Jam di ponsel menunjukkan pukul tujuh malam. Satu jam sudah aku habiskan hanya untuk melamun di taman yang ramai. Aku suka akan keramaian yang tidak menghakimiku, tapi aku benci akan suara berisik mereka. Awalnya aku masih bisa menerima. Namun semakin malam pengunjung semakin berdatangan, seraya berbondong-bondong menghabiskan waktu malam minggu bersama orang tersayang di taman kota adalah suatu kewajiban. Mulai saat inilah aku merasa telingaku sakit sekali.
Sebenarnya aku ingin sekali segera pulang ke rumah, tapi ini baru satu jam dari aksi kaburku, Ibu pasti akan curiga. Jadi aku mencoba membiasakan diri saja dengan keramaian dan kebisingan ini karena sepertinya aku akan sering kemari setiap kabur dari rumah. Mungkin esok saat kembali ke sini aku hanya perlu membawa earphone untuk menyumbat telinga dari bisingnya omong kosong manusia.
“Permisi, Mbak.”
Saat aku sedang berusaha membiasakan diri dengan keramaian dan kebisingan pengunjung taman, tiba-tiba seorang pengamen dengan gitar marun mendatangiku. Dia pengamen pertama yang sejauh ini aku temui di taman ini.
Belum sempat aku mengisyaratkan bahwa aku menolaknya untuk mengamen padaku, pengamen tersebut sudah melantunkan lagu. Aku jadi kebingungan parah karena saat ini aku sama sekali tidak memiliki uang. Saking terburu-burunya aku sampai lupa untuk membawa dompet ikut kabur bersamaku.
Dengan ragu-ragu dan merasa bersalah sudah membiarkannya menyanyi terlebih dahulu, aku pun menangkupkan kedua tangan sambil berucap, “Maaf, Mas.”
Pengamen itu akhirnya berjalan pergi. Ia melanjutkan nyanyiannya ke orang-orang di sebelahku. Aku bernapas lega.
* * *
Seminggu kemudian aku kembali lagi ke taman ini, duduk di tempat yang sama. Aku kembali melamun. Bedanya kali ini aku sudah siap dengan earphone dan playlist top 100 lagu.
Selama seminggu ini kondisiku masih aman. Ibu belum mengetahui ide jahatku. Beliau masih percaya jika aku berpartisipasi menjadi panitia tujuh belasan. Hanya saja saat kami sedang makan bersama, Ibu sering menanyakan bagaimana persiapan acara tersebut. Saat mendapat pertanyaan itu aku jadi yakin akan pernyataan bahwa sekalinya kita berbohong, kita akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Aku pun berbohong kepada Ibu bahwa aku hanya berpartisipasi dalam membuat hiasan setiap hari Sabtu karena bertepatan dengan jatah libur kerjaku, sementara untuk tugas lainnya dilakukan oleh anggota karang taruna. Untungnya Ibu percaya dengan jawaban ngacoku itu.
“Permisi, Mbak.”
Pengamen bergitar marun kembali menghampiriku. Sepertinya dia belum kapok aku tolak seperti sebelumnya. Sebab yang aku tahu pengamen itu memiliki daya ingat untuk mengenali orang yang membayar nyanyian mereka. Mungkin dia pengamen baru sehingga kemampuan tersebut belum dia kuasai.
Untungnya kali ini aku tidak lupa membawa dompet, jadi sembari dia bernyanyi aku pun mengambil dompet. Namun kelegaan itu hanya berselang selama sepuluh detik saja karena setelahnya aku mendapati dompetku tidak memiliki uang receh. Sekarang, aku harus bagaimana? Menolaknya untuk yang kedua kalinya?
Di dalam dompetku hanya ada selembar uang seratus ribu dan selembar uang sepuluh ribu. Memberikan uang sepuluh ribu cukup berat untukku karena itu sudah setara dengan harga seporsi nasi goreng. Memberikan uang seratus ribu sangat berat untukku karena itu sudah setara dengan harga satu novel. Tidak memberikan sepeser pun begitu memalukan untukku karena aku sudah membuka dompet lebar-lebar. Pengamen itu pasti sudah menaruh harapan besar padaku.
Maka dengan berat hati aku merelakan memberi seporsi nasi goreng kepada pengamen tersebut. Hitung-hitung sedekah. Siapa tahu pengamen tersebut belum makan malam sehingga ia bisa membeli nasi goreng setelah menyanyikanku lagu untukku.
Pengamen itu menghentikan lagunya. Dia menatapku dengan mata yang tidak berkedip. Mungkin pikirannya bertanya-tanya, apakah wanita di depannya sedang gila memberi uang sepuluh ribu? Atau mungkin dia bertanya-tanya apakah wanita di depannya meminta kembalian sementara dia belum mendapat uang sepeser pun?
Aku kembali mengulurkan uang sepuluh ribu itu hingga tanganku menjadi lurus. Pengamen itu tersadar, lalu segera mengambil uang pemberianku.
Aku pun kembali menatap ke depan, melanjutkan melamunku yang tertunda.
Pengamen itu tidak pergi dari hadapanku. Dia kembali bernyanyi dengan lagu yang berbeda. Aku terkejut dibuatnya. Ujung mataku melirik pada pengamen itu yang menyanyi dengan wajah ceria. Senyumnya begitu asli hingga matanya ikut tersenyum. Bahkan badannya pun ikut bergoyang-goyang mengikuti lagu yang dia nyanyikan. Sayangnya aku sama sekali tidak mengetahui lagu tersebut. Yang aku tangkap hanyalah, ‘kupetik bintang untuk kau simpan, cahayanya tenang berikan kau perlindungan’ karena sebelumnya aku masih mendengarkan musik dengan earphone yang cukup kencang.
Mengingat tadi aku memberinya uang sepuluh ribu, mungkin pengamen itu sungkan jika hanya menyanyikan satu lagu sehingga ia menyanyikanku lagu lain. Mengingat lagi bahwa aku memberinya uang sepuluh ribu, maka aku biarkan saja dia menyanyikanku lagu kedua kalinya. Anggap saja sebagai ganti seporsi nasi goreng.
Pengamen itu telah menyelesaikan lagu keduanya. Aku kembali menaikkan volume earphone, tapi ternyata pengamen itu tidak kunjung pergi. Dia menyanyikan lagu ketiga untukku. Saat aku menatapnya dengan wajah bingung, dia berucap, “Sepuluh ribu dapat tiga. Kayak di pasar.”
Jujur saja aku sedikit risi. Ini seperti live konser VVIP yang mana penontonnya hanya aku saja. Apalagi saat aku meliriknya, pengamen itu terus menatapku. Aku merinding dibuatnya.
Aku ingin sekali menolak nyanyiannya, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Jadi aku biarkan saja hingga dia menyelesaikan pekerjaannya.
Dua menit berlalu, bertepatan dengan lagu di ponselku yang berhenti, pengamen itu juga telah menyelesaikan lagu ketiganya.
“Makasih banyak, Mbak.”
Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
Dari sudut mataku, pengamen itu terlihat memutar gitarnya menjadi berada di punggungnya. Lalu mataku sedikit melotot ketika kemudian pengamen itu duduk tepat di sebelahku. Dia duduk dengan begitu santainya. Bahkan dia sempat memanggil pedagang air mineral keliling, meneguk sebotol hingga tidak tersisa.
“Tiga lagu ternyata bikin haus juga, Mbak.”
Meskipun aku sudah menaikkan volume earphone, tapi aku masih bisa mendengar suaranya. Sejak tadi aku tidak ada niatan melukai telingaku dengan memakai volume maksimal sehingga aku pilih batas toleran telingaku saja. Makanya aku masih bisa samar-samar mendengar suara orang-orang di sekitarku, termasuk suara pengamen aneh di sampingku ini.
“Mbak lagi dengerin lagu apa?”
Aku tahu betul pertanyaan itu ia tujukan padaku. Namun aku benar-benar tidak ingin meladeni pengamen aneh di sampingku. Jarak duduk kami begitu dekat, mungkin hanya berjarak dua jengkal tanganku. Karena hal tersebut aku jadi merasa risi. Tidak pernah aku duduk berdekatan dengan lawan jenis yang tidak aku kenal. Saat aku merasa risi akan hal tersebut, pengamen itu terlihat nyaman sekali.
“Rate penampilan saya barusan dong, Mbak? Satu sampai sepuluh nilainya berapa?”
Dia benar-benar aneh. Bulu kudukku merinding dibuatnya.
Tidak ingin berlama-lama dalam situasi canggung ini, aku berdiri dan berjalan pergi meninggalkan pengamen yang terus berteriak memanggilku ‘Mbak’.
* * *
Seberapa banyak parfum yang kita tuangkan pada sebuah bangkai pada akhirnya tercium juga. Itulah yang terjadi padaku malam ini. Baru saja aku pulang dari kerja shift pagi, bahkan aku belum berganti pakaian, baru masuk ke rumah, Ibu sudah menyambutku dengan api amarahnya. Beliau berkacak pinggang di belakang pintu, memberikan tatapan tajam kepadaku sambil berkata, “Udah berani, ya, kamu bohong sama Ibu?”
Mendapati Ibu yang berubah menjadi banteng membuatku terdiam membeku.
“Kamu mau jadi anak durhaka, Dara?” Maaf Ibu sepertinya aku memang sudah menjadi anak durhaka karena telah berbohong. “Padahal Ibu cuma mau lihat kamu bisa bersosialisasi sama pemuda kampung sini, Ra. Ibu bosen lihat kamu setiap hari kalau nggak kerja, ya, baca novel. Gitu aja tiap hari sampai Ibu ingin rasanya bakar novel-novel kamu.”
“Maaf, Bu. Dara terpaksa bohong karena Dara beneran enggak bisa bersosialisasi sama mereka.”
“Kenapa enggak jujur aja sama Ibu? Kenapa harus sampai bohong?”
Aku menunduk. Aku tidak mau beralasan.
“Karena kamu enggak mau ketemu sama Mas kamu? Dia Mas kamu, Ra, sampai kapan pun itu!”
Tapi aku tidak ingin menganggapnya sebagai saudaraku.
“Ibu malu, Ra. Ibu malu udah alasan ke tetangga kalau kamu capek kerja terus tiap hari jadi cuma bisa bantu bikin dekorasi, tapi nyatanya kamu enggak ikut jadi panitia. Kamu bohong sama Ibu. Entah itu selama ini kamu bohong, kamu pergi ke mana, Ibu enggak tahu.”
Aku tahu aku salah karena telah berbohong, tapi aku kesal dimarahi Ibu seperti ini. Ucapan Ibu seolah-olah menyudutkanku bahwa aku sebagai anak harus menuruti perintahnya dan mengikuti apa pun pilihannya. Padahal aku juga punya hak untuk memilih apa yang ingin aku lakukan.
“Dara tahu Dara salah, tapi itu juga karena Ibu yang selalu paksa pilihan Dara. Ibu enggak kasih Dara hak untuk milih apa yang Dara mau. Ibu cuma mau Dara kayak apa yang ada di pikiran Ibu dan Dara enggak bisa, Bu, lakuin itu! Dara punya pilihan Dara sendiri. INI HIDUP DARA, BU. BUKAN HIDUP IBU!”
Ibu terdiam setelah aku berkata begitu. Beliau terlihat terkejut karena putrinya yang telah berbohong kini berani membantahnya, bahkan berteriak padanya. Aku juga tidak tahu kenapa kalimat itu bisa keluar dari mulutku. Mungkin otak jahatku sudah memengaruhinya.
Setelah mengatakan kalimat sejahat itu aku berlari pergi ke tempat di mana tidak akan ada yang menghakimiku. Malam ini seperti malam biasanya, para pengunjung taman masih berisik dan bulan di langit masih tersenyum sinis. Yang berbeda adalah aku yang terduduk di taman dengan perasaan bersalah. Apalagi saat mengingat wajah Ibu yang langsung terdiam ketika aku berbicara keras kepada beliau. Mungkinkah sekarang Ibu tengah menangis di dalam kamar? Atau mungkinkah sekarang Ibu telah membentangkan sajadah untuk mengadu kepada Tuhan? Semakin memikirkannya semakin aku merasa bersalah karena telah menjadi anak durhaka. Maafkan aku, Ibu.
“Mbak, kok, nangis?”
Aku tertegun mendapat pertanyaan itu sehingga sontak menengok pada asal suara. Pengamen bergitar marun itu kembali menghampiriku.
“Mbak, kenapa nangis?” Dia bertanya lagi membuat aku memegang kedua pipiku. Benar saja ada air mata yang membasahinya. Secepat kilat aku menghapusnya lalu menggeleng. Itu adalah air mata pertama setelah terakhir kali aku menangis lima tahun lalu. Mendapati bahwa aku akhirnya kembali menangis, membuat perasaan bersalah itu semakin menghantui pikiranku.
“Mau saya hibur, Mbak?”
Aku melirik pada pengamen itu yang menatapku sambil tersenyum. Kemudian dia kembali menyeletuk, “Ini free.” Maka aku diam saja. Tak memberikan penolakan tetapi diamku telah membuat pengamen itu mulai memetik gitar marunnya.
Apa pun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu…
Janganlah kau bersedih…
Cause everything’s gonna be okay…
Lagu ini… Aku pernah mendengar lagu ini sebelumnya. Tapi kapan dan di mana?
Kini aku memberanikan diri untuk melihat penampilan pengamen itu. Penampilannya masih sama seperti pertemuan pertama dan kedua kami. Dia mengenakan kaos hitam dengan celana cargo pendek warna krem. Rambutnya cukup panjang hingga bisa ia kucir sebagian. Melihatnya secara cermat seperti ini membuatku tersadar bahwa dia terlihat keren saat bernyanyi, apalagi saat nge-rap tadi. Petikan jari-jarinya di senar gitar berhasil membuatku terkagum. Dia bertalenta sekali.
Di tengah pertunjukkan pengamen bergitar marun, sekelompok pemuda yang duduk di dekatku ikut bernyanyi. Pengamen itu jadi tersenyum lebar dan semakin menikmati pertunjukannya.
Saat lagu berakhir, tepuk tangan meriah terdengar disusul suara siulan. Dengan malu-malu dia menundukkan badan, lalu duduk di sampingku seperti terakhir kali kami bertemu seminggu lalu.
“Lagu itu, lagu yang Ayah nyanyikan untuk menghibur saya saat Ibu meninggalkan kami berdua. Saya menangis kencang sambil mendorong-dorong pagar rumah yang digembok karena melihat Ibu pergi bawa tas besar, katanya pergi jauh. Ayah angkat tubuh saya masuk ke rumah. Beliau tenangin saya dengan segala cara tapi enggak berhasil. Hingga akhirnya beliau ambil gitar dan nyanyiin lagu ini buat saya. Saya terkagum lihat Ayah jago main gitarnya, akhirnya tangis saya berhenti. Setelah hari itu saya mulai belajar gitar dan lagu ini jadi lagu pertama yang saya kuasai.”
Aku hanya diam menatap lurus ke depan. Badanku kikuk karena selain duduk dengan jarak sedekat ini, pengamen di sampingku juga tiba-tiba menceritakan masa lalunya tentang lagu yang baru saja ia nyanyikan. Aku bingung bagaimana harus meresponsnya.
“Eh… sorry. Malah jadi saya yang curhat. Tapi lagu tadi cukup menghibur, kan?”
Kepalaku mengangguk pelan. Penampilannya tadi memang keren.
Ponsel milikku tiba-tiba berdering. Aku tidak ada niatan untuk mengangkatnya, jadi aku biarkan berbunyi nyaring hingga berhenti sendiri. Namun panggilan masuk terdengar lagi membuat pengamen di sebelahku penasaran.
“Angkat aja gapapa.”
Bukannya aku tidak mau mengangkat karena ada pengamen itu di sebelahku. Aku tidak ingin mengangkat panggilan itu karena aku tahu siapa yang meneleponku. Kontak di ponselku hanya satu, yaitu Ibu.
“Dari orang yang jadi alasan kamu nangis, ya?”
Kenapa pengamen itu bisa dengan mudah menebaknya? Dia dukun apa, ya?
“Saya nggak tahu dan nggak punya hak untuk tahu masalah kamu, tapi saran saya komunikasi saja. Setiap masalah yang ada itu bisa selesai dengan komunikasi. Lihat dia telpon kamu berarti dia tahu kalau dia sudah bikin kamu sedih dan telpon itu tandanya sekarang dia lagi khawatir sama kamu. Dia mau minta maaf sama kamu.”
Dari mana pengamen itu tahu? Sepertinya dia hanya sok-sokan tahu.
Pengamen itu berdiri dan berkata, “Angkat saja telponnya, Mbak. Saya pamit mau ngamen.” Lalu dia berjalan pergi, menghilang ditelan lautan manusia.
Kepergian pengamen itu membuatku kembali melamun. Bayang-bayang amarah Ibu dan perkataan kasarku terus berputar, lalu berganti dengan perkataan pengamen tadi tentang komunikasi. Aku tahu aku salah, tapi aku sama sekali tidak menunjukkan penyesalanku. Sementara Ibu, beliau menunjukkan rasa bersalahnya dengan meneleponku. Ibu benar-benar membuatku semakin merasa bersalah.
Aku mengambil ponsel dalam ransel miniku. Dua panggilan tidak terjawab dan empat pesan masuk dari Ibu. Dengan yakin aku menekan tombol telepon. Sesaat setelah Ibu mengangkatnya, aku menangis sambil berucap, “Maafin, Dara, Bu.”
Ibu juga terdengar menangis dari suara seraknya yang menyuruhku untuk cepat pulang. Setelah panggilan terputus, aku segera memesan ojek online agar cepat sampai di rumah. Aku tidak sabar memeluk Ibu.
Malam itu berkat pengamen bergitar marun, akhirnya aku berbaikan dengan Ibu. Kami saling mengeluarkan isi pikiran kami. Tentang aku yang ingin hidup dengan pilihanku dan tentang Ibu yang merasa sedih melihatku tidak seceria dulu lagi. Aku katakan pada Ibu jika aku akan bahagia dengan pilihanku karena aku yang tahu tentang hidupku. Ibu mempercayaiku. Kami pun sepakat untuk memahami pilihan satu sama lain. Malam itu kami akhiri dengan menyantap capcay mie buatan Ibu yang enaknya tiada tanding.
Aku ingin berterima kasih kepada pengamen itu. Mungkin besok.
* * *