Hari ini aku bangun pagi karena sudah tidak sabar pulang bersama Ibu. Aku bahkan sudah mengemasi barang-barangku. Aku juga sudah berpamitan pada semua perawat yang aku temui, sekaligus meminta maaf atas aksi pemberontakanku yang pasti membuat mereka kelelahan selama ini. Mereka semua menerima permintaan maafku, bahkan menyemangatiku untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Setelah itu perawat menyuruhku untuk pergi ke aula karena acara perpisahan kepada para perawat magang akan segera dimulai.
Di aula, aku duduk bersebelahan dengan pasien yang selalu mencoba mendekatiku untuk memberikan permen. Sebenarnya aku tidak ingin duduk di sebelahnya. Namun, dia telah bernegosiasi dengan pasien lain yang terlebih dahulu duduk di sampingku dengan segenggam permen.
“Permen buat kamu. Kali ini rasa stroberi. Kamu suka stroberi, kan?”
Akan gawat jika aku menolaknya. Dia pasti akan kembali memukulku, lalu mengadukanku kepada perawat. Itu akan membuat kegaduhan, sementara sebentar lagi acara akan segera dimulai. Maka aku terima saja pemberiannya. “Terima kasih.”
Dia tersenyum lebar. “Sama-sama.”
Acara perpisahan pun dimulai. Satu persatu perawat magang mengucapkan kalimat perpisahan, tidak terkecuali Nando. Cowok itu menyampaikan kalimat perpisahan yang menghibur para pasien sehingga gelak tawa terdengar. Dia bilang dia begitu nyaman di tempat ini, “Tempat praktik pertama yang aku datangi ini begitu berkesan. Aku bertemu dengan orang-orang hebat seperti kalian semua. Seperti Mbak Leni yang selalu memberiku permen sebagai afirmasi atas kerja kerasku setiap hari. Seperti Mbak Ayu yang selalu mengajakku berjemur setiap pagi agar tubuh selalu bugar. Seperti Mbak Dara yang selalu mengajakku bercerita sehingga merasa seperti sedang berada di rumah.
Di masa depan aku ingin kembali bekerja di sini dan aku harap tidak bertemu kalian lagi di tempat ini. Ada banyak tempat menyenangkan di luar untuk kita bertemu. Sampai jumpa lagi semuanya.”
Acara perpisahan telah selesai. Semua pasien berhambur berpelukan dengan perawat-perawat favorit mereka. Begitu juga aku yang segera bangkit dari duduk untuk mencari keberadaan Nando. Dia terlihat sedang berbincang-bincang dengan dokter dan perawat lain sehingga aku memilih menunggunya.
Sembari aku menunggu Nando, pasien yang suka memberiku permen yang baru aku ketahui namanya adalah Leni terus mengajakku berbincang. Dia menanyakan banyak hal mulai dari pekerjaan, keluarga, hobi, hingga mengapa aku bisa berada di sini. Leni terlalu banyak bertanya hingga membuatku kehilangan jejak Nando. Cowok itu secepat kilat telah hilang dari pandanganku.
Segera aku kembali bangkit untuk melihat ke sekeliling aula yang masih ramai. Barulah aku melihat Nando yang baru saja keluar dari aula. Aku pun membuntutinya. Namun langkahku berhenti saat melihat Nando menemui Ibu di taman. Mereka terlihat begitu akrab seperti sudah lama kenal. Pembicaraan mereka juga terdengar serius sehingga aku tidak berani menampakkan diri dan lebih memilih bersembunyi di balik tembok.
“Nak Nando terima kasih banyak sudah bantu rawat Dara. Kalau enggak ada Nak Nando, Tante pasti khawatir.”
“Sama-sama Tante. Nando juga enggak banyak berbuat apa-apa. Dara mulai membaik karena dia memang ada keinginan untuk pulih.”
“Mama kamu gimana kabarnya?”
“Mama sekarang lebih ceria Tante. Warung pecelnya juga makin rame setelah pindah tempat.”
“Bagus dong. Tante jadi seneng dengernya.”
“Mas Yanto sendiri bagaimana kabarnya Tante?”
“Ya, gitu. Buruk. Dia sering mimpiin Papa kamu. Dia masih merasa bersalah dan memang seharusnya begitu.”
“Itu sudah hampir tiga tahun yang lalu, Tante. Aku dan Mama juga sudah mengikhlaskan kepergian Papa.”
Pembicaraan Ibu dan Nando membuat keningku mengerut.
Aku pun baru teringat cerita Nando kemarin tentang papanya yang meninggal karena dibunuh oleh penjual merpati. Kini, aku jadi teringat Mas Yanto yang pernah menjadi penjual merpati hingga membunuh pembelinya. Dua fakta itu semakin kuat memiliki satu kesinambungan setelah melihat kedekatan Ibu dan Nando, juga fakta bahwa kejadian itu sudah terjadi hampir tiga tahun lalu.
“Mbak Dara pertanyaanku belum dijawab.”
Suara kencang Leni membuat persembunyianku diketahui Ibu dan Nando. Akhirnya aku pun duduk bersampingan dengan Nando di kursi taman tempat tadi Nando berbincang dengan Ibu.
“Jadi, yang dibunuh Mas aku itu Papa kamu?”
Nando mengangguk sambil tersenyum. “Mbak Dara jangan merasa bersalah.”
“Aku hanya bingung. Kenapa dunia sesempit ini? Aku bertemu dengan anak dari pembunuh Bapak dan aku bertemu dengan anak korban pembunuhan Mas. Menurut kamu kenapa ini bisa terjadi? Takdir atau hanya kebetulan?”
“Takdir.”
“Kenapa takdir mempertemukan kita?”
“Karena Tuhan menghendakinya. Kejadian itu sudah hampir tiga tahun yang lalu. Aku sudah mengikhlaskannya. Jadi Mbak Dara jangan merasa bersalah.”
“Maafin Mas Yanto. Dia sebenarnya orang baik.”
“Aku percaya itu. Setiap manusia pasti memiliki sifat baik begitu pun buruknya, Mbak Dara.”
“Gimana caranya biar aku bisa ikhlas seperti kamu, Nando?”
“Jangan salahin diri kita sendiri. Jangan terpaku dengan masa lalu. Lepasin ikatannya biar Mbak Dara bisa bernapas lagi.”
Jawaban Nando membuatku akhirnya tersadar. Selama ini aku selalu menyalahkan diriku sendiri yang tidak berdaya. Kematian Bapak yang bermula karena permintaanku pergi ke THR, juga pembunuhan yang dilakukan Mas Yanto karena aku tidak pernah lagi memedulikannya.
Mungkin hidupku memang telah berjalan sepuluh tahun semenjak kepergian Bapak, tetapi selama itu juga aku terus membawa trauma itu di setiap tarikan napasku. Pada akhirnya aku tidak bisa bernapas seperti saat ini. Rasanya sesak. Semuanya terasa hampa, tetapi juga menyakitkan.
Aku telah muak dengan ikatan trauma masa lalu yang hampir membunuhku. Sekarang aku ingin hidup bebas.
“Kemarin kamu minta Ibu jemput. Sekarang dijemput enggak mau pulang?”
“Dara belum sembuh, Bu. Dokter juga belum bilang Dara boleh pulang.”
“Jadi, kamu masih mau di sini?”
Kepalaku mengangguk lemah. Air mata yang sejak tadi menggenang menatap Ibu yang berada di hadapanku akhirnya tumpah juga. Ibu segera memelukku sambil mengusap-usap punggungku yang bergetar.
“Maafin Dara sudah repotin Ibu. Sebentar lagi Dara akan sembuh. Nanti kita hidup bahagia ya, Bu.”
“Maafin Ibu yang tidak peka selama ini, Dara. Ibu akan tunggu kamu sembuh. Ibu rindu makan berdua sama kamu.”
* * *
Hari ke-20 aku tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Sudah tidak ada Nando yang menemani dan menjawab semua pertanyaanku. Namun, aku tidak sendirian. Ada Leni yang kini selalu menemaniku. Gadis yang ternyata sepantar denganku itu ternyata juga memiliki luka yang dalam. Dia sudah enam bulan berada di sini. Namun, tingkahnya masih saja sama.
Sesuai cerita yang aku dengar, Leni berakhir di tempat ini karena tidak lolos dalam seleksi masuk di Perguruan Tinggi impiannya. Gadis itu bercita-cita menjadi perawat, tetapi malah berakhir dirawat. Penolakan itu membuat Leni trauma, pasalnya dia tidak pernah berhenti belajar setiap harinya. Leni merasa semua usaha yang telah dia lakukan sia-sia, yang mana membuatnya terus menyalahkan diri sendiri. Kadang jika sedang kambuh, dia terus berucap, “Harusnya aku berusaha lebih keras lagi.”, “Harusnya aku tidak tidur biar jam belajarku lebih panjang.”, dan banyak kalimat yang seharusnya tidak dia ucapkan.
Pernah aku bertanya padanya, mengapa dia suka sekali memberi permen kepada semua orang. Leni menjawab, “Dulu, setiap kali aku salah mengerjakan soal, satu nomor dibayar dengan satu permen. Bukan permen rasa buah, tetapi permen kopi. Kata Mama dan Papa, itu bisa bantu aku biar enggak ngantuk, biar bisa belajar, dan biar bisa jadi perawat. Padahal mereka tahu, aku enggak suka permen kopi. Aku sukanya permen buah.”
Jawaban Leni membuatku menarik kesimpulan jika dia juga ingin membagikan kebahagiaannya sekarang karena telah bisa memakan permen buah sepuasnya. Namun dia tidak suka penolakan karena mengingatkannya pada penolakan yang membuatnya berakhir di tempat ini.
“Terus, kenapa kamu suka sekali ngikutin aku?”
Leni tertawa malu. Dia menutupi mulutnya dengan tangan. “Aku enggak pernah punya waktu untuk bermain dengan teman sebayaku.”
“Kenapa aku? Banyak pasien di sini yang bisa dijadikan teman?”
Tawa Leni makin kencang, begitu juga ceples-an yang ia layangkan ke lenganku. Sontak aku mengadu kesakitan sambil mengelus lenganku.
“Pasien di sini tua semua Dara. Cuma kamu yang seumuran sama aku.”
Betul juga.
Pembicaraan kami berhenti saat perawat menyuruhku masuk bertemu dengan dokter. Aku pun beranjak dari sana. Tak lupa membalas lambaian tangan Leni. Gadis itu berbicara dengan suara lirih yang masih bisa aku dengar bahwa dia akan menungguku di tempat kami berbincang.
Di dalam ruangan, dokter mempersilakanku duduk. Dia tersenyum lebar kepadaku.
“Apa kabar Mbak Dara?”
“Baik, Dok.”
“Mbak Dara sekarang sudah lebih ceria.”
“Itu karena Leni sering kasih aku permen.”
“Bagus. Sekarang gimana perasaan Mbak Dara? Apa yang Mbak Dara rasain?”
Aku terdiam sebentar. Mataku memicing sambil melihat dari ekor mataku.
“Rasanya seperti hidup kembali, Dok. Aku tidur dengan nyenyak, aku makan dengan lahap, dan aku juga berani kasih crackers ke doro-doro di taman. Enggak kayak dulu setiap lihat mereka rasanya badan jadi lemas, sekarang rasanya biasa saja, seperti lihat hewan-hewan lainnya. Bayang-bayang trauma masa lalu juga enggak pernah muncul lagi.”
“Saya senang mendengarnya. Semua itu berkat Mbak Dara yang mau untuk bergerak maju. Kalau begini, besok Mbak Dara juga bisa pulang.”
“Boleh, Dok? Emangnya saya sudah sembuh?”
“Emangnya masih ada yang sakit?”
Kepalaku menggeleng lemah, “Aku merasa hidup kembali, Dok.”
* * *