"Hito…”
“Dua hari belakangan ini kamu beda banget, Reen. Kalau ada salahnya aku, bilang. Jangan tiba-tiba gini.” Hito menyudutkan wanita tinggi, cantik, dan terkenal karena profesinya menjadi model, juga bagian dari anggota tim basket putri SMA unggulan ibu kota itu ke dinding, samping sebuah restoran dalam sebuah gang.
“Oke. Aku harus bilang jujur kalau udah gini, To.”
“Bilang. Mau bawa-bawa Ethan lagi, iya? Bilang aja kalau kamu masih suka sama dia. Bilang, Reen!” Wajah putih Hito berubah merah padam. Lihatlah bagaimana matanya berkaca ketika menyebut nama Ethan di depan wanita yang paling ia cinta.
“Siapa yang bilang ke kamu?”
“Hah? Bener?” Hito tersenyum miris.
“Siapa?” Aureen mendorong sedikit pundak Hito.
Hito dan Aureen adalah pasangan yang akhir-akhir ini banyak membuat iri media sosial. Keduanya merupakan anak pengusaha konglomerat kota, dengan kehidupan glamour tetapi terkesan elegan. Aureen merupakan salah satu siswi di SMA unggulan ibu kota dan menjadi salah satu pemain basket putri dengan banyak pengikut di Instagram. Aureen seorang model sebuah peragaan busana bermerk, tidak salah jika tinggi badannya begitu ideal, dengan wajah make up tipis natural sehingga terkesan begitu cantik alami seperti blasteran orang Arab.
Ketika disandingkan dengan Hito, selesai sudah semua media sosial ditutup oleh mereka. Pasangan yang begitu serasi ketika bersama. Si cantik dan si tampan. Si model dan si selebgram ibu kota. Sayangnya, hubungan mereka baru satu tahun berjalan. Sayangnya, keromantisan mereka berbeda antara di media sosial dan dunia nyata.
“Anak-anak Great Glory yang bilang,” jawab Hito masih menahan sesak di dada, “Christ yang ngasih tahu semuanya. Aku nggak bisa bilang kamu selingkuh sama Ethan, tapi kayaknya iya.”
“Selingkuh? Oke, aku jelasin Hito karena omongan kamu udah makin ngelantur dan nggak jelas. Pertama, hubungan kita serasa milik kamu. Apa pernah kamu mandang aku tanpa curiga? Tanpa takut aku bakalan punya rasa lagi sama Ethan? Nggak pernah, Hito. Kedua, kamu selalu posesif berlebih. Kamu tahu aku sibuk di dorm karena modeling sama endors. Tapi bisa-bisanya kamu nuduh aku berapa kali coba, tuh? Kamu ngira aku slow respon karena pakai akun palsu buat hubungin Ethan. Kamu nggak waras?! Ketiga….”
“Cukup, Reen.” Hito menunduk pada akhirnya, “cukup...”
“Aku masih suka sama Ethan,” lirih Aureen.
Hito menyunggingkan bibir merah mudanya, lantas mendongak di antara remang cahaya menatap Aureen. Kalimat yang paling benci ia dengar akhirnya keluar juga dari mulut wanita di hadapanya. Ia merasa lelah jika harus dibandingkan dengan Ethan di manapun ia berada.
“Apa kurangnya aku? Aku kasih semua waktu aku buat kamu, Reen. Astaga. Sakit banget, Reen,” suara Hito melemah dan serak.
“Kurangnya kamu? Kamu selalu ngaitin perasaan aku sama Ethan. Aku udah usaha Hito biar lupain Ethan seiring aku nyoba jatuh cinta sama kamu. Tapi kamu masih aja nuduh aku suka sama dia. Sekarang kamu puas setelah tahu aku masih suka dia? Ini kan yang kamu mau?!” Aureen mengeraskan sedikit suaranya.
“Maafin aku.”
“Nggak cuma sekali kamu Hito. Ini udah buat aku muak. Kalau aku nggak bisa dapetin Ethan, seenggaknya aku nggak mau nurutin cemburuan kamu ke Ethan, iri kamu sama dia, ketakutan kamu bersaing sama dia. Dia sahabat kamu, Hito! Sadar!” Aureen meraih rambut Hito lembut, seolah mencoba menyudahi pikiran buruk Hito selama ia menjadi kekasihnya. Aureen lelah menghadapi Hito yang kekanak-kanakan untuk apapun yang menyangkut soal Ethan.
“Aureen, please kasih aku kesempatan. Aku bakalan benci diri aku sendiri kalau kamu tetep putusin aku. Tolong… aku cinta banget sama kamu, Reen.”
“Bohong. Kamu bakalan pergi nemuin Ethan, setelah ini. Aku kenal kamu Hito. Aku kenal kamu, aku tahu kamu. Buat Christ anak Great Glory sekolah kamu, oke dia pernah mergokin aku nemuin Ethan di lapangan basket kota. Itu kan dasar kamu bilang aku selingkuh sama dia. Ethan nolak aku karena kamu. Sadar, Hito. Ayo. Aku capek.”
Hito pasrah kali ini. Bayangannya penuh akan wajah meledek Ethan. Ingin sekali ia memukul wajah pria itu. Sudah sejak lama. Bahkan dalam segala hal. Percintaan, persahabatan, bahkan keluarga. Ayah Hito selalu membanggakan Ethan. Hito selalu bertanya, apa hebatnya Ethan. Tetapi nyatanya, ia selalu kalah. Bahkan ketika Ethan hanya duduk dengan melipat tangan di dada. Seringan itu hidup Ethan? Tidak sebanding dengan Hito yang banyak membuang keringatnya untuk mengejar apapun yang ia suka. Jemari putih Hito terkepal kuat.
“Kita putus, ya. Makasih Hito buat semuanya. Aku sayang kamu, tapi aku capek ngadepin kamu. Aku juga masih suka sama Ethan. Please, jangan pukul dia. Jangan nemuin dia. Ini murni salah aku. Aku pergi ya, Hito. Selamat malam.”
“Reen…” lirih Hito memejamkan mata ketika jemari lembut dan harum Aureen menyentuh wajah dan dagunya. Tidak, jemari itu terlepas dalam genggaman Hito bersamaan dengan air mata pecundangnya yang menetes. Ini sangat memalukan. Manusia semacam Hito kehilangan cintanya.
“Aureen! Jahat banget kamu, Reen! Sialan, Aureen!!” Hito melolong di gang sepi menatap siluet cantik Aureen yang pergi meninggalkannya dan menghilang di balik tembok restoran.
Pria itu berteriak sekuat yang ia bisa. Malam itu, Hito menendang-nendang dinding restoran dan memukul-mukul kepalanya sendiri. Bayangan Hito melayang pada satu tahun lalu ketika ia menyukai Aureen yang sedang mengejar-ngejar cinta Ethan. Bodohnya, ketika Aureen gagal mendapat perhatian Ethan yang ketika itu belum dapat melupakan Saskia, Hito akan datang memeluknya. Menjadikan Aureen prioritasnya, padahal jelas Aureen begitu menyukai Ethan. Hito berjanji akan membuat Aureen melupakan Ethan dengan cintanya yang tak kalah besar. Ketika Aureen jatuh dalam pelukannya, tetap saja Ethan masih mengisi hati dan pikiran kekasihnya.
Lantas ini semua salah siapa? Salahnya yang terlalu naif dan bodoh? Hito tidak tahan. Ia bergegas pergi menuju mobilnya, lantas membelah jalanan kota dengan klakson kendaraan lain yang bising terarah padanya. Ke mana lagi tujuannya? Jika bukan perumahan elite ramai pusat kota. Ethan. Seperti apa yang Aureen katakan. Hito akan tetap menjadi Hito yang tidak dapat menahan emosinya.
***
Ethan berhenti menggeser layar ponselnya pada akun Instagram milik Genta. Akhir-akhir ini ia sering mencari informasi di akun Genta, meskipun ia tidak menemukan apapun yang ia inginkan. Bagaimana bisa dua orang saling berdekatan, namun tidak saling mengikuti akun Instagram masing-masing?
Pria dengan kaos putih itu dibuat penasaran. Wanita yang datang bersama Genta suatu hari di parkiran. Tatapan wanita itu selalu terasa aneh padanya. Ethan sangat ingin mencari tahunya beberapa hari belakangan ini. Ia mengacak rambut frustasi sesekali menghisap pod vape dalam mulutnya.
“Den Ethan.”
“Iya, Mbak?”
“Ada Den Hito di depan.”
“Hito? Suruh masuk aja ke kamar, Mbak. Kayak biasa.” Ethan menutup ponsel dan meletakkan pod vape-nya di atas meja belajar.
“Katanya mau di luar aja, Den.”
Ethan menghela napas kasar, sebelum bangkit dari kursi, “sialan, emang bocah,” umpatnya lirih.
“Mana?” tanya Ethan sesampainya di luar kamar pada pembantu rumahnya.
“Di luar, Den. Tapi… Den Hito-nya berantakan banget atuh, Den. Kayak lagi ada masalah. Pelan-pelan aja ngomongnya, Aden, ya.”
Mendengar itu, Ethan langsung menuruni anak tangga. Jangan sampai hal yang ia takutkan datang juga. Ia akan menjelaskan rumor apapun yang sudah sampai di telinga Hito. Harapannya, semoga masih tepat waktu. Jikapun tidak, ia sudah tahu apa akhir dari pertemanan ini.
Ethan membuka pintu putih rumahnya dengan tergesa. Pemandangan yang langsung ia dapati adalah sosok Hito dengan rambut berantakan yang sedang menyandarkan tangan kanan pada pintu, dengan kepala menunduk. Melihat sendal Ethan di depan matanya, Hito menyeringai, sebelum mendongak menatap pria itu.
“Lo nggak papa, To?” tanya Ethan meraih pundak Hito. Kali ini Hito tahu jika Ethan sungguh khawatir padanya. Nada bicara anak itu terdengar sangat serius ketika bertanya.
“Bisa keluar bentaran?” tanya Hito dingin.
“Iya, gue ikut lo.”
Hito membalikkan badan, lantas berlalu. Ethan sendiri langsung menutup pintu rumahnya dan mengekor langkah Hito menapaki halaman rumahnya. Kedua pria itu keluar dari gerbang rumah Ethan, sampai di jalanan kompleks perumahan yang sepi. Seketika Hito berbalik, yang membuat Ethan menghentikan langkah.
“Gue putus sama Aureen.” Hito masih menundukkan kepala.
“Sumpah? Kenapa?” Ethan tahu alasannya, jelas ia tahu. Namun, ia pun bingung bagaimana bisa Hito semudah itu melepas wanita yang ia cintai.
“Kenapa? Jangan pura-pura bodoh, Than. Udah.”
“Gue?”
“Siapa lagi?”
Ethan menggigit bibirnya sendiri sambil menelan saliva kasar, “gue nggak ada apa-apa sama Aureen. Gue berani bersumpah.”
“Lo ketemu sama dia di lapangan basket kota. Ngapain?”
“Dia yang ngajak ketemu, buat bahas lo.”
“Oh, ya?” Hito melangkah mendekat pada Ethan yang tidak bergerak mundur sama sekali, “bahas gue atau bahas kalian? Jangan pikir gue nggak tahu lo sering balesin chat dia. Dia juga sering lari ke lo kalau lagi ada masalah. Pertama di halte waktu kehujanan, dia nggak ngehubungin gue, tapi lo…” Hito sesak mengatakannya. Berbulan-bulan ia menyembunyikan semua ini di hadapan kekasih dan sahabatnya, tetapi ia rasa semuanya sudah berakhir. Hito terlalu lama menahannya sendiri.
“Kedua, waktu dia habis party sama temen-temennya di Benanda, dia mabuk, dan yang dia hubungin itu lo. Akhirnya lo dateng juga nganterin dia sampai rumahnya. Ketiga…” Hito meraih pundak Ethan, “waktu bokapnya sakit, orang pertama yang selalu dia hubungin itu lo meskipun itu tengah malem, dan akhirnya lo nemenin dia di rumah sakit semalaman, keempat…”
“To, udah,” potong Ethan, “banci banget, lo. Ngapain? Gue bisa jelasin, buat tuduhan lo yang nggak berdasar ke dia ataupun gue.”
“Jelasin, sebelum gue pukul muka lo.”
Ethan tahu ini akan percuma, tetapi setidaknya, jika malam ini ia babak belur, ia tak akan melawan Hito. Meskipun itu akan sangat mudah baginya. Membuat Hito mendekam di blangkar rumah sakit pun dapat dengan gampang ia lakukan. Namun, Ethan tahu ini bukan sepenuhnya salah Hito. Ia akan lebih menahan diri untuk tidak balas memukul pria putus asa di hadapannya.
“Lo tahu dari awal kalian deket karena dia yang ngejar gue? Dia nerima lo karena hargain semua perjuangan lo buat dapetin dia, To. Gue selalu tekanin ke dia jangan sampai nyakitin lo, karena lo temen gue. Dia janji sama gue nggak akan lakuin itu. Tapi bodohnya lo, lo bukannya buat dia lupain gue, lo malah nekan perasaanya dia seolah lo dengan gampangnya nuduh dia masih main perasaan sama gue. Jelas lah, To. Dia masih cinta sama gue, bego. Maka dari itu, tugas lo buat dia lupa, bukan jebak dia sama rasanya dia ke gue terus-terusan.”
“Wajar aja…” Ethan melanjutkan, “kalau dia nggak bisa percaya sama lo, dan selalu minta tolong ke gue kalau ada apa-apa. Lo selalu mentingin diri lo sendiri. Lo nggak bisa percaya sama dia, tapi lo nuntut dia buat percaya sama lo. Sampah lo, Hito.”
“Ethan!!”
Satu pukulan tepat mengenai wajah Ethan. Bahkan Ethan yang tidak siap langsung terjatuh ke paving kompleks. Ia sendiri tidak menyangka jika pukulan Hito kali ini begitu serius sampai membuatnya hilang keseimbangan. Bahkan seolah tidak ingin membuat Ethan sedikit mengambil napas, Hito langsung meraih kaos putih Ethan yang terkapar di bawahnya, lantas dipukul wajahnya beberapa kali.
Ethan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membalas pukulan apapun. Hito begitu marah padanya. Pria itu hilang kendali dan akan lebih memalukan jika Ethan balas memukul Hito. Ia tidak ingin persahabatan mereka hancur karena memperebutkan wanita yang Ethan saja tidak pernah meliriknya sama sekali. Jadi, ia memutuskan untuk menerima semua pukulan keras di wajah dan kepalanya sampai rasa pusing menyerang dirinya.
“Kenapa, Ethan! Kenapa lo mesti ada di dunia ini, sialan! Kenapa lo selalu dapet semua yang lo mau! Lo manusia serakah! Kenapa gue selalu kalah sama lo, Ethan?!” Hito memukul kencang rahang Ethan, sampai membuat pria itu terbatuk dan sedikit mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Apa?” tanya Ethan dengan mata terpejam, “kalah? Kita nggak… bersaing,” napas Ethan terengah.
“Hito! Udah, woy!” Saka menarik jaket Hito kasar, sampai membuat pria itu terbangun dari atas tubuh Ethan, “lo mau bunuh dia, hah?!”
Saka hampir tidak percaya ketika melihat Ethan hanya mampu menerima pukulan Hito. Tidak seperti biasanya, Ethan memilih mengalah dihajar separah itu, apalagi di tangan Hito. Saka buru-buru berlari dari rumahnya mengenakan sandal jepit dengan kaos oblongnya menuju rumah Ethan ketika Aureen memberikan pesan padanya di Instagram. Benar saja dugaan Aureen jika Hito ada di sini dan Saka sudah terlambat.
“Awas, Ka!”
“Hito lo gila?!” Saka menahan tubuh Hito sekuat tenaga, “itu cuma cewek, To. Lo malu-maluin, bego! Ethan nggak salah apa-apa.”
Lagi dan lagi. Hito merasakan sakit berlebih ketika temannya pun tetap mendukung Ethan. Hito melepas kasar lengan Saka yang menahanya. Mungkin kesabaran Hito sudah pada akarnya. Mata Hito memerah akibat menahan tangis yang dapat Saka lihat dengan jelas sisi sakitnya.
Saka mengerti keadaan di tempat ini begitu rumit. Tetapi ia lebih menyalahkan dirinya sendiri ketika terlambat memastikan Ethan baik-baik saja. Baginya, Ethan adalah saahabat sekaligus keluarganya. Ia akan selalu berdiri satu langkah di depan Ethan jika terjadi sesuatu padanya. Kini, ia melihat pria itu terkapar bahkan tidak sanggup membuka mata karena bengkak dan memar di wajah. Saka semakin berdecak kesal.
“Berhenti kenal sama gue di sekolah atau di manapun, Ethan,” lirih Hito dengan satu air mata yang lolos jatuh ke wajahnya.
“Hito tolong, To. Jangan ngomong gitu, To. Lo apaan banget, gila.” Saka mencoba meraih jaket pria itu ketika berbalik hendak pergi.
“Ka, kita juga selesai. Jangan lagi. Gue keluar dari basket. Bilangin sama Pak Ali.”
“Sialan, basket butuh lo, To. Jangan egois, hey.” Saka ikut tersulut emosi, “bentar lagi pertandingan.”
“To…” lirih Ethan, “sorry…”
Hito terluka mendengarnya. Saka pun jauh lebih terkejut. Ethan bahkan mengucapkan kata maafnya terlebih dahulu. Saka tidak habis pikir jika Hito masih saja egois dengan dirinya sendiri, bahkan ketika seorang seperti Ethan mau merendahkan dirinya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada Hito.
“Maaf, Saka. Gue emang egois. Tapi gue mikir pakai logika. Gue nggak bisa.” Hito melepas cekalan tangan Saka kasar, sebelum membalikkan badan dan berlalu. Tidak dapat dibohongi jika kini Hito lebih merasa sakit ketika mendengar ucapan maaf yang sangat ingin ia dengar dari mulut Ethan selama ini. Bukannya ia merasa menang, tetapi justru pernyataan lirih Ethan lebih melukai perasaannya yang semakin memperjelas semua sisi buruk dirinya. Hito sebagai seorang pecundang.