Namun, kali ini apa yang mesti dicemburui? Apa karena Dirga dekat-dekat dengan cewek lain? Monita menggeleng cepat. Siapa pula dirinya merasa berhak merasakan itu?

"Atau curiga?" Aceng menambahkan.

Monita melepas napas panjang dan mengangkat bahu. "Mungkin lebih ke penasaran."

Saat ini mereka tinggal melewati dua kelas. Dari kejauhan, Monita bisa melihat beberapa orang berkumpul di depan kelasnya. Sama seperti pagi tadi, ada Kana, Delia, Priska, Risma, Fara, dan Jhoni. Sayangnya, tidak ada Dirga di antara wajah-wajah khawatir itu.

Begitu tiba, Jhoni langsung menyambutnya dengan guyonan, "Mon, Mon, kok bisa lah nyungsep gitu. Apa lo terlalu dehidrasi?"

Risma menyenggol bahu Jhoni penuh peringatan.

Sementara itu, Kana mendekat dan memeriksa kakinya sekilas. "Lo nggak papa kan?"

Monita jadi merasa diperlakukan seperti pasien yang baru kembali dari rawat inap. Hatinya sedikit luluh. Benar kata Fara, daripada menyalahkan semua orang, lebih baik dia fokus menyelesaikan masalahnya.

"Udah, nggak usah lebay gitu. Ini udah baikan, kok. Paling jalannya nggak bisa cepat-cepat," kata Monita sambil menggerak-gerakkan kakinya tanpa kesakitan, membuat teman-temannya tersenyum lega.

"Ya udah, Moni istirahat dulu aja di kelas. Jangan banyak-banyak berdiri dulu. Kalau butuh makan, minum, bilang aja, biar kita yang beli." Jhoni mulai mengaktifkan mode ketua kelasnya.

Monita berdecak. "Ya elah, kaki gue masih bisa dipake, kali. Yuk, lah, kalian pasti lapar kan habis olahraga tadi." Dia berbalik ingin mengarah ke kantin, tetapi Delia mencegahnya.

"Kayaknya nggak usah dulu deh, Mon. Soalnya kan ...."

Sejak tadi Monita berusaha mengabaikan kehadiran Delia dan Priska. Meski berusaha ikhlas atas kejadian yang menimpanya, tetap saja dia masih enggan beramah-tamah.

"Oh, ya?" Monita tidak benar-benar bertanya, hanya sekadar menyindir. Dia tahu maksud Delia. Sebelumnya, ada dua anak kelas X yang melintas di depan mereka. Meski dua orang itu jalan dengan sedikit menunduk, dia bisa merasakan lirikan yang sama yang diterimanya saat keluar dari UKS. Ini baru di koridor kelas, entah berapa banyak lirikan aneh yang akan dia dapatkan di kantin.

"Okay, gue ngaku salah dan nggak akan kasih excuse apa pun." Delia memulai pengakuannya. "Gue nggak maksud untuk bikin heboh gini."

Priska mengangguk dengan tampang menyesal. "Iya, Mon. Kita bakal berusaha cari tau siapa pelakunya. Tadi pagi Delia udah posting di IGS buat ngelurusin ke orang-orang kalo semua itu cuma gosip."

Monita pun segera memeriksa ponselnya. Benar, Delia memosting pernyataan di Instagram Story yang isinya kurang lebih menegaskan kalau Monita hanya pergi liburan jika sahabat-sahabatnya juga ikut, dicampur sedikit ancaman dengan membawa-bawa pasal pencemaran nama baik. Mungkin terdengar berlebihan, tapi berhubung ayah Delia adalah pengacara ternama, ancaman itu tidak bisa disepelekan di mata Anak Raja. Meski begitu, Monita tetap saja gelisah. Kenapa harus Delia yang jadi pahlawannya? Dan ke mana Dirga?

🕶️

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tsurune: Kazemai Koukou Kyuudoubu - Masaki dan Misaki dan Luka Masa Lalu-
3726      1214     1     
Fan Fiction
Klub Kyudo Kazemai kembali mengadakan camp pelatihan. Dan lagi-lagi anggota putra kembali menjadi 'Budak' dalam camp kali ini. Yang menjadi masalah adalah apa yang akan dilakukan kakak Masaki, Ren, yang ingin meliput mereka selama 3 hari kedepan. Setelah menjadi juara dalam kompetisi, tentu saja Klub Kyudo Kazemai banyak menjadi sorotan. Dan tanpa diketahui oleh Masaki, Ren ternyata mengundang...
That Devil, I Love
3828      1500     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Surat Terakhir untuk Kapten
618      446     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Laci Meja
501      338     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
KASTARA
474      373     0     
Fantasy
Dunia ini tidak hanya diisi oleh makhluk hidup normal seperti yang kita ketahui pada umumnya Ada banyak kehidupan lain yang di luar logika manusia Salah satunya adalah para Orbs, sebutan bagi mereka yang memiliki energi lebih dan luar biasa Tara hanya ingin bisa hidup bebas menggunkan Elemental Energy yang dia miliki dan mengasahnya menjadi lebih kuat dengan masuk ke dunia Neverbefore dan...
Manuskrip Tanda Tanya
5758      1734     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
LOVE IN COMA
570      413     7     
Short Story
Cerita ini mengisahkan cinta yang tumbuh tanpa mengetahui asal usul siapa pasangannya namun dengan kesungguhan didalam hatinya cinta itu tumbuh begitu indah walaupun banyak liku yang datang pada akhirnya mereka akan bersatu kembali walau waktu belum menentukan takdir pertemuan mereka kembali
Jalan Tuhan
549      388     3     
Short Story
Percayalah kalau Tuhan selalu memberi jalan terbaik untuk kita jejaki. Aku Fiona Darmawan, biasa dipanggil fia, mahasiswi kedokteran di salah satu universitas terkemuka. Dan dia, lelaki tampan dengan tubuh tinggi dan atletis adalah Ray, pacar yang terkadang menjengkelkan, dia selalu menyuruhku untuk menonton dirinya bermain futsal padahal dia tahu, aku sangat tidak suka menonton sepak bola ata...
The Boy
1896      739     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.