Maria meletakkan shoulder bag abu-abunya ke atas meja ruang tamu sebelum melanjutkan perjalanan ke dapur, menghampiri kulkas empat pintu. Dia mengambil sebotol minuman soda dingin, lalu meneguk isinya sambil duduk di kursi makan. Sesekali dia mengulat, mencoba mengendurkan otot-otot tubuhnya yang kelelahan akibat kurang istirahat.
Sebagai asisten tentu Maria adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Randy, dan meskipun pria itu menyebalkan nyatanya Maria lebih baik mendengar omelannya ketimbang tidak sama sekali seperti ini. Dia bahkan terkadang sering berhalusinasi mendengar suara Randy, melihatnya berjalan di dalam rumah, atau sekadar muncul di mimpi.
Memang benar, ikatan di antara dia dan Randy pada awalnya sekadar transaksi ekonomi tetapi lama kelamaan keduanya menjadi semakin dekat. Randy bahkan membelikannya tiket konser dari boy band Korea favoritnya secara cuma-cuma, membelikannya barang, sampai membantu menyekolahkan dua adik kandung Maria hingga lulus perguruan tinggi. Malah bisa dibilang Randy jauh lebih disayang oleh kedua orang tua Maria, jauh melebihi gadis berkacamata itu sendiri.
“Bagaimana? Sudah ada perkembangan?” tanya Sundari, ibu Maria lewat panggilan telepon.
Maria menempelkan botol plastik penuh air dingin ke kening. “Masih sama. Kata dokter kalau dia belum ada perkembangan sama sekali, minggu depan harus di-trakeostomi.”
“Apa itu buruk?”
“Mungkin akan berdampak ke suaranya,” jawab Maria lemah.
Perempuan paruh baya berambut pendek di layar telepon menghela napas panjang. “Nggak ada yang lebih penting dari hidupnya. Yang penting Randy sembuh dulu, perkara nyanyi itu kan soalan lain. Dia ganteng, bisa lah main sinetron atau semacamnya. Oh iya, omong-omong, orang tua Randy sudah ke sana?”
“Itu dia, Bu. Baik aku maupun Kak Dion sudah coba kontak keluarga ayahnya tapi kata ibu tirinya, mereka sekarang masih ada kerjaan di Belanda. Dan baru bakal balik akhir bulan ini.”
“Benar-benar ya mereka. Anak sendiri kecelakaan malah responsnya kayak begitu. Iya kalau Randy bulan depan masih bisa hidup, kalau nggak? Apa nggak menyesal itu mereka?”
Maria hanya tersenyum kecil. Bukan karena dia hendak menertawakan kemalangan Randy, justru sebaliknya, dia sangat kasihan pada pria muda ini. Karena sekalipun di luar sana ada begitu banyak orang memujanya, nyatanya di keluarganya sendiri Randy justru nyaris tak dianggap.
Ayah yang kaya dan punya segalanya seperti Sandy Bagaskara terlalu sibuk untuk mengurusi Randy. Bahkan menurut cerita Dion, sejak remaja Randy telah hidup sendiri, meninggalkan rumah ayah dan ibu tirinya. Padahal di rumah itu Randy pun sendirian, tidak punya saudara. Kedua orang tuanya lebih mencintai uang ketimbang anak mereka, dan ini bukan pernyataan Maria melainkan sempat dikatakan oleh mulut Randy sendiri.
“Sudah dulu ya, Bu. Aku mau mandi.”
Setelah mematikan sambungan, Maria bergegas membuang bungkus minuman ke tempat sampah, namun begitu benda itu masuk ke tujuan tiba-tiba saja terdengar suara dentuman. Cukup keras sampai-sampai membuat Maria terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Karena tidak masuk akal kaleng seringan itu bisa ...
“Tunggu! Suara apa itu?” Dia bergumam sendiri. “Jangan-jangan penyusup!”
Tangannya meraih tongkat baseball yang ada di ruang tamu, lalu bergegas naik ke lantai dua, arah di mana suara misterius itu muncul. Dan benar saja, begitu sampai di anak tangga terakhir, mata Maria dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang sedang mengorek-ngorek laci.
“SIAPA KAMU?”
Yang dimaksud menoleh, sama-sama kaget.
“PENYUSUP!” Maria berteriak.
*_*
“Kan gue bilang juga apa. Jangan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang! Kalau sudah kayak gini, bagaimana? Lo sendiri kan yang repot!”
Sudah semalaman penuh Raina mengomel, membuat telinga Randy –yang meskipun dia hantu –ingin meledak rasanya. Dia bahkan sampai harus mencari tempat lain untuk istirahat, menenangkan tubuh transparannya dari bombardir tak berkesudahan itu.
Padahal menurut Randy ini hanya spontanitas, mana bisa dia ingat kalau menjadi arwah artinya kehilangan akses pada uang? Karena seharusnya, uang tetaplah uang. Dia yang mengumpulkan uang itu, tidak adil rasanya kalau hanya karena menjadi arwah artinya dia kehilangan semua uangnya.
“Tahu begini gue habisin saja itu duit dari dulu,” gumam Randy. “Lagian itu anak badannya kecil tapi suaranya kenceng banget. Ngidam apa sih nyokapnya pas hamil?” Dia bergidik ngeri. “Kok bisa ada cowok yang mau sama sama cewek kayak begitu? Pantesan lakinya kagak balik-balik, kabur kali ya?”
Sementara itu, amukan Raina juga bukan tanpa alasan. Sebab kalau sampai Raina gagal membawa uang lima ratus juta yang dijanjikan –entah sebanyak apa bila ditumpuk, Raina tak bisa membayangkannya –maka Mona pasti menganggapnya pembohong gila. Selain itu, dia juga masih dicemaskan oleh keberadaan Leon. Karena hingga kini belum ada satu pun kabar yang datang.
“Nanti kalau ada apa-apa pasti gue kabari,” kata Kak Lia saat Raina mampir ke rumahnya kemarin. “Kalian berdua lagi berantem? Ada masalah?”
Raina yang malu hanya bisa menutupi masalahnya. “Nggak kok, Kak. Kami baik-baik saja.”
“Beneran? Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong. Kita di sini keluarga.”
“Baik, Kak.”
“Kehidupan berpasangan memang begitu, Rain, ada saja masalahnya. Jangankan buat lo dan Leon yang masih pacaran, gue sama Mas Yunus saja sampai sekarang masih sering berselisih. Yang penting bukan berapa banyak masalah di dalam hubungan, melainkan bagaimana cara kita dan pasangan bisa melewati semuanya dengan baik.”
*_*
Randy hampir terlelap saat tiba-tiba seseorang menarik tangannya, memaksa pria itu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Di tangah kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Randy merasa dirinya diseret dan dilemparkan sangat kasar. Semua begitu cepat, seolah hanya sekedipan mata. Yang saat tersadar dia baru menyadari bahwa dirinya kini berada di atap gedung rumah sakit tempat tubuhnya di rawat. Tempat itu terlalu mengerikan untuk bisa dia lupakan, termasuk keberadaan perempuan muda bergaya gotik di hadapannya.
Malaikat Maut tersenyum, mengeluarkan sebungkus rokok lalu menyalakan ujungnya. Dia sempat mengisap benda tersebut sebentar, sebelum akhirnya berjalan mendekati Randy. “Bagaimana? Sudah dapat?”
“Tentu!” Meskipun tanpa jasad, entah bagaimana Randy tetap bisa gemetaran. Takut kalau-kalau malaikat gila ini akan membawanya ke neraka. “Gue sudah ketemu sama mantan. Gue tinggal harus ngisi botol ini, kan?”
“Benar!” respon Malaikat Maut sembari manggut-manggut. “Tapi ingat, waktu lo nggak banyak.”
“Iya. Gue belum pikun. Nggak usah diingatkan bolak-balik.”
“Memang lo pikir gue kesenangan ketemu sama lo?” Sekali lagi si Malaikat Maut mengisap lintingan tembakau di tangannya, kemudian memainkan asap bekas pembakarannya menggunakan mulut. “Dengar ya! Kesempatan nggak datang dua kali, kalau lo beneran mau hidup jangan pernah mempermainkan waktu. Sudah banyak orang yang jelas-jelas baik gagal mengambil kesempatan, apalagi lo? Yang bakal lo temui ke depannya bukan satu dua orang, paham?”
Belum sempat Randy menjawab, Malaikat Maut malah menempelkan telunjuk kirinya ke mulut pria itu. Lalu, melanjutkan ucapannya, “Dan satu lagi, gue lupa bilang kalau dalam sepuluh hari pertama lo belum dapat satu poin pun, maka akan otomatis dianggap menolak.”
“HAH?” Bola mata Randy hampir keluar saking kagetnya. “Bisa-bisanya lo nggak bilang ini dari awal?”
“Gue lupa. Pekerjaan gue sibuk, nggak hanya mengurusi lo doang.”
Mendengar keluhan makhluk di depannya yang terkesan santai, Randy semakin kesal tetapi sebagai manusia dia bisa apa? Melawan akan membuat nyawanya terancam. Itulah kenapa begitu malaikat maut yang lebih milih model tersebut melemparkannya kembali ke rusun, buru-buru Randy masuk ke kontrakan Raina.
Raina yang sedang menikmati makan malam menoleh, kaget. “Kenapa lo? Kayak habis dikejar anjing saja.”
Tanpa ba-bi-bu, Randy langsung menceritakan penglihatannya barusan, yang tentu membuat Raina hanya bisa menyerngitkan alis. Antara percaya dan tidak percaya.
“Ada gila-gilanya itu malaikat.” Sama seperti Randy, Raina juga mencemooh makhluk tersebut dengan emosi. Namun, keduanya sama-sama tidak berani mengumpat, takut kuwalat. “Omong-omong, hari ke sepuluh itu kalau nggak salah besok malam ya?”
Randy mengangguk lemah. “Gue belum siap mati.”
“Pada dasarnya memang nggak pernah ada orang yang benar-benar siap buat mati. Bahkan orang bundir saja itu sebenarnya takut sama kematian,” kata Raina sesaat sebelum memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. “Terus, rencana lo apa? Kita nggak mungkin kan dapat uang 500 juta dalam semalam?”
“Bagaimana kalau lo ikut gue ke rumah buat ambil –”
“Nggak!” Raina serta-merta memotong ucapan Randy. “Gue nggak mau ditangkap polisi. Bokap gue memang kriminal, tapi gue bukan.”
Randy berdecih kesal. “Dengerin dulu! Siapa juga yang nyuruh lo nyolong? Gue cuma minta lo masuk ke rumah gue, ambil cek, lalu bawa cek itu ke rumahnya Mona. Begitu doang.”
“Apa bedanya? Sama-sama nyolong, kan?”
“Ini bukan pencurian. Kan gue yang nyuruh!” bujuk Randy lengkap menggunakan mata memelas. Sebagai penyanyi dan bintang film, berakting tidak susah baginya. “Toh, rumah gue kosong. Nggak akan ada yang curiga.” Dia menghela napas pendek, putus asa. “Tapi kalau lo nggak mau ya nggak apa-apa, palingan besok pagi gue bakal mati, terus lo nggak dapat duit dan pacar lo bakal digebukin sama penaih hutang. Masa depan kalian bakal suram deh. Gue mah mati dan nggak punya urusan apa-apa lagi dunia ini. Paling cuma keluarga, teman dan penggemar saja yang nangisin gue.”
Nyatanya, Raina malah melakukan perintah Randy tidak peduli sekeras apa gadis itu berusaha menahan diri pada awalnya. Dan begitulah dia ada di depan rumah Randy kemudian, sebuah rumah tiga lantai yang berada di pinggiran kota. Dan persis yang dikatakan oleh empunya rumah, lingkungan di sana sangat sepi.
Raina sendiri bisa masuk karena Randy memberikan kode akses rumahnya. Hal yang masih tidak bisa Raina terima, mengingat dia orang asing. Tidakkah Randy curiga sedikit padanya?
“Memang lo mau merampok gue?”
“Memang lo nggak takut? Gue anak kriminal lho.”
“Kan lo sendiri yang bilang, yang kriminal itu bokap lo, bukan lo.”
Raina tersenyum kecil. “Tetap saja. Yang orang tahu, gue punya darah kriminal. Dikasih makan duit haram juga.”
“Persetan!” Randy mengajak Raina menaiki tangga. “Lo pikir yang makan makanan haram cuma keluarga lo doang? Gue saja demen.”
“Ya kan haram dan halal kita beda. Eh, ini kita mau ke mana sih?”
Randy menjawab santai, “Kamar gue. Ceknya ada di sana. Bay the way ya, Rain, ini bukan hanya soal boleh minum alkohol atau babi doang.”
“Maksudnya?”
“Soal makanan haram. Keluarga lo hanya kebetulan miskin saja, makanya pas makan uang haram kelihatan.”
Raina yang kebingungan hanya bisa mengerutkan kening. Namun di sini dia hanya menganggap kalau Randy sedang mencoba menghiburnya. Menenangkan Raina untuk meraih hatinya supaya dikasihani. Basa-basi alias tidak tulus.
Sayangnya, setelah hampir dua jam mereka mencari cek yang dimaksud tidak kunjung ditemukan. Malah, dari luar sebuah mobil tiba memasuki pekarangan, memaksa Raina untuk bersembunyi sebelum akhirnya ditemukan oleh Maria.
“MALING LO YA?”
Raina hanya bisa membantu, menatap Maria yang siap menyerangnya dengan pentungan. Tahu-tahu Raina merasakan kepalanya berdenyut, nyeri sebelum akhirnya dia tidak sadarkan diri.