Pagi ini warga dihebohkan dengan bangkai puluhan merpati yang tergeletak di sepanjang jalan kampung. Para warga berbondong-bondong menonton sambil mendiskusikan bagaimana bisa merpati-merpati mereka mati secara bersamaan. Ibu juga menarikku untuk melihat sekilas bangkai-bangkai merpati saat kami akan pergi ke pasar.
Salah satu ibu-ibu yang biasanya merumpi di depan warung menghampiri Ibu mengatakan bahwa merpati milik suaminya telah mati sehingga ia rugi ratusan ribu. Sementara itu bapak-bapak juga pemuda pemilik bangkai-bangkai merpati berkacak pinggang sambil berpidato bahwa kemungkinan besar merpati milik mereka telah diracuni oleh seseorang. Mereka juga tidak segan menunjuk-nunjuk warga yang berkerumun sambil menyumpahi hidup pelaku tidak akan tenang.
Sementara aku merasa tidak kuat berada di sini. Bau bangkai merpati itu begitu menusuk hidung. Menutupinya dengan tangan tetap tidak bisa menghadang bau itu masuk. Aku pun menarik baju Ibu agar segera pergi dari sini, tapi Ibu masih terlihat asyik mengobrol dengan ibu-ibu yang tersulut api amarah.
“Pasti onok sing ngeracun iki. Nggak mungkin lek kenek virus mati e barengan.”
“Pelaku e paling yo warga kene.”
“Di kampung sini nggak ada CCTV ya, ibu-ibu?” tanya Ibu yang sepertinya juga penasaran dengan alasan kematian puluhan merpati.
“Enggak ada Bu Dara. Makanya ini kami mau ke Pak RT biar kejadian kayak gini nggak keulang lagi.”
Semakin lama, bau bangkai merpati itu semakin meruak ketika para warga mulai membersihkannya. Sejak tadi Ibu tidak kunjung merespons kodeku. Sementara kepalaku terasa begitu pusing dan perutku mual. Bau bangkai merpati benar-benar bisa membuatku pingsan jika aku terus berada di sini. Maka tanpa menunggu dan meminta persetujuan Ibu, aku berjalan cepat pergi menuju halte.
Sepanjang perjalanan di dalam bus, aku mencoba menghubungi Zaki. Awalnya aku pesimis saat panggilan tidak kunjung diangkat. Namun tidak lama, Zaki mengangkatnya. Dia terdengar kebingungan saat aku hanya memanggil namanya dengan terisak-isak. Lalu Zaki menyuruhku untuk menunggu di taman, di tempat pertama kami bertemu.
Aku menunggu Zaki cukup lama. Setiap kali aku menghapus air mata yang menetes di pipi, air mataku terus terjun kembali. Bau bangkai merpati yang menyengat membuatku teringat akan pembunuh Bapak juga Mas Yanto. Batinku terus bertanya-tanya, apakah aku sama saja dengan mereka?
“Ra, kenapa nangis?” Zaki dengan wajah khawatir menyejajarkan wajahnya denganku yang sedang duduk di tribune taman. Dia menangkup wajahku, lalu perlahan menghapus air mataku yang jatuh.
“Zaki…”
“Iya, kenapa, Ra?”
“Kamu…”
“Saya udah jahatin kamu, ya, Ra?”
Kepala menggeleng pelan. Sore itu Zaki hanya menuntut penjelasan dari sikapku yang berubah. Membatalkan janji tanpa kejelasan hingga seminggu tidak memberi kabar adalah tindak kejahatan. Akulah tokoh antagonisnya.
“Kamu masih mau sama aku nggak kalau aku bilang aku pembunuh?”
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja mengejutkan untuk Zaki sehingga dia hanya bergeming menatapku.
“Aku udah bunuh mereka, Ki. Aku bunuh doro-doro sialan itu. Kamu masih mau sama aku?”
Zaki mengusap rambutku dengan lembut. Matanya tidak pernah sedikit pun teralihkan dariku. Sorot mata ini yang aku rindukan. “Saya masih di sini, Ra. Selalu di dekat kamu.”
“Aku salah ya, Ki, bunuh mereka demi bisa menerima kebahagiaan? Aku jahat, ya?”
“Doro-doro itu yang jahat, Ra. Mereka yang udah bunuh kamu selama ini. Kamu berhak bahagia sekarang.”
Jawaban Zaki membuat tangisku semakin kencang. Cowok itu pun jadi kebingungan dan terus mengucapkan cup cup cup sambil mengusap puncak kepalaku. Tapi bukannya berhenti, tangisku semakin kencang dalam pelukannya. Zaki jadi membeku saat tiba-tiba aku melingkarkan tangan di lehernya. Namun detik berikutnya dia membalas pelukanku, dia mengusap-usap punggungku yang bergetar.
“Sekarang aku mau bahagia terus, Ki. Sama kamu. Kita berdua bahagia.”
“Saya juga mau bahagia, Ra.”
* * *
Dua jam lamanya aku merias diri, tapi ternyata tetap saja masih harus membuat Zaki menunggu. Ibu yang mengetahui itu lantas segera memilihkan baju mana yang sekiranya cocok aku gunakan untuk kencan bersama Zaki. Namun sudah mengobrak-abrik lemari, aku juga tidak kunjung menemukan baju yang pantas. Pada akhirnya Ibu mengambilkan sebuah blouse bunga-bunga berwarna merah dari lemarinya.
“Pakai baju Ibu aja, Ra. Ayo cepetan! Sakno arek e wis ngenteni.”
Tidak memiliki pilihan lain, aku pun mengenakan blouse milik Ibu yang aku padu padankan dengan jeans cut medium blue.
Merasa sudah menggunakan semua makeup, mencatok rambut, menggunakan outfit yang kali ini feminin, juga menyemprot parfum sebadan, aku pun berjalan keluar menemui Zaki. Namun, Ibu juga mengikutiku sambil membawa keranjang belanjaan. Aku tahu Ibu ingin menemui sekaligus mengobrol dengan Zaki, tetapi beliau malu untuk berkata jujur sehingga beralasan, “Ibu mau belanja ke warung.”
Melihat aku dan Ibu keluar dari dalam kontrakan, Zaki pun turun dari motornya. Dia menyapa Ibu, lalu mencium tangan Ibu. “Sore, Tante.”
“Sore, Nak. Mau pergi sama Dara, ya?”
“Mau kencan, Tante,” jawab Zaki sedikit berbisik kepada Ibu yang sontak mendapat tawa kecil dari Ibu.
“Kenalin Bu, ini teman Dara namanya Zaki,” kataku memperkenalkan Zaki pada Ibu yang aku yakini mereka belum berkenalan hari itu.
“Jaga Dara, ya, Nak Jaki. Jangan pulang malam-malam,” kata Ibu sambil mengusap-usap lengan Zaki yang cowok itu respons dengan senyum lebar.
Aku menyenggol lengan Ibu sambil berbisik, “Namanya Za-ki.”
“Nak Jaki, Tante pergi ke warung dulu, ya. Mau belanja. Hati-hati ya di jalan.”
Benar ternyata kata Zaki kalau orang-orang suka memanggilnya Jaki. Untungnya Zaki tidak begitu mempermasalahkannya. Dia terlihat baik-baik saja bahkan menawari untuk mengantar Ibu ke warung, namun ditolak karena Ibu pasti hanya memutari kampung hingga kami berdua pergi.
“Maafin ya, Ki, aku lama.”
“Kamu cantik sekali, Ra,” kata Zaki tersenyum menatapku sampai tidak berkedip. Tatapannya membuatku begitu malu dan ingin sekali menyembunyikan wajahku, tetapi hari ini Zaki juga terlihat menarik di mataku sehingga aku tidak ingin mengalihkan tatapanku darinya.
“Aku suka penampilan baru kamu, Ki.”
Hari ini, Zaki terlihat berbeda. Sebelumnya dia selalu mengenakan kaos hitam dengan celana pendek cargo krem, outfit andalannya. Namun hari ini dia mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek berwarna army yang dia padu padankan dengan celana jeans panjang berwarna hitam. Rambut gondrongnya masih sama dia ikat half bun namun terlihat lebih rapi dari biasanya.
* * *
Malam ini, akhirnya aku dan Zaki kencan seperti yang telah kami rencanakan. Tidak hanya itu, malam ini juga kami resmi menjadi sepasang kekasih. Zaki menyatakan perasaannya padaku di atas motor yang tentu saja aku terima, takut jika aku tolak dia akan menurunkanku di tengah jalan. Tidak, aku bercanda. Aku menerimanya karena aku menyukai Zaki. Cowok itu tidak hanya berhasil mengembalikan lesung pipiku, tetapi juga berhasil meluluhkan hatiku. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya pada Zaki.
Persetujuanku menjadi kekasihnya membuat Zaki bersorak senang. Dia bahkan berteriak, “KAMU PACAR SAYA SEKARANG, RA!” saat kami sedang berhenti di lampu merah. Sontak aku memukul punggungnya karena malu menjadi pusat perhatian pengendara lain, tapi dia malah tertawa.
“Nggak usah sungkan, Ra. Kita kan, emang pacaran,” katanya sambil menarik tanganku agar kembali terlingkar di pinggangnya.
Tingkah Zaki tidak bisa berhenti membuatku salting. Memalukan sekali salting dilihat orang asing. Jadi aku sembunyikan wajahku di punggung Zaki, menikmati aroma tubuhnya yang begitu harum malam ini. Tidak ada lagi bau rokok yang menyengat, melainkan bau harum mirip seperti bau salah satu merek sampo yang pernah aku pakai.
Seperti janji kencan pertama yang Zaki katakan, dia mengajakku berkeliling kota. Kami melewati Pantai Kenjeran yang membuatku semakin mengeratkan tanganku di pinggangnya. Kami juga melewati kawasan Pecinan yang seolah menyambutku karena full berwarna merah, warna darah. Kami juga melewati Tugu Pahlawan yang kata Zaki dia bahkan bisa menemukanku dari pucuk sana. Dia memang lebai.
Zaki mengajakku berkeliling ke tempat-tempat yang tidak pernah aku lewati sebelumnya. Anehnya aku sama sekali tidak takut tersesat berada di tempat asing karena aku tahu, selama bersama Zaki maka aku akan selalu aman. Ditambah Zaki adalah warga Surabaya asli, dia hafal sekali seluruh jalanan kota ini tanpa perlu melihat maps.
Sepanjang jalan Zaki tidak kunjung berhenti mengajakku berbicara, bercanda, hingga menanyakan apakah aku mau membeli street food yang baru saja kami lewati.
“Mau telur gulung, nggak, Ra?” tanyanya saat kami baru saja melewati penjual telur gulung di pinggir jalan.
“Udah kelewatan, Ki.”
“Tinggal puter balik,” katanya yang langsung putar balik, berhenti di depan penjual telur gulung.
Sepuluh tusuk telur gulung menemani kami kembali berkeliling kota. Aku menyuapi Zaki telur gulung dari belakang. Meskipun sedikit kesusahan, tapi itu malah membuat kami semakin menikmati waktu bersama. Kami tertawa kencang saat saus yang menyelimuti telur gulung mengotori wajah Zaki.
“Mau beli es nggak, Ra? Itu di depan ada es cao.”
“Mau!”
Kami membeli sebungkus es cao berdua dengan satu sedotan. Kalau kata Zaki ini romantis.
“Mau batagor, Ra?”
“Mau.”
“Mau tahu bulat, Ra?”
“Mau!”
“Mau gulali, kan, Ra?”
“Mauuu!”
“Mau jagung bakar, Ra?”
“Perut aku udah penuh, Ki.”
Kami berdua tertawa. Selama tiga jam keliling kota, sudah banyak street food yang kami beli. Setiap kali melewati penjual street food, Zaki selalu menawariku dan aku selalu menerimanya. Pada akhirnya beberapa dari mereka berakhir tergantung di motor. Malam ini kami boros sekali, sepertinya akhir bulan kami akan makan mie instant.
Puas berkeliling kota sambil berburu street food, akhirnya kami berhenti di pemberhentian terakhir destinasi kencan kami kali ini yaitu photo box.
Di sepanjang Jalan Tunjungan, aku berpapasan dengan banyak sepasang kekasih yang bergandengan tangan persis seperti yang kami lakukan. Sejak turun dari motor, Zaki terus menggandeng tanganku dengan kuat seolah aku adalah anak kecil yang harus selalu dalam jangkauan orang dewasa. Namun aku menyukainya hingga tidak bisa berhenti tersenyum.
“Ra, kamu tunggu sini bentar, ya. Kunci motor saya kayaknya ketinggalan,” kata Zaki sambil memeriksa semua kantong di celananya. Dia terlihat begitu panik hingga pergi tanpa menunggu persetujuanku.
“Aku ikut!” kataku menarik tangannya, tapi langsung dia lepas. Zaki memintaku untuk menunggu di sini sekalian mengantre photo box. Pada akhirnya aku menuruti perintahnya.
Lima menit menunggu, Zaki tidak kunjung kembali.
Lima belas menit menit menunggu, sudah tiga pasang kekasih yang aku dahulukan.
Kini aku yang gelisah. Pikiranku menjadi ke mana-mana. Tidak mungkinkan Zaki meninggalkanku?
Aku pun memutuskan keluar dari café yang menyediakan photo box. Aku tunggu Zaki di depan café sambil mondar-mandir. Cowok itu tidak mengangkat teleponku juga tidak membalas pesanku. Belum ada satu jam saja aku sudah gelisah, bagaimana Zaki yang menunggu kabarku selama seminggu lamanya?
Saat aku memutuskan ingin menyusulnya ke tempat parkiran, aku melihat Zaki yang berlari sambil tersenyum kepadaku. Langkahku pun berhenti. Tidak lama Zaki telah berada di depanku. Dia terlihat ngos-ngosan.
“Maafin saya, Ra, udah buat kamu nunggu lama.”
“Ketemu kuncinya?”
Zaki mengangguk sambil tersenyum. Detik berikutnya, dia mengulurkan sebuket mawar yang dia sembunyikan di belakang punggungnya. Jantungku begitu terkejut. Dia memberiku mawar lagi.
Lantas kunci motor itu sebenarnya tidak hilang, ya? Dia membohongiku untuk membelikan sebuket mawar. Aku jadi merasa bersalah sudah berpikir bahwa Zaki kemungkinan meninggalkanku.
“Kali ini bukan mawar curian lagi, Ra. Jadi kamu nggak perlu takut.”
Zaki benar-benar membuatku salah tingkah. Aku segera mengambil buket mawar itu dan membalikkan badan. Malu sekali rasanya jika Zaki melihat wajahku yang memerah dan senyumku yang mekar seperti mawar di genggamanku.
“Ihh…saltingnya jelek. Kan, saya mau lihat, Ra. Merahan mawar itu apa pipi kamu?” tanya Zaki yang tidak lama menyusul berjalan di sampingku. Dia terus mencoba melihat wajahku yang langsung aku tutupi dengan buket mawar.
Zaki pun pasrah. Dia kembali menggandengku masuk ke dalam café untuk mengabadikan momen di dalam photo box. Kami berdua akhirnya mendapat giliran masuk ke dalam photo box setelah lima menit mengantre. Setelah membayar sesuai yang tertera di layar, aku sibuk memilih layout yang lucu, sementara Zaki sibuk mengajakku berbicara.
“Ra, kamu ingat pertanyaan kamu yang tanya kalau saya dapat seratus juta bakal buat apa?”
“Ingat. Beli gitar listrik.”
“Sekarang aku tahu, Ra, sisanya buat apa.”
“Buat pa?”
“Coba tebak!”
Selesai memilih layout, aku mundur, berdiri di samping Zaki sambil menjawab pertanyaannya, “Pasti…beli gitar listrik sepuluh.”
“Salah!”
“Terus apa?” tanyaku sambil menarik tubuh Zaki agar masuk ke frame. Layar di depan kami sudah mulai berhitung mundur. Aku pun sudah mulai berpose.
Tiga…
“Buat modal nikahin kamu,” bisik Zaki di telingaku. Kemudian secepat kilat dia menjatuhkan kecupan di pipiku. Mataku melotot dibuatnya. Tepat saat itu kamera memotret Zaki yang menciumku dengan mataku yang melotot.
“Ihhh…” kataku menoleh pada Zaki yang telah memberikan banyak kejutan untukku malam ini.
Tapi dia malah tersenyum bahagia, lalu mengusap-usap puncak kepalaku sambil berucap, “Sekarang kita seri.”
Kamera kembali memotret kami berdua yang belum siap berpose.
“Fotonya jadi jelek, kan,” gerutuku kesal.
Kali ini Zaki merespons dengan tawaan. Kemudian dia merangkulku sambil menyejajarkan wajah kami ketika layar kembali berhitung mundur.
“I love you, Ra.”
Dua.
“I love you too.”
Satu.
Kamera memotret kami yang ketiga kalinya. Di jepretan ke tiga, kami berdua tersenyum lebar. Ini nyata, dari hati kami terdalam, bukan sekadar berpose.
Malam ini aku begitu bahagia.
* * *