Lebih baik gue nggak lahir ketimbang hidup nyokap harus berantakan.
Adalah tweet netizen yang sempat viral di platform media sosial X beberapa hari lalu, yang langsung menyulut api berdebatan di antara warganet lainnya, termasuk Raina sendiri.
Namun, jika pada awalnya dia menganggap kalimat tersebut terlalu jahat, seolah mengerdilkan perjuangan orang tuanya, maka kini berbeda. Raina merasa seperti kedua pipinya ditampar bolak-balik dengan sangat keras. Apalagi saat dia mengetahui bahwa kelahirannya bukan hanya tidak direncanakan, tetapi juga telah menjadi sumber kehancuran mimpi-mimpi ibunya.
Kilas balik masa kecilnya muncul bagai potongan film, menampilkan betapa kejam dunia menghantam sang ibu. Yang langsung disambung pengandaian-pengandaian lain; andaikan saja Rindu tidak hamil, andaikan Rindu mau mengaborsinya, andaikan Rindu tidak memilih menikahi Siswoyo. Bukan tidak mungkin Rindu sedang duduk di rumah besar, punya karier yang bagus dan bertemu pria baik, kemudian membangun keluarga yang bahagia.
Rindu tidak perlu menghabiskan seumur hidup dalam kemiskinan, pengabdian semu pada lelaki jahat –yang entah kenapa kini justru membuat Raina kasihan –dan mengalami KDRT. Luka di perut ibunya tidak mungkin ada. Paling mentok berganti luka operasi sesar.
“Kenapa?” Di atas kasur kamarnya Raina terbaring, memeluk guling. Isak tangis membuat napasnya pendek dan sesak. “Kenapa, ya Allah? Kenapa harus aku? Ini nggak adil.”
Sebagai anak yang tumbuh dalam keluarga beracun, Raina kecil memang pernah berdoa jikalau Tuhan mau menukar ayahnya dengan ayah lain. Yang tidak jahat, yang tidak gemar memukul dan mau mengajak dia dan adik-adiknya pergi ke pasar malam setiap akhir pekan, sama seperti ayah teman-temannya. Namun, jelas bukan ini yang Raina mau.
*_*
Sementara itu, di balik pintu Rindu hanya bisa membujuk putrinya keluar dengan penuh kesabaran. “Sayang? Nak? Raina? Buka pintunya sebentar ya? Kita bicara dulu.”
“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Bu!”
Mendengar suara serak sang anak, hati Rindu semakin pilu. “Maafkan Ibu ya, Sayang. Ini semua salah Ibu.
“Ibu sama sekali tidak menduga kalau semua akan jadi begini. Ibu hanya ingin kamu punya kehidupan normal, tapi Ibu malah memberimu keluarga yang seperti ini. Sekali lagi maafkan Ibu ya, Rain.”
“Ini bukan salah Ibu!” Raina kembali menyahut, meski belum ada tanda-tanda kalau pintu akan dibuka. “Aku yang salah. Harusnya aku nggak ada. Harusnya aku nggak usah lahir, Bu.”
“Nggak! Nggak!” Rindu menggeleng cepat, menempelkan tangannya ke permukaan pintu. “Kamu nggak boleh bicara seperti itu, Sayang! Ibu menginginkanmu! Kamu harta Ibu yang paling berharga.
“Kamu mungkin dihadirkan terlalu cepat, tapi Ibu nggak pernah menganggap kamu kesalahan. Kalau mau dicari siapa yang salah, maka itu Ibu orangnya.”
Klek.
Rindu terkejut saat detik berikutnya Raina muncul dari dalam kamar, lengkap dengan rambut acak-acakan kan selimut yang menutup badan. Dia menghambur, memeluk Rindu sebelum akhirnya kembal tersedu-sedu. Sangat pahit.
“Oh, Sayangku!” Rindu menyambut, mengelus rambut keriting Raina sambil menciuminya beberapa kali. “Rainaku. Jangan nangis ya, Sayang.”
Raina menganguk dengan muka masih menempel di pelukan ibunya, membuat kaos yang dikenakan sang ibu basah oleh ingus dan air mata.
*_*
“Lo serius?” Kaget, Malaikat Maut yang tidak percaya mengulang pertanyaannya, mengonfirmasi tahu-tahu kalau seandainya pria itu hendak mengubah jawabannya. “Ini tinggal tiga hari lho.”
Daripada menjawab, Randy justru memilih mengalihkan pandangannya ke arah gedung perkotaan di kejauhan. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, kontras dengan air matanya yang menggenang. “Seenggaknya gue mau mati tanpa penyesalan.”
“Oke!” Malaikat Maut menjentikkan tangannya ke udara, lalu berkata, “Kalau begitu sampai bertemu lagi. Gue masih banyak pekerjaan. Dah!” Lalu, dalam sekali jentikan dia menghilang.
*_*
Setelah bersusah payah mencari tumpangan, Randy akhirnya bisa tiba di kontrakan Raina. Akan tetapi, begitu dia sampai di mulut pintu yang menyambutnya adalah Rindu. Wanita itu tengah menyapu, sementara di atas kompor tampak pula panci yang sedang merebus sesuatu.
Suasana di sana cukup sepi. Leon sudah dipastikan pergi bekerja, sedangkan Raina tengah meringkuk di atas ranjang, yang bisa langsung Randy lihat dari pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Di kening Raina terlihat juga sebuah lap basah sebagai kompres.
“Raina?” Randy berlari menghampiri, spontan hendak menyentuh kepala gadis itu tetapi sia-sia. “Kamu kenapa? Sakit?”
Tidak ada jawaban, mata Raina terpejam.
“Ya Tuhan,” sesal Randy.
Tidak bisa dimungkiri, situasi ini pastilah akan sangat sulit untuk Raina hadapi.
Sesuai dugaan Randy, putrinya terguncang. Inilah alasan mengapa dia tidak mau jujur sejak awal. Karena dosa yang Randy lakukan sudah kelewat besar. Kata maaf jelas tidak akan cukup untuk menghapusnya. Dan dia pun sadar betul kalau sampai kapan pun dosanya tak akan pernah diampuni.
Namun di sisa waktunya, setidak-tidaknya, Randy hanya ingin berada di sisi Raina dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Mungkinkah ini dorongan sindrom menjadi orang tua?
Tidak lama, Rindu datang membawa nampan yang kemudian diletakkannya di atas meja kecil di depan pintu, sebelum akhirnya menghampiri putri mereka. “Bangun, Rain. Sarapan dulu. Ini Ibu buatkan kamu sup jagung.”
“Aku nggak lapar, Bu!” Raina merintih.
Rindu mengambil kain kompres, lantas menempelkan punggung tangaannya untuk mengecek suhu tubuh Raina. “Sudah agak mendingan. Makan sedikit saja. Biar kamu bisa minum obat. Ya?”
Raina mengangguk. Penuh kehati-hatian tangannya menopang tubuh, yang langsung disambut oleh Rindu untuk dibantu duduk.
“Pelan-pelan, Rain!” ucap Randy cemas. “Masih pusing?” Yang langsung mendapat lirikan tajam, tetapi tak seperti sebelumnya, Raina hanya diam sebelum akhirnya menoleh ke arah lain.
“Ibu?”
Rindu menjawab, “Ya? Sebentar ya, Nak, Ibu ambil dulu makanannya. Mumpung masih panas. Enak. Tadi di depan ada yang jual jagung manis, karena Ibu ingat kamu lagi nggak enak badan, makanya Ibu beli. Dihabiskan.” Lalu, membawanya mendekat sambil mengaduk-aduk dan meniup isinya lembut. “Aa!” Yang segera dibalas dengan mulut terbuka lebar oleh Raina. “Aem. Panas?”
Raina menggeleng. “Pahit.”
“Nggak apa. Tetap harus dimakan!” bujuk Rindu. “Kalau kamu nggak makan, badanmu tidak akan mendapatkan energi. Ingat apa kata nenekmu? Orang sakit itu energinya diambil penyakit. Bagaimana mau melawan penyakit kalau kita nggak punya energi, ya kan?”
“Aku bukan anak kecil, Bu!” Tawa Raina mengembang. “Oh iya, aku kemarin lupa mau tanya ini ..., adik-adik nggak apa ditinggal di rumah sendirian?”
Rindu kembali menyuapi Raina. “Mereka paham. Alhamdulillah. Ibu bilang mau berobat di Jakarta.”
Tentu. Mana mungkin Rindu memberitahukan alasan konyol ini kepada adik-adiknya, pikir Raina. Bisa gempar nanti mereka.
“Terus, kapan Ibu pulang?”
Tangan Rindu berhenti mengaduk, kemudian menoleh. “Kamu nggak senang Ibu di sini?”
“Bukan itu. Aku senang kok.”
“Terus?”
Raina menunduk. “Aku mau ikut.”
“Ikut ..., pulang?” Melihat anaknya mengangguk, Rindu segera menyambung pertanyaan, “Bukannya kamu minggu depan harus masuk asrama? Kalau kamu pulang apa nanti nggak bolak-balik?”
“Ibu kamu benar, Raina.” Randy ikut bicara, tetapi kembali diabaikan. “Mimpimu sudah di depan mata lho. Nanti kamu malah capek di perjalanan sementara begitu masuk asrama bakal ada banyak banget kegiatan.”
Raina menyentuh tangan kiri ibunya, menggenggam hangat. “Kalau aku nggak lanjut, Ibu marah?”
“Maksud kamu ..., nggak lanjut kompetisi?” tanya Rindu retorik. “Subhanallah, Raina.” Dia membelai rambut keriting Raina. “Kenapa Ibu harus marah? Kalau memang kamu nggak nyaman dan mau pulang, ya nggak apa-apa. Tapi kamu yakin? Bukankah ini impian kamu?”
“Apa ini gara-gara aku?”
“Ini bukan karena ayah kamu, kan?”
Randy dan Rindu bertanya hampir bersamaan, yang langsung dijawab Raina menggunakan helanaan napas panjang. “Dia bukan ayahku!”
Dar!
Kilatan petir menyambar di depan muka Randy. Tepat di ujung hidungnya. Begitulah yang dirasakan pria tersebut saat mendengar pernyataan Raina. Yang sebenarnya tidak mengherankan.
“Sayang,” Rindu meletakkan mangkuk ke lantai, dan balas menggenggam tangaan Raina. “Dengarkan Ibu! Kamu nggak bisa mengelak fakta ini, Sayang –“
“Ibu!”
“Randy tidak salah apa-apa!”
“Dia ninggalin Ibu.”
“Karena dia tidak tahu kamu ada!” jelas Rindu. “Ibu yang salah karena tidak pernah memberitahunya, Raina. Kalau kamu mau menyalahkan seseorang, salahkan Ibu! Bukan ayahmu.”
“Tapi dia brengsek, Bu!”
“Rain!” bentak Rindu. “Kamu nggak boleh bicara begitu tentang ayahmu.”
“Nggak, Bu. Dia bukan ayahku!” Mata bengkak Raina kembali berair. “Aku nggak mau punya ayah yang gila kayak dia! Ibu tahu kan dia hobi nyakitin perempuan?
“Dia punya banyak banget pacar, Bu! Dan asal Ibu tahu, dia koma juga karena itu. Karena kelakuannya sendiri. Orang kayak dia mending mati saja sekalian daripada –“
PLAK!
Bukan hanya Raina, Randy pun tak kalah tersentak saat Rindu tiba-tiba saja menjatuhkan tamparan keras ke pipi kemerahan anaknya.
“Jaga mulutmu, Rain! Ibu nggak pernah ngajarin kamu bicara begitu.”
*_*
Maria menggeleng, kemudian memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. “Dia masih nggak mau..”
Membuat Dion yang sejak tadi duduk di seberangnya hanya bisa menghela napas tak kalah kecewa. “Ini pasti berat banget buat Raina.”
“Jujur sampai sekarang gue masih nggak percaya kalau Kak Randy sudah punya anak seusia Raina. Kayak mimpi.” Maria menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang diletakkan di depan. “Harusnya sejak awal kita curiga karena cuma Raina yang bisa lihat Kak Randy.”
“Ya siapa yang bakal berpikir sejauh itu, Mar!” sahut Karin dari samping suaminya. “Apa lagi Randy juga nggak pernah cerita apa-apa tentang masa lalunya.”
*_*
“Raina, tolong pikirkan dulu semuanya matang-matang!” kata Randy saat melihat putrinya itu memasukkan pakaiannya ke dalam ransel. “Jangan hanya gara-gara aku lalu kamu mau menyerah begitu saja. Kompetisi ini nggak ada kaitannya sama sekali denganku.
“Ini mimpimu, Raina. Kamu harus kejar impianmu. Jangan sampai kamu kehilangan momen emas ini. Belum tentu kesempatan datang dua kali, Rain.”
Tidak menanggapi, Raina melewati Randy begitu saja saat hendak berjalan ke lemari plastik di seberang ruangan. Bersikap seolah-olah Randy tak pernah ada.
“Rain, tolong jangan begini. Aku mohon,” pinta Randy. “Kamu boleh marah padaku tapi jangan berhenti nyanyi hanya karena aku. Jangan sia-siakan bakatmu, Raina.”
“Bakat?” Alih-alih sebagai respons, cara Raina mengucapkan kata itu lebih terdengar seperti gumaman.
“Nggak semua orang punya bakat kayak lo, Rain. Lagian, lo pulang kampung mau apa di sana? Kerja di sawah? Ya ampun, Raina!” Randy kembali mendekat tetapi lagi dan lagi dihindari oleh Raina. “Tolong jangan siksa gue kayak begini, Rain.
“Lo boleh marah dan nggak ngakuin gue sebagai bokap lo, tapi jangan hukum diri lo sen –Argh!” Randy memegangi dadanya yang mendadak nyeri.
Seperti ada paku yang sengaja ditancapkan ke jantungnya, Randy terjatuh. Melihat pemandangan tersebut, Raina hanya tersenyum kecut. “Nggak usah drama. Gue nggak akan ketipu.”
“Argh!” Randy yang kesakitan menggelepar, persis seperti ikan kehilangan air. Mungkinkah ini sudah waktunya? Tapi bukankah ini belum waktunya? “Ra –“
“Ran?” Raina meletakkan jaket di tanganya kembali ke dalam lemari, lalu mendekati pria itu. “Lo beneran?”
*_*
“Dokter! Tolong anak saya, Dok!”
Mardian yang sedang menjaga Randy sontak terkejut saat mendapati anaknya tiba-tiba saja tersegal-segal. Dia buru-buru memencet tombol darurat dan berlari ke luar ruangan dengan panik. Yang untungnya, tidak lama tim medis segera datang.
*_*
“Lo kenapa?” Raina memberi peringatan. “Ran? Randy? Astaga!”
Namun, belum sempat Raina memberi reaksi lebih tiba-tiba saja pria itu tersenyum. “Lo khawatir ya?”
“Lo nipu gue?” tuduh Raina ketus. “Nggak lucu tahu.”
Dengan sebal Raina melanjutkan beres-beresnya, lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan Randy.
Dia memang sakit, tapi melihat kepedulian Raina membuat Randy merasa baik-baik saja. Dia tahu dirinya akan mati. Tidak ada yang spesial. Akan tetapi, paling tidak sekarang dia tahu bahwa Raina masih memedulikannya. Raina tidak sepenuhnya membencinya.
*_*
“Apa?” Mardian menutup mulutnya dengan kedua tangan saking terkejutnya. Dia ingin sekali tidak percaya dengan penjelasan dokter, kalau saja bisa. “Ini tidak mungkin kan, Dok? Bukankah kemarin kondisinya sudah stabil?”
“Kami sangat menyesal, Bu.” Dokter muda itu itu menjawab dari seberang meja. “Kami terpaksa memindahkan Mas Randy kembali ke ICU dan akan terus berupaya melakukan yang terbaik.”
“Anak saya akan sembuh kan, Dok?”
“Kita semua akan berusaha. Dan tolong Ibu juga jangan putus doa ya?”
*_*
Sebelum Leon pulang kerja, dan ibunya kembali dari belanja di minimarket, Raina bergegas keluar dari kontrakan. Keputusannya sudah bulat. Kalaupun dia tidak diizinkan pulang kampung, paling tidak dia harus mencari tempat baru yang aman. Tempat di mana dia bisa melupakan semua permasalahan rumit keluarganya.
Beruntung, berbekal bantuan Mbak Indah, Raina bisa diterima lowongan kerja sebagai petugas kebersihan di sebuah klinik kecil di Bandung. Dan rencananya, dia tak akan memberitahu siapa pun. Satu-satunya yang tahu ke mana dia pergi hanyalah Randy, yang bahkan tak bisa memberitahu siapa pun ini.
Raina tak punya pilihan lain.
“Lo nggak bisa begini, Rain. Kasihan nyokap lo. Nanti Rindu pasti akan khawatir. Please lah, Rain, ini ke kanak-kanakan,” omel Randy sebelum Raina naik ke bus. “Seenggaknya lo harus ngabarin nyokap lo dulu.
“Lo itu anak gadis, Rain. Kalau sampai terjadi apa-apa di jalan bagaimana? Rain, tunggu!”