“Saya ngaku kalah, Ra.”
“Aku belum cerita semuanya.”
“Masih ada lagi?!” Aku mengangguk membuat Zaki membulatkan matanya seolah mengatakan, “Apa mungkin manusia bisa hidup dengan banyak luka?”
Meskipun terlihat terkejut dan tidak percaya, Zaki tetap antusias mendengarkan ceritaku. Dia mengusap-usap lenganku ketika aku berusaha menenangkan tangis yang tersengal-sengal. Zaki juga memberikan sebotol air mineral untuk kuteguk sebelum aku melanjutkan cerita hidupku yang penuh luka.
“Kalau kamu nggak kuat ceritainnya, berhenti aja, Ra.”
Aku meneguk sebotol air mineral, lalu memberikannya pada Zaki yang membawa tutupnya. “Rasanya aku udah nggak kuat pendam cerita ini sendiri, Ki.”
“Sekarang ada saya, Ra.”
Zaki menarik kedua tanganku, dia menggenggamnya. Itu cukup membuat aku yakin bahwa dia tidak akan pergi meninggalkanku. Maka aku lanjutkan cerita hidupku kepada teman yang juga telah menceritakan hidupnya padaku.
“Kamu bukan teman pertamaku, Ki. Dulu, aku punya banyak teman. Semua orang aku ajak berteman. Dulu, aku dikenal sebagai pemilik lesung pipi tercantik oleh orang-orang. Mereka bilang, mereka ingin operasi plastik agar punya lesung pipi sepertiku. Tapi itu dulu, sebelum aku menemukan sekardus koran berisi berita pembacokan Bapak.
Koran-koran itu mengubah hidupku. Aku jadi nggak bersemangat untuk melakukan apa pun, bahkan sekedar untuk tersenyum. Rasanya berat sekali. Seolah kalau aku tersenyum, itu sama aja aku senang akan takdir hidupku yang hancur.
Perlahan, satu per satu temanku menjauh. Ada yang menjauh karena mereka menganggap aku membohongi mereka tentang memiliki Kebun Binatang Mini. Padahal kebun binatang itu sudah hancur, tidak terawat lagi. Hewan-hewannya juga sudah banyak yang diambil oleh tetangga. Kebun Binatang Mini itu sudah bangkrut karena pemiliknya telah menelantarkan hewan-hewan yang tidak bersalah hanya karena satu hewan.
Ada juga yang menjauh karena mereka kesal denganku yang dahulu suka menghabiskan uang jajan mereka untuk berkunjung ke Kebun Binatang Mini. Mereka adalah teman-teman kampung yang tumbuh bersamaku, tapi yang malah menjadi busur panah. Mereka tidak pernah mengatakan yang sebenarnya kepada teman-teman baru di sekolah bahwa aku memang pernah memiliki Kebun Binatang Mini. Terkadang aku juga berpikir mungkin mereka kesal karena dahulu aku yang selalu berhasil menangkap layangan putus, aku yang selalu berhasil menemukan persembunyian mereka dengan mudah, dan aku yang selalu menjadi bahan perbandingan karena suka membantu pekerjaan orang tua mereka.
Lalu ada juga yang ikut-ikutan menjauh karena hasutan dari teman-teman yang lain. Tapi anehnya, Ki. Aku merasa baik-baik aja. Aku suka karena aku tidak perlu mendapat kebahagiaan yang sifatnya sementara.”
“Tapi saya malah melihat kebalikannya, Ra.”
“Aku belum selesai, Ki.”
Zaki melipat bibirnya. Dia mempersilahkanku untuk melanjutkan cerita.
“Aku merasa kebahagiaan yang sementara itu percuma karena yang ada kita akhirnya akan menjalani hidup dengan rasa kecewa. Pagi itu semuanya makin runyam saat Mas pulang dengan begitu berantakannya.”
Pagi itu, mungkin sekitar jam dua pagi, aku terbangun karena mendengar suara tangisan Mas. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, aku berjalan keluar kamar dan begitu terkejutnya mendapati Mas bersimpuh di kaki Ibu dengan tangannya yang berlumuran darah. Mas terus berucap, “Sepurane, Bu. Sepurane.”
Aku menyandarkan tubuhku ke pintu kamar sambil terus mengucek mata agar nyawaku kembali. Sementara itu Mas masih terus bersimpuh dengan tangannya yang gemetar begitu hebat. Ibu pun terlihat sama kebingungannya denganku, lalu beliau mendudukkan dirinya agar sejajar dengan Mas.
Ibu meraih lengan Mas agar putranya itu mendongakkan kepala. “Onok opo? Sampean mari lapo, Mas?” tanya Ibu begitu halus.
Tangis Mas semakin keras dan tersengal-sengal. Aku bisa melihat pundaknya yang terus bergerak naik turun. “Tulungono aku, Bu. Aku mari mateni uwong.”
Seketika aku dan Ibu terdiam membeku. Jawaban Mas seperti bom yang meledakkan rumah kami.
“Kok isok?! Ibu nggak tahu ngajari anak e Ibu mateni uwong,” kata Ibu sambil menatap wajah Mas penuh tanya.
Mas pun menceritakan perbuatannya selama ini.
Mas bercerita bahwa dia sering mengikuti permainan Adu Doro dengan menggunakan Dodo yang selama ini ia simpan di bekupon temannya. Mas semakin kecanduan permainan itu karena Dodo yang selalu memenangkan permainan sehingga Mas mendapatkan banyak uang. Uang-uang haram itu ia gunakan untuk mentraktir teman-temannya membeli miras. Makanya akhir-akhir ini Mas selalu pulang pagi-pagi dengan keadaan mabuk.
Kecepatan terbang Dodo membuat burung itu banyak dilirik oleh para pemain. Beberapa dari mereka terus menawar Dodo dengan harga tinggi hingga tawaran itu berakhir di angka lima juta oleh seorang bapak-bapak yang Mas pun tidak mengenalnya. Tergiur akan uang lima juta itu, Mas pun menjual Dodo dan lagi-lagi uang itu ia habiskan untuk mabuk-mabukan.
Namun setelah berpindah kepemilikan, kecepatan Dodo semakin menurun. Burung itu tidak pernah sekali pun memenangkan permainan membuat pembeli merasa dirugikan. Pembeli itu merasa ditipu sehingga menemui Mas untuk meminta ganti rugi. Mas tidak bisa mengembalikan uang itu karena telah habis ia teguk dengan teman-temannya. Keduanya pun mengalami adu mulut hingga tanpa sadar Mas memukul kepala pembeli itu menggunakan botol miras. Belum puas, Mas terus menghajar pembeli hingga tidak sadarkan diri.
Mendengar cerita itu membuat Ibu tidak bisa bereaksi apa pun. Beliau hanya terdiam menatap putranya yang mungkin sudah tidak ia kenali lagi.
Melihat Ibu yang terdiam, Mas semakin mendekatkan dirinya dan terus mengatupkan kedua tangannya, memohon maaf kepada Ibu atas perbuatannya. Ibu yang menerima permohonan maaf itu terus mencoba menjauh dari Mas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah Ibu yang tidak berekspresi, yang tidak bisa aku tebak beliau sedang bingung atau marah.
“Bu! Tulungono aku, Bu.”
Ibu terus menggeleng-gelengkan kepala. Beliau terus mundur hingga menabrak tembok. Lalu dengan bantuan tembok, Ibu mencoba untuk berdiri kembali, tapi tubuhnya begitu lemas hingga terjatuh dalam beberapa percobaan.
Ketika akhirnya Ibu berhasil berdiri dan akan berjalan menuju kamar mandi, Mas memeluk kaki Ibu. Mas menangis sekencang-kencangnya sambil terus meminta tolong dan maaf kepada Ibu, tapi Ibu terlihat tak acuh. Beliau bahkan berusaha dengan kuat melepaskan kakinya dari pelukan Mas.
Pelukan tangan Mas terlepas. Ibu pergi ke kamar mandi. Tidak lama beliau kembali dan segera masuk ke dalam kamar, tidak memedulikan Mas sedikit pun. Lalu dari luar terdengar suara Ibu melantunkan ayat Al-Qur’an.
Tidak berhasil membujuk Ibu, kini Mas berjalan meminta pertolongan kepadaku. Dia memegang kedua lenganku sambil berucap, “Dek, tulungono aku.”
Saat itu aku bisa melihat wajah Mas yang begitu berantakan. Bau alkohol meruak keluar dari mulutnya membuatku sontak mendorong tubuhnya sambil berucap, “Sampean wis gendheng, Mas!”
Badan Mas yang lemas membuatnya langsung terjatuh dalam sekali dorong. Tapi dia belum menyerah, Mas merangkak untuk memeluk kakiku. Dia terus meminta pertolongan dariku yang membuatku semakin kesal. Aku pun melepaskan kakiku dari pelukan Mas, sama seperti yang Ibu lakukan.
Mas masih tidak menyerah, dia bahkan bersimpuh di kakiku meminta pertolongan seolah-olah aku adalah Tuhan, “Tulungono aku, Ra. Aku emoh dipenjara.”
Kepalaku terus bergeleng-geleng. Aku masih tidak percaya dia yang sedang bersimpuh di kakiku adalah Mas yang selama ini selalu aku banggakan karena kepintarannya, karena kebaikannya, dan karena kasih sayangnya padaku.
“Tulungono aku. Aku khilaf, Dek.”
“Terus pelaku pembunuhan Bapak juga khilaf gitu, mas?!”
Tangis Mas semakin kencang hingga punggungnya bergetar hebat.
“Pasti saiki Bapak nangis, Mas, dontok sampean koyok ngene,” ucapku lalu menutup pintu dengan keras.
Setelah itu aku bersembunyi di balik selimut. Suara lantunan mengaji Ibu terus bersahutan dengan tangisan Mas. Mendengar itu membuat tangisku akhirnya pecah tanpa suara. Keluargaku kembali hancur hanya karena seekor merpati.
Satu jam kemudian, suara azan berkumandang. Tangisku telah reda. Aku keluar kamar berniat mengambil air wudu, tapi aku malah mendapati Mas yang memeluk kedua kakinya di samping kamarku. Dia menundukkan kepala masih sambil menangis, tetapi kini tanpa suara, kulihat dari punggungnya yang terus bergerak naik-turun.
Aku mengambil plester di kotak P3K yang tersimpan di ruang tamu. Kemudian aku kembali, duduk di hadapan Mas. Aku tarik tangannya membuat ia mendongakkan kepala. “Ra, kalau Bapak ada, pasti sekarang aku udah dihukum masuk ke gudang. Biar dimakan sama kuntilanak.”
“Enggak ada kuntilanak di sana,” kataku sambil menempelkan plester di jari Mas yang berdarah. Mas memiliki kebiasaan melukai kulit jarinya dengan kuku saat dia merasa ketakutan. Terakhir kali aku melihatnya melakukan hal ini saat hari kematian Bapak. Saat itu aku terus menggenggam tangannya agar ia tidak menyakiti diri sendiri, tapi sekarang aku merasa tidak kuat untuk menggenggam tangannya lagi.
“Iya, aku bohong soal kuntilanak itu.”
“Dara masih berharap yang kali ini juga bohong.”
“Benci aku seperti kamu benci pembunuh Bapak, Ra.”
Aku akhirnya mendongakkan kepalaku, menatap wajah Mas yang penuh air mata. Dia tersenyum padaku, membuatku begitu kesal melihat senyumannya itu.
“Bapak pernah bilang kalau kita melakukan sesuatu, kita harus berani tanggung jawab sama semua risiko yang ada,” kataku yang cepat-cepat berdiri, “Salat dulu, Mas.” Aku beranjak dari hadapan Mas. Selain tidak kuat untuk menggenggam tangannya, aku juga tidak kuat menatap wajah Mas.
Aku mengambil air wudu dan melaksanakan salat subuh di kamar.
Setelah aku menyelesaikan salat, aku mendengar suara ketukan pintu rumah yang begitu keras. Aku membuka pintu kamar bersamaan dengan Ibu yang keluar dari kamarnya dan Mas yang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan sarung. Ibu menyuruh Mas untuk salat sementara beliau membukakan pintu.
Tiga polisi dan beberapa warga datang. Polisi itu menjelaskan kedatangan mereka dan menanyakan keberadaan Mas Yanto. Ibu mengatakan bahwa Mas akan menyerahkan dirinya, tapi Ibu meminta agar polisi menunggu sebentar saja hingga Mas menyelesaikan salat.
Sepuluh menit kemudian Mas keluar. Dia sudah berganti pakaian. Tangisnya juga sudah hilang. Dia berjalan dan mengulurkan kedua tangannya kepada polisi. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana polisi memborgol tangan Mas, lalu membawa Mas masuk ke mobil polisi untuk pergi dari rumah ini, persis seperti yang selama ini aku lihat di televisi.
Ditangkapnya Mas membuat para warga tidak bisa diam membicarakan Mas. Mereka juga tidak sungkan menanyakan kepadaku juga Ibu mengapa Mas dibawa oleh polisi. Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, beliau menarik tanganku masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat. Sejak itu pintu rumah kami tidak pernah terbuka.
* * *
“Setelah hari itu, jadilah aku yang seperti ini, Ki.”
Zaki menghapus air mata yang membasahi wajahku. Sedari tadi cowok itu terus menggenggam tanganku sambil sesekali mengusap lenganku saat tangisku tersedu-sedu. Dia benar-benar tidak meninggalkanku, bahkan matanya pun tidak sedikit pun beralih dariku.
“Maafin saya, Ra, udah bikin kamu nangis.” Zaki menatapku semakin dalam, membuatku semakin terjatuh dalam sorot matanya yang hangat. Matanya begitu bersih dan berkilau. “Maaf juga, temanmu ini datang terlambat.”
“Kamu akan jadi temanku yang seperti apa, Ki?
Bukannya menjawab, Zaki malah tersenyum lebar, lalu menarik tanganku untuk menuruni tribune. Dia membawaku ke tengah taman yang mulai lengang. Aku baru sadar bahwa ini sudah larut malam, para pengunjung taman mulai pulang ke rumah masing-masing.
“Saya akan jadi teman yang membantu kamu untuk kembali mengekspresikan diri, Ra.”
“Gimana caranya?”
“Ikutin saya.”
Aku melirik Zaki yang celingak-celinguk melihat ke sekeliling taman yang mulai sepi. Lalu dia melirikku sekilas sambil tersenyum sebelum akhirnya dia berteriak kencang mengatakan, “JANCOK!”
Mataku berkedip berkali-kali. Aku ikut celingak-celinguk, beberapa pengunjung dan pedagang yang tersisa melihat ke arah kami.
“Ayo, Ra, ikutin saya!”
Aku men-ceples lengannya keras. Dia mengadu kesakitan.
“Kamu udah gila, Ki?”
“Saya yakin kamu udah lama enggak ngucapin kata itu.”
“Untuk apa juga, Ki?”
“Biar kamu ngerasa lega, Ra. Semua luka yang kamu simpan itu juga butuh diekspresikan.”
“Dengan ngomong…jancok?” tanyaku ragu sambil melihat ke sekeliling.
Orang-orang yang tadi melihat ke arah kami buru-buru berlari mencari tempat teduh saat rintik hujan mulai turun.
“Kurang kencang, Ra. Saya contohin lagi, deh.” Zaki tertawa kecil. Dia kembali berteriak, lebih kencang dari tadi, “JANCOK!!”
Teriakannya yang kali ini tidak mengundang fokus orang-orang di sekitar karena setelahnya hujan turun. Taman itu hanya tersisa kami berdua.
“Ayo, Ra, gantian!”
Aku ragu melakukan perintah Zaki, tapi cowok itu terus menatapku sambil tersenyum lebar. Senyuman Zaki seolah mengatakan bahwa aku tidak perlu merasa takut lagi karena dia akan selalu berada di sampingku. Maka aku menarik napas dalam-dalam. Zaki menganggukkan kepala, mengisyaratkan bahwa aku bisa melakukannya. Aku pun melakukannya.
“Jancok!”
Zaki tertawa. Dia mengejekku dengan berteriak lebih kencang, “JANCOKK!!!”
Aku jadi tertantang. “JANCOK!”
Zaki menggeleng-gelengkan kepala. “Keluarin semuanya, Ra!”
“JANCOKKK!!!” Aku berteriak begitu kencang hingga pundakku bergerak naik turun setelahnya. Bahkan Zaki sampai membulatkan matanya. Kemudian dia memberiku dua jempolnya sambil tersenyum lebar.
Setelah berteriak seperti itu, aku merasa lega. Hatiku yang selama ini sesak mulai merasa lapang seperti taman ini. Cara Zaki membantuku mengekspresikan diri sepertinya cukup manjur.
“Lesung pipi kamu benar-benar cantik, Ra.”
Wajahku jadi cengo. Barusan aku tidak salah dengar bahwa Zaki memuji lesung pipiku. Aku tersenyum?
“Kamu makin cantik, Ra, kalau senyum. Saya mau lihat senyum kamu tiap hari.”
Perlahan aku merasakan kedua ujung bibirku tertarik. Aku tersenyum lebar. Begitu lebar hingga kedua lesung pipiku tercetak. Setelah lima tahun semenjak aku menemukan kardus berisi koran-koran dengan fakta paling menyakitkan, akhirnya aku kembali tersenyum lagi berkat teman baruku, berkat Zaki.
Malam ini, kami menghabiskan waktu dengan menari di bawah hujan. Zaki yang mengajariku menari. Awalnya aku begitu malu, tapi perlahan aku jadi tidak punya malu. Dia mengajariku dengan sabar, dengan penuh tawa membuatku terus tersenyum lebar. Kali ini aku berhasil memiliki teman yang bisa membuatku berani untuk mengekspresikan diri di hadapannya.
Zaki benar-benar membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. Bahkan di atas motor tuanya yang mencoba berjalan cepat, aku masih tersenyum lebar. Bahkan di dinginnya malam sehabis hujan dan bajuku yang basah kuyup, aku masih tersenyum lebar. Bahkan di gelapnya langit yang selalu aku takuti, aku masih tersenyum lebar. Lubuk hatiku seolah berkata, selagi aku bersama Zaki, maka aku aman.
“Mandi terus ganti baju, Ra. Minum yang hangat-hangat juga biar kamu enggak masuk angin,” kata Zaki setelah dia menurunkanku di depan kontrakan.
Kenapa cepat sekali sampai rumah? Padahal kota ini begitu luas, banyak jalan yang belum kami lewati.
“Makasih untuk malam ini, Ki. Aku jadi merasa sedikit lega.”
“Sama-sama, Ra. Jangan pernah ngerasa sendiri lagi, ada saya.”
Kepalaku mengangguk-angguk. Zaki mengisyaratkan agar aku segera masuk. Aku pun melambaikan tangan, lalu berjalan untuk membuka pagar. Namun saat pagar sudah aku buka lebar-lebar, aku merasa tidak ingin berpisah begitu cepat. Maka aku kembali melangkah mendekat kepada Zaki yang masih duduk di atas motornya, bersiap pergi setelah memastikan aku masuk. Sebelum itu terjadi, aku jatuhkan kecupan singkat di pipinya yang dingin. Zaki membeku, waktu yang tepat untukku berlari masuk.
Di balik pintu, aku terus memegangi bibirku yang begitu nakal. Malam ini dia berhasil tersenyum lebar, bahkan mendaratkan ciuman pertamanya pada seorang teman. Sepertinya aku sudah gila.
* * *