Sebulan semenjak aku memberikan nomor teleponku pada Zaki, tidak pernah kami melewatkan pesan-pesan receh, nyanyian di penghujung hari, atau seporsi penyetan di hari libur kerjaku. Cowok itu selalu menyempatkan waktu untuk menghubungiku. Dia memiliki banyak cerita yang katanya wajib aku dengarkan. Sebulan sudah mengenal dan mendengarkan ceritanya, aku jadi memiliki pandangan yang lebih positif terhadap sosok Zaki. Tidak seperti pertemuan awal kami di taman yang mana aku menganggapnya sebagai orang aneh, nyatanya Zaki adalah orang baik seperti template yang selalu dia ucapkan ‘Saya orang baik, Ra’.
Seminggu yang lalu Zaki menghubungiku malam-malam untuk menceritakan pengalamannya dikejar-kejar oleh warga. Katanya sore itu Zaki sedang mengamen bersama salah satu temannya, Opang, di gang-gang kampung. Belum juga mendapat uang, seorang warga meneriaki mereka maling membuat warga-warga lain keluar rumah. Zaki yang kaget diteriaki maling pun menjelaskan kepada warga bahwa dia hanya ingin mengamen, tapi usahanya menjadi sia-sia saat Opang telah lari kocar-kacir. Warga mengamuk dan mengatakan bahwa kemungkinan besar Zaki adalah komplotan maling. Tahu bahwa diam adalah bukan pilihan yang tepat, Zaki pun ikut melarikan diri. Sore itu Zaki benar-benar berlari cukup jauh hingga katanya dia sampai menghabiskan tiga botol air mineral setelah berhasil lolos dari kejaran warga.
Zaki pun menginterogasi Opang akan insiden yang hampir mengancam nyawanya itu. Usut punya usut, ternyata tiga bulan lalu Opang pernah mencuri sepeda ontel di kampung itu. Aksi Opang tertangkap basah oleh salah satu warga yang mengingat wajahnya. Bodohnya lagi, Opang lupa akan aksi kejahatannya yang sepertinya sudah terlalu banyak. Untung saja hari itu Zaki yang tidak bersalah tidak kena amukan main hakim warga.
“Harusnya ketangkep itu, teman kamu salah. Biar tanggung jawab.”
“Kalau ketangkep dia bisa mati di tangan warga, Ra.”
“Kamu juga pernah nyuri, Zaki?”
“Saya orang baik, Ra. Mending saya puasa daripada makan uang haram.”
Kalimat ‘Saya orang baik, Ra’ adalah template Zaki yang hampir aku dengar setiap harinya. Dia selalu percaya diri mengatakan bahwa dia tidak seperti temannya yang suka mencuri, dia tidak seperti temannya yang suka mabuk-mabukan, dan dia juga tidak seperti temannya yang suka seks bebas. Setiap kali mendengar self claim-nya itu, aku selalu menunjukkan reaksi ketidakpercayaanku. Seperti malam ini saat dia bercerita bahwa aku adalah perempuan pertama yang dia bonceng. Aku dengan sengaja menyatakan ketidakpercayaanku dan menyudutkannya bahwa pasti sudah banyak wanita yang duduk di boncengan Zaki.
Lucunya, cowok itu terus bersikukuh bahwa dia bukanlah cowok playboy seperti yang aku pikirkan. Lalu saat dia lelah berdebat denganku dia berkata seperti ini, “Terserah, sih, Ra, kamu mau percaya apa enggak. Tapi beneran…”
“Saya orang baik, Ra,” ucap kami berdua bersamaan.
Zaki berdecak saat aku dengan tepat mengucapkan tagline template-nya bersamaan dengannya. Kesal karena aku tiru, dia meninggalkanku yang masih kesusahan membuka pengait helm. Tapi aku sungguhan, pengait helm milik Zaki memang susah dibuka. Biasanya juga Zaki yang membukakannya untukku.
Tidak kunjung bisa membukanya, aku pun membiarkan helm ini masih terpasang di kepala dan lebih memilih mencari tempat duduk sembari menunggu Zaki memesan bakso. Tidak lama lelaki itu kembali dan dengan sigap membukakan pengait helm, sambil mengomel, “Manja kali kamu, Ra.”
“Pengait helmmu yang rusak.”
“Bilang aja kalau kamu suka sama saya.”
Aku hanya meliriknya yang sedang tersenyum lebar dan terlihat serius melepaskan pengait helm. Tidak butuh waktu lama, Zaki dengan mudah melepaskan pengait helm itu, dia meletakkannya pada spion motornya, lalu kembali duduk di seberangku.
Malam ini, kami memang sudah menjadwalkan untuk keluar mencari makan malam bersama. Sudah beberapa hari Zaki mengatakan bahwa dia menemukan warung bakso dan es campur yang enak. Zaki bilang aku harus mencoba bersamanya. Makanya tadi dia semangat sekali menjemputku ke tempat kerja karena katanya akan lama kalau menungguku menaiki bus.
“Malam ini kamu nggak ngamen lagi, dong?”
“Libur dulu.”
“Libur mulu. Kapan kayanya?”
“Saya nggak mau kaya, Ra. Lagian kaya, tuh, nggak harus tentang uang. Punya keluarga yang sayang sama kita juga termasuk kaya.”
Aku menggeleng. “Itu emang cara kerja keluarga, Ki. Kaya itu kalau kamu enggak dikejar-kejar debt collector, enggak bingung besok mau makan apa, dan enggak takut diusir sama pemilik rumah.”
“Tapi nggak semua keluarga tahu cara kerja saling sayang itu, Ra.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Ucapan Zaki benar sekali. Tidak semua keluarga tahu bagaimana caranya menyayangi keluarga mereka. Begitu juga keluargaku yang bahkan tidak akan pernah bisa berkumpul bersama untuk saling menyayangi.
Pembicaraanku dan Zaki berhenti kala penjual bakso mengantarkan pesanan kami. Dua porsi bakso dan seporsi es campur datang. Sengaja kami beli satu es campur karena selain mahal, aku juga tidak akan bisa menghabiskan semangkuk besar es campur yang setinggi bukit.
Kami saling diam menyantap seporsi bakso di hadapan masing-masing yang telah diracik sesuai selera. Zaki menambahkan delapan sendok sambal dan meneteskan jeruk nipis yang berhasil membuat mataku menyipit. Pasalnya aku tidak begitu suka pedas. Dua sendok sambal sudah berhasil membuat pelipisku berkeringat.
“Enak, kan?”
“Lumayan.”
“Kalau kamu coba masakan saya, saya jamin nggak akan ada kata ambigu itu.”
“Emang kamu bisa masak?”
Zaki membuka mulutnya lebar-lebar, dia memberikan ekspresi terkejut seolah aku telah meremahkannya. Lalu dia menepuk meja dengan satu tangan, “Saya kalau ikut Master Chef, dijamin juara pertama. Seratus juta bakal jadi punya saya, Ra.”
Cowok di depanku sangat percaya diri sekali membuatku bingung harus memberikan reaksi seperti apa selain diam menatapnya.
“Kamu remehin saya, Ra?” tanyanya saat aku hanya diam menatapnya. Aku mengangguk membuat Zaki semakin kesal hingga memalingkan wajahnya dariku. Kemudian, cowok itu menggeleng-gelengkan kepala seolah kehilangan kepercayaan dariku adalah sebuah penghinaan.
“Kan, aku belum coba.”
Zaki menepuk-nepuk dadanya, “Cukup sakit hati, Ra, kamu nggak percaya sama saya.”
“No bukti, hoax.”
Ucapanku sepertinya benar-benar membuat Zaki tidak terima. Dia bahkan memajukan kursinya. Kedua tangannya memegang ujung meja. Zaki menatapku lekat-lekat.
“Bakso ini. Bukan-bukan. Penyetan yang sering kita beli, yang kata kamu enak itu enggak cocok bersaing sama masakan saya, Ra. Kamu inget Opang? Dia setiap kali saya masakin bisa nambah sampai tiga kali. Tiga kali, Ra,” katanya sambil menyodorkan tiga jarinya di depan wajahku.
Aku hanya manggut-manggut melihat pembelaannya yang lucu, seperti anak kecil. Tapi sepertinya dia tidak berbohong akan pernyataan bahwa masakannya enak. Aku jadi ingin mencoba masakannya.
“Oke. Lain kali masakin buat aku.”
Wajah kesal Zaki berubah menjadi sumringah. Dia mengangguk mengiyakan permintaanku.
Setelah perdebatan mengenai masakan Zaki yang belum aku tahu bagaimana rasanya, kami memutuskan untuk menyantap hidangan terakhir yang sudah mulai mencair. Karena kami hanya diberi satu sendok, Zaki mempersilahkanku terlebih dahulu untuk menyantap es campur yang terlihat menggiurkan itu. Satu suapan berhasil membuat mataku terpejam, tanda bahwa aku menyukainya.
“Enak, kan?” tanya Zaki yang aku jawab dengan anggukan kepala.
Merasa sudah cukup, aku menyodorkan semangkuk es campur pada Zaki untuk bergantian. Zaki menerimanya. Dia menyendok es campur sambil menyeletuk, “Romantis sekali kita, Ra. Seporsi berdua.”
Aku menganggap ucapan Zaki sebagai angin lewat. Jadi aku alihkan saja pembicaraan kami ke topik lain.
“Kalau kamu dapet uang seratus juta emang mau buat beli apa?”
Zaki terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Dia menghentikan menyantap es campur dan mendongakkan wajahnya untuk menatapku yang menatapnya. Saat kesadarannya telah terkumpul, Zaki membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Dia mendorong sisa es campur ke arahku sebagai isyarat agar aku kembali menyantapnya.
“Saya mau beli gitar listrik, Ra.”
“Itu aja?”
Dia tidak menjawab. Mata Zaki berputar menyoroti segala arah di sekitar kami hingga akhirnya dia menganggukkan kepala, “Untuk saat ini cuma gitar listrik aja, sih.”
“Emang berapa harga gitar listriknya?”
“Sepuluh juta kayaknya.”
“Masih sisa banyak itu. Kamu bisa beli sepuluh gitar listrik.”
Zaki menggaruk-garuk tengkuk sambil bergumam, “Saya belum kepikiran yang lain, sih, Ra.”
“Sesuka itu kamu sama musik sampai nggak kepikiran hal lain?”
“Musik udah mengalir di darah saya, Ra.”
“Tapi kamu masih maruk mau jadi chef juga?”
Dia tertawa, lalu kembali menyodorkan semangkuk es campur ke hadapanku. Dengan senang hati aku kembali menyantap es campur yang enak itu.
Saat aku mendongakkan kepala dengan niatan menawarinya, ternyata sedari tadi Zaki terus memperhatikanku. Aku membeku dibuatnya, apalagi saat dia mengusap puncak kepalaku sambil berucap, “Habisin aja, Ra.”
Akhirnya tidak kulanjutkan lagi menyantap es campur yang tersisa sedikit. Ini bukan karena aku menyantap es campur yang dingin di malam yang dingin. Ini karena usapan tangan Zaki di puncak kepalaku. Setelah sembilan tahun lamanya, seseorang kembali mendaratkan usapannya di kepalaku.
Sementara itu pelaku yang telah membuatku membeku masih sibuk berpikir. Namun alih-alih mendapat jawaban akan ia buat uang seratus juta itu, ia malah memberiku pertanyaan yang sama, “Kalau kamu sendiri, Ra. Kalau punya uang seratus juta mau buat apa?”
Mata kami bertemu. Zaki terdiam menunggu jawabanku sementara aku terdiam mengingat yang telah tiada. Seperti rasa manis es campur yang masih tersisa di lidahku, kenangan manisku bersama Bapak ternyata masih begitu jelas di ingatanku. Kenanganku bersama Bapak saat membersihkan Kebun Binatang Mini, memandikan puluhan merpati, menemani Bapak narik bemo, hingga kenangan kecil ketika Bapak yang selalu mengusap puncak kepalaku persis seperti yang barusan Zaki lakukan. Usapan kepala yang terlihat sederhana tapi begitu berarti bagiku.
“Aku ingin Bapak hidup lagi,” jawabku lirih.
Ekspresi wajah Zaki langsung berubah. Dia menatapku begitu dalam. Zaki memajukan kembali kursinya. Dia juga menarik tanganku sambil berucap, “Ra, are you okay?”
Tatapan kosongku berakhir menjadi banjir air mata yang sudah lama tidak pernah aku rasakan. Aku menangis begitu deras. Bahkan tanpa aku menyentuh pipiku, aku bisa merasakannya begitu basah. Pundakku juga ikut naik turun karena tangis yang semakin tidak bisa aku kendalikan. Aku menangis hebat membuat Zaki di hadapanku kebingungan.
“Ra, sorry udah buat kamu nangis,” ucapnya terlihat begitu khawatir. Zaki mengusap air mata yang turun membanjiri pipiku sambil terus berucap cup cup cup. Tapi bukannya berhenti, tangisku makin kencang. Cup cup cup yang Zaki ucapkan persis seperti yang Bapak ucapkan ketika aku menangis karena dipatuk ayam. Semua yang dilakukan Zaki membuat kerinduanku pada Bapak yang selama ini aku coba pendam akhirnya meledak tidak terkendalikan.
Meskipun dia terlihat kebingungan mendapatiku menangis seperti anak kecil, Zaki dengan sabar menenangkanku. Dia bahkan berpindah duduk di sebelahku untuk memberikan sebotol air mineral sambil mengusap-usap punggungku yang bergetar. Perlahan tangisku pun mulai reda ketika Zaki mengajakku untuk pergi dari sana. Katanya, “Lanjutin nangisnya di taman aja ya, Ra. Mejanya gantian sama orang-orang yang mau makan.”
Bisa-bisanya dia menyuruhku untuk menunda tangis yang meledak setelah lima tahun lamanya. Mana aku nurut lagi.
Sesampainya di taman, aku kembali menangis kencang saat Zaki persilakan. Dia kembali kebingungan lagi sambil terus menggaruk-garuk tengkuknya.
Tangisku begitu pecah. Aku merasakan rindu yang memuncak akan kehadiran Bapak. Aku rindu semua hal yang pernah aku lakukan bersama Bapak. Aku rindu hal-hal kecil yang selalu Bapak lakukan kepadaku. Aku rindu bahasa cinta Bapak yang sudah lama tidak pernah aku dapatkan.
“It’s okay untuk terlihat nggak baik-baik aja, Ra. Enggak ada manusia yang kuat di dunia ini. Nangis sepuasmu, saya nggak bakal ninggalin kamu,” ucap Zaki sambil satu tangannya menggenggam tanganku sementara satu tangannya lagi mengusap-usap lenganku.
“Aku kangen Bapak, Ki. Aku ingin Bapak hidup lagi. Aku enggak bisa hidup tanpa Bapak. Rasanya selama ini aku kayak enggak hidup.”
Zaki mengangguk-angguk seolah dia tahu apa yang tengah aku rasakan. Dia menghapus air mata yang membanjiri wajahku. Kemudian dia tersenyum begitu lebar membuatku kesal melihatnya.
“Kalau uang seratus juta bisa hidupin orang yang meninggal, saya juga mau Ayah hidup lagi, Ra.”
Perkataan Zaki membuat tangisku mereda. Aku menatap wajahnya yang ternyata tersenyum kecut.
Di taman yang ramai itu, Zaki akhirnya menceritakan kehidupannya yang tidak kala pahit dari hidupku. Zaki bercerita bahwa dia menjadi anak broken home sejak umur lima tahun. Ibunya pergi meninggalkan Zaki dan ayahnya untuk menikah dengan lelaki lain. Meskipun begitu, Zaki tidak pernah kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Setiap hari ayahnya selalu memasakkan makanan untuk Zaki. Masakan ayahnya tidak enak, kadang hambar, kadang asin, atau bahkan Zaki kebingungan menjelaskan bagaimana rasanya, tapi Zaki selalu makan masakan ayahnya dengan lahap. Bagi Zaki, ayahnya adalah superhero. Zaki begitu sayang kepada ayahnya. Akan tetapi takdir berkata lain, ayahnya meninggal dunia. Zaki terpaksa hidup dengan Ibu dan ayah tirinya, tapi ternyata tidak bertahan lama karena ibunya tidak menginginkan kehadirannya. Zaki berakhir hidup sebatang kara.
“Maaf, Ra. Malah saya yang jadinya curhat,” kata Zaki sambil mengusap matanya yang berair.
“Haruskah kita adu nasib, Ki?”
Malam ini aku luluh juga di hadapan Zaki. Setelah dua kali menangis, yang barusan menangis hebat di hadapannya, kini aku menceritakan semua yang telah aku pendam selama lima tahun. Tentang kebahagiaan dan kehilangan yang paling aku benci.
* * *