Loading...
Logo TinLit
Read Story - Darah Dibalas Dara
MENU
About Us  

Aku tertegun melihat meja makan yang begitu penuh dengan berbagai macam masakan. Ada semangkuk capcay kesukaanku, ada sepiring ayam goreng yang bertumpuk-tumpuk, dan juga ada nasi uduk yang wanginya sudah tercium. Bahkan ada es campur dengan banyak macam buah di dalamnya.

“Selamat datang kembali, Dara. Hari ini Ibu masak banyak makanan yang bisa kamu makan sepuasnya,” ucap Ibu menyambutku.

Mataku berkaca-kaca melihat Ibu yang bahagia menyambutku. Aku tahu betul menyiapkan semua masakan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi Ibu sama sekali terlihat tidak kecapekan.

“Ibu udah kayak punya hajatan aja, deh.”

Ibu tertawa. “Kapan lagi, kan, ya? Anggap aja ini syukuran karena putri Ibu udah berusaha keras untuk tetap hidup.”

“Makasih Ibu. Dara akan habisin semuanya.”

Mendengar ucapanku membuat Ibu menjadi semangat. Beliau segera menarik kursi untuk aku duduk. Kemudian beliau mengambilkan makanan untukku. “Ini kamu boleh makan ayamnya lebih dari satu. Semuanya juga boleh, Dara,” kata Ibu saat menaruh sepotong ayam ke piringku.

“Ibu juga makan bareng sama Dara.”

Ibu tersenyum, lalu duduk di seberangku untuk makan siang bersama.

Sudah lama aku tidak makan masakan Ibu. Selama di rumah sakit, masakannya begitu hambar. Aku terpaksa memakannya hingga habis agar bisa segera pulang.

Kini, aku bisa makan masakan Ibu sepuasnya. Air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh juga saat aku memakan masakan Ibu. Bukan hanya karena rasanya enak, tetapi aku juga merasakan seberapa banyak kasih sayang yang Ibu curahkan lewat masakan ini. Aku jadi merasa emosinal. Selama ini aku hanya terpaku pada kehilangan kasih sayang dari Bapak sampai lupa akan kasih sayang yang Ibu berikan.

Semenjak menjadi tulang punggung keluarga, Ibu terus bekerja keras untuk menghidupiku dan Mas. Beliau selalu bangun pagi-pagi belanja ke pasar untuk membeli sayur sekaligus mempromosikan jasa laundry milik Tante Ayu agar lebih dikenal masyarakat. Usahanya itu sesekali membuahkan hasil. Banyak orang yang datang hingga menjadi pelanggan tetap. Laundry milik Tante Ayu pun ramai hingga sering membuat Ibu lembur, tidak pulang untuk memasakkan makan siang. Bahkan, kadang Ibu pulang saat aku dan Mas Yanto sudah tertidur lelap. Namun setelah Mas dipenjara, Ibu tidak lagi bekerja dengan Tante Ayu melainkan lebih memilih menjadi pembantu harian. Dulu, aku pikir Ibu memilih jalan tersebut karena malu akan kejahatan putranya. Tapi ternyata Ibu tidak ingin kejadian Mas Yanto terulang padaku.

Ibu menyadari bahwa perubahan yang terjadi pada Mas, dari yang kutu buku hingga terjerumus pergaulan bebas dikarenakan kurangnya perhatian dan kasih sayang. Ibu terlalu sibuk menjadi tulang punggung keluarga agar aku dan Mas selalu bisa makan-makan enak hingga beliau lupa bahwa kami juga perlu pelukan.

Pelukan kecil seperti saat malam-malam Ibu naik ke ranjangku setelah siang hari memarahiku atau saat beliau masuk ke kamar Mas Yanto sambil membawa sepiring buah.

Kini, Ibu telah berubah. Ibu tidak hanya menjadi tulang punggung keluarga, tetapi juga menjadi malaikat untukku dan untuk Mas Yanto.

“Se-enak itukah masakan Ibu sampai kamu nangis?”

Tangisku makin kencang mendapat pertanyaan itu dari Ibu. Aku pun mengangguk sambil memberikan senyum yang sudah lama tidak pernah aku berikan untuk Ibu.

“Jangan capek buat masakin Dara ya, Bu. Dara enggak akan lagi muntahin masakan Ibu. Janji,” kataku sambil mengacungkan jari kelingking.

Ibu yang duduk di seberangku ikut menitihkan air mata sambil tersenyum. Kemudian beliau melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. Hari ini kami telah berjanji untuk saling menyayangi, seperti dulu.

* * *

Selepas keluar dari Rumah Sakit Jiwa, aku menjalani hari-hariku sebagai job seekers. Setiap hari aku selalu mengecek lowongan pekerjaan di media sosial yang beberapa kali mendapat panggilan interview. Namun, tidak kunjung ada yang memanggilku untuk mulai bekerja.

Sebulan lebih aku nikmati waktuku sebagai pengangguran hingga di bulan kedua akhirnya aku mendapat panggilan kerja. Ibu senang sekali saat aku beri kabar bahagia itu, katanya, “Akhire kamu enggak jadi gumbal amoh maneh, Ra.”

Aku juga senang sekali akhirnya bisa melakukan kegiatan baru, tidah hanya tidur di kasur seperti gombal amoh kata Ibu. Kali ini aku tidak lagi menjadi waiters, melainkan sebagai pet groomers. Ternyata pekerjaan ini cocok sekali untukku meskipun setiap hari selalu mendapat cakaran dari klien—tanda terima kasih karena aku telah membersihkan mereka.

Pagi ini, aku sedikit terlambat karena semalam bergadang membaca novel. Ini bukan kali pertama, jadi aku sudah sangat-sangat siap dengan segala konsekuensi yang ada. Tapi kalau bisa, sih, jangan sampai dipecat.

Suara lonceng klinik berbunyi kala aku mendorong pintunya. Mbak Selvi, resepsionis klinik ini langsung menoleh ke arahku. Dipergoki seperti ini hanya bisa membuatku menyengir sambil perlahan masuk ke dalam persis seperti anak sekolah yang terlambat.

“Telat lagi, Ra?”

Aku hanya tersenyum hingga memperlihatkan gigiku sambil menutup pintu. Mbak Selvi yang memergokiku mencoba diam-diam masuk hanya menggeleng-gelangkan kepalanya.

“Mbak Dara?”

Mataku melotot saat customer yang tadi tengah berbincang dengan Mbak Selvi menoleh dan memanggilku. Bukan karena dia tahu namaku, tetapi karena orang itu adalah Nando.

“Nando?”

“Mbak Dara ngapain di sini?”

“Aku kerja di sini?”

“Oh, ya? Sejak kapan?”

“Udah hampir lima bulanan ini. Kamu sendiri ngapain ke sini?”

“Kaki Dodo luka. Udah beberapa hari ini dia enggak bisa terbang.”

Mendengar nama Dodo membuat jantungku berdetak cepat. Pandanganku pun beralih pada Dodo yang berada dalam kandang burung di samping kaki Nando. Dia terlihat diam seperti sedang tidur. Aku pun melangkah mendekat untuk berjongkok melihat Dodo lebih dekat.

Saat aku memasukkan jariku dan menyentuh kepalanya yang menunduk, Dodo terbangun. Dia mendongakkan kepalanya dan melihatku. Detik berikutnya saat aku mencoba mengeluarkan jariku, Dodo malah mendekatkan kepalanya seolah memintaku untuk mengusap-usap kepalanya seperti dahulu saat dia makan dengan lahap. Melihat Dodo membuatku jadi merasa emosional. Ternyata aku begitu merindukan Dodo.

* * *

Pertemuanku dengan Nando hari itu membuat kami menjadi dekat. Nando selalu menghubungiku untuk menanyakan mengenai keadaan Dodo. Sudah semingguan Dodo dirawat di klinik. Setiap harinya Dodo terlihat makin membaik. Bahkan siang tadi Dodo sudah bisa terbang saat aku memancingnya dengan segenggam jagung—makanan favoritnya.

“Makasih ya, Ra, udah rawat Dodo,” kata Nando setelah aku turun dari boncengannya.

“Sama-sama. Aku juga makasih udah dianterin sampe rumah dan makasih juga udah rawat Dodo selama ini. Aku kira dia udah mati.”

“Dodo makannya banyak, Ra. Makanya enggak mati-mati.”

Aku tertawa mendengar ucapan Nando. Sejak dulu Dodo memang banyak sekali makannya. Mungkin karena itu dulu dia jago sekali terbang.

“Kamu enggak mau coba rawat Dodo lagi, Ra?”

Kepalaku menggeleng sambil tersenyum melihat Dodo yang berada di boncengan Nando. “Dodo bukan punyaku lagi. Papa kamu udah beli Dodo. Mahal loh itu,” jawabku bercanda. Untungnya Nando menanggapi candaanku dengan tawaan.

“Iya juga. Kalau aku jual lagi masih laku nggak, ya?”

“Laku. Kandangnya.”

Kami berdua tertawa di saat Dodo merasa dilecehkan dan tidak bisa berbuat apa-apa di dalam kandang.

Nando pun berpamitan pulang saat candaan tadi sudah tidak lucu lagi dan sudah tidak ada topik pembicaraan lain.

Setelah kepergian Nando, anak-anak Karang Taruna yang dahulu pernah mendatangiku kembali datang. Pemuda dengan tubuh tinggi kurus tersenyum sambil melambaikan tangan padaku.

“Halo, Mbak Dara. Apa kabar? Masih inget aku, nggak?” tanyanya.

Aku tersenyun kecil. “Baik. Masih kok.”

Pemuda itu melotot.

“Reno si angka satu,” kataku menunjuk Reno membuat pemuda itu sumringah.

“Kalau ini Ahmad yang dulu angka nol, Mbak. Tapi karena dia rajin nge-gym, makanya perutnya udah enggak buncit,” katanya mengusap-usap perut Ahmad yang sudah tidak buncit seperti setahun lalu.

Mereka semua tertawa mendengar candaan Reno. Namun tawa mereka tidak lama mereda saat aku ikut tertawa bersama. Mereka semua melihatiku heran.

“Berarti sekarang jadi angka sebelas, ya?” tanyaku disusul tawa. Namun sepertinya candaanku cukup mengejutkan mereka sehingga tidak ada yang meresponsnya.

Aku pun menghentikan tawaku sambil menutupi mulutku karena malu. “Maaf garing. Iya, aku mau ikut. Kapan mulai persiapannya?”

Pertanyaanku membuat mata mereka melotot. Jika dulu mereka yang mengejutkanku karena datang tiba-tiba, sepertinya sekarang aku yang telah mengejutkan ekspektasi mereka. Saking terkejutnya mereka hanya saling tukar pandang ke kanan kiri

“Mbak Dara beneran mau gabung kartar?” tanya Vania yang akhirnya berani buka suara.

Aku mengangguk yakin membuat Vania tersenyum bahagia. Gadis itu pun mengulurkan brosur kepadaku. Dia menjelaskan beberapa kegiatan yang akan mereka adakan mulai dari lomba hingga jalan sehat.

“Sabtu besok kami udah mulai persiapan, sih, Mbak. Mbak Dara bisa datang?”

“Bisa. Nanti tolong bantu aku, ya.”

“Pasti, Mbak.”

Mereka pun berpamitan pergi setelah mendapat jawaban dariku. Begitu pun dengan aku yang segera masuk. Namun lagi-lagi aku mendengar mereka bergosip.

“Mbak Dara kesambet apaan mau gabung sama kita?”

“Eh, tapi Mbak Dara kelihatan cantik nggak sih, kalau senyum kayak tadi?”

Hooh. Mana lesung pipinya ada dua lagi.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar gosipan mereka yang lucu. Perubahanku sepertinya sudah mengejutkan banyak orang.

* * *

Tiga bulan setelah acara tujuh belasan digelar, aku dan Vania menjadi semakin dekat. Selama aku bergabung dalam kepanitiaan Karang Taruna, Vania banyak membantu dan mengajakku mengobrol. Mengejutkannya ternyata kami memiliki hobi yang sama, yaitu membaca novel. Mata Vania berbinar saat aku beritahu bahwa aku punya banyak novel. Dia terus bertanya apakah boleh bermain ke kontrakan yang pada akhirnya aku perbolehkan. Sejak saat itu, Vania sering bermain ke kontrakan untuk meminjam novelku yang sesekali dia jadi menginap hingga pagi hari.

Selama dia menginap di kontrakan, kami jadi sering bertukar cerita hingga ke ranah yang cukup privasi. Aku cukup terkejut saat mendengar ceritanya. Gadis ceria seperti Vania ternyata juga punya luka.

Vania bercerita jika ingin sekali menjadi dokter sehingga rajin belajar setiap harinya.  Sudah banyak perlombaan yang dia menangkan dan selalu menjadi peringkat satu di sekolah. Tidak hanya aktif dalam bidang akademi, Vania juga aktif di bidang non akademik. Dia pernah menjabat sebagai ketua OSIS semasa SMA. Keaktifan dan kepintarannya itu ternyata tidak juga membuat dia diterima di kampus impiannya. Hal tersebut membuat Vania menjadi insecure melihat teman-temannya yang berkuliah. Katanya dunia begitu tidak adil.

“Malu rasanya, Mbak. Aku yang selalu peringkat satu malah gagal.”

“Gagal bukan berarti enggak selamanya akan gagal terus. Sama kayak kita saat pertama kali belajar jalan. Emangnya langsung berhasil di langkah pertama? Pasti banyak jatuhnya hingga kita bisa berhambur ke pelukan Ibu.”

Vania menangis hebat mendengar responsku. Dia memelukku. Sambil terisak-isak dia berkata, “Makasih ya, Mbak Dara. Harusnya dulu Mama sama Papa bikin kakak perempuan dulu buat aku biar aku bisa curhat kayak gini.”

“Sama-sama, adikku.”

Kami berdua pun menjadi adik kakak. Sebagai kakak, aku banyak merawatnya. Salah satunya dengan menemaninya belajar untuk persiapan tes tahun depan. Seperti saat ini, aku bersama Nando menemuinya di kafe. Seharusnya kami berjanji bertemu jam empat sore, tetapi aku terlambah satu jam lebi karena lembur. Gadis itu pasti akan mengomeliku.

“Nanti kalau Vania ngomel kamu tolongin aku, ya, Ndo?”

“Nggak mau. Aku juga takut sama Vania.”

Aku berdecak. Aku kira dengan mengajak Nando, dia bisa menjadi tamengku, tapi ternyata sama saja. Kehadirannya sepertinya tidak begitu berguna.

Kedatanganku dan Nando disambut tatapan tajam Vania. Aku pun jadi kikuk. Perlahan aku menarik kursi di hadapannya untuk duduk. Kemudian aku menyatukan tangan dan memohon maaf kepadanya. Namun, Vania terlihat begitu marah. Dia terus menatap tajam kepadaku sambil menghapus coretan di bukunya hingga kertasnya robek. Melihat itu aku hanya bisa meneguk air ludah.

Nando yang duduk di sebelahku berbisik, “Hati-hati diseruduk.”

Aku yang merasa bersalah hanya bisa garuk-garuk kepala. Aku benar-benar sudah berserah diri kepada Tuhan akan semua konsekuensi yang ada.

“Eh, itu foto siapa, Mbak?”

Tiba-tiba saja raut wajah Vania berubah. Dia mendekatkan badannya ke meja sambil menunjuk sebuah gantungan kunci yang menggantung di resleting ranselku.

Hari ini aku memakai ransel lama yang dulu aku gunakan saat masih kerja sebagai waiters karena ransel baruku belum kering. Tadi pagi aku begitu buru-buru sampai tidak sadar bahwa gantungan kunci couple yang pernah aku bikin masih tergantung. Sekarang, aku harus menjawab rasa penasaran Vania juga Nando yang ikut melihat gantungan kunciku sambil bertanya, “Itu siapa, Ra?”

“Itu teman aku dulu.”

“Temen mana yang sampe ciuman?” celetuk Vania membuatku jadi meneguk ludah.

Jujur saja aku sedikit malu saat foto Zaki mencium pipiku ketahuan oleh Vania dan Nando.

“Bukan ciuman, tapi dicium,” koreksiku.

“Sama aja. Paling habis pose ini juga kalian ciuman.”

Hoax!”

“Oh, itu teman kamu yang jago nyanyi itu, ya?” tanya Nando sambil menjauhkan badannya dari melihat gantungan kunci di ranselku.

“Sudah. Ayo kita mulai belajar, Van. Hari ini Nando bilang mau ajari kita,” kataku menghentikan pembahasan mengenai gantungan kunci dengan mengeluarkan buku-buku tebal persiapan UTBK tahun depan.

Iya. Sama seperti Vania, aku juga mencoba untuk kembali bangkit meraih cita-citaku, yaitu menjadi dokter hewan.

“Lah, kapan aku bilang gitu?”

Vania sudah tidak marah lagi, dia berpindah duduk ke seberang Nando. Disodorkannya buku tebal miliknya ke hadapan Nando. “Materi ini aja kok, Mas Nando,” rayu Vania sambil menunjuk isi buku tersebut.

“Kapan hari juga bilang gitu,” kata Nando, lalu membuang muka.

“Aku sama Vania bakal traktir makan,” celetukku yang berhasil mendapat pelototan dari Vania. Namun gadis itu pasrah saat aku balik pelototi sambil tersenyum sinis.

Sejak itu, Nando menambah profesi menjadi guru les privat untukku dan Vania. Tentunya tidak gratis. Aku dan Vania harus mentraktirnya. Namun jika kami kehabisan uang, kami akan membawa Nando ke kontrakan untuk makan masakan Ibu. Untungnya cowok itu nrimo ing pandum kalau kata orang Jawa.

* * *

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Butuh Jera
1265      823     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
Alzaki
2126      875     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...
Thantophobia
1392      788     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
13846      2814     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Dosa Pelangi
638      377     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
SATU FRASA
15576      3294     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Give Up? No!
470      321     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Rain Murder
2540      668     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
Mengejar Cinta Amanda
2076      1158     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Unexpectedly Survived
91      80     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...