Tiga tahun kemudian …
Raina mengendarai mobilnya—pencapaian lain Mama yang dipercayakan padanya—sedikit lebih cepat dari biasa. Dia terus melirik jam di pergelangan tangan saat lampu merah menahannya untuk kesekian kali. Pukul empat sore lebih lima belas menit. Tidak ada lajur tol ke kota kecilnya yang bisa membawanya sampai lebih cepat. Ck! Gadis berlesung pipi itu berdecak. Akhir bulan selalu sukses membuatnya tertahan di kantor karena sibuk membuat laporan. Padahal ini akhir pekan, yang mana seharusnya dia libur, tapi berujung lembur. Fatalnya, dia ada janji di D'Sunset Coffe senja ini. Janji maha penting! Seharusnya dia sudah bisa pulang kemarin, kalau saja atasannya tidak memberi deadlinekejam.
Cekatan, tangan kirinya meraih ponsel, melakukan panggilan. Deringan terdengar tiga kali, disusul suara seseorang yang tahun-tahun terakhir ini terasa akrab dengannya.
“Udah sampai, Mbak?” Suara itu terdengar ceria seperti biasa.
“Belum. Kayaknya aku agak telat ya, Sof. Lembur.” Raina tidak bisa menyembunyikan nada dongkol.
Sofi tertawa mendengarnya. “Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja, ih. Aku juga ada kuliah susulan ini, baru kelar satu jam lagi. Maaf ya, hehehe.”
“Gitu, oke oke. Kamu kabari Alya aja, ya. Aku lagi nyetir, nih.”
“Siap, Mbak. Hati-hati, ya.”
Raina menutup panggilan dengan senyum mengembang. Rasa tak sabar seketika memenuhi dada, seolah-olah dia baru disuntik seampul endorfin. Sudah tiga bulan dia tidak pulang—kesibukan kerja menyita seluruh waktunya. Ajaib, ada perasaan rindu yang ganjil pada kota kecil yang selama ini dia anggap tak penting. Rindu pada rumah, pada suasananya, pada ketenangannya yang dulu dia sebut sepi. Riuhnya dunia kerja banyak mengubah pemikiran gadis berlesung pipi itu.
Saat gapura selamat datang kotanya terlihat, Raina menekan pedal gas lebih dalam, lurus ke Utara. Sore ini rumah jadi tujuan keduanya. Ada janji temu yang sudah diatur sejak sebulan lalu, di grup WhatsApp berisi tiga orang, yang dinamai Gadis-Gadis Biasa. Rencana itu sudah jadi wacana sejak beberapa bulan sebelumnya. Di kejauhan, kerlip lampu D’Sunset Coffe terlihat indah. Meriah.
"Mbak Raina!" Si pemilik suara ceria menyapa sambil melambaikan tangan begitu Raina memasuki pintu kafe. "Sini!"
Kedua mata Raina berbinar, setengah berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Sandal jepitnya menimbulkan bunyi kecipak-kecipuk menyenangkan. Gadis itu masih mengenakan pakaian formal, dengan hijab melilit leher, sama sekali tidak pas dengan sandal jepit. Tapi, siapa peduli! Sepatu hak tingginya tidak berfungsi di akhir pekan seperti ini.
“Sofiii!” Gadis itu memekik. Sofi menyambutnya heboh dan mereka berpelukan. “Katanya ada kuliah tambahan?”
“Nggak jadi, Mbak, tahu tuh dosenku, labil.” Sofi memberengut.
Mereka saling pandang sejenak, lalu sama-sama tertawa.
“Mbak Raina … ya ampun, cewek independen banget! Aku bilang juga apa, kan, Mbak Raina bisa dapat pekerjaan bagus walaupun tanpa bantuan—”
“Stop!” Raina memotong. “Jangan merusak suasana dengan bawa-bawa nama orang nggak penting.”
Sofi mengacungkan dua jari, tanda berdamai. “Maaf-maaf, Mb—” Kedua mata gadis itu membelalak lebar. Senyumnya mengembang lagi dan tangannya melambai. “Al-Alya? Alya!”
Raina membalikkan badan, mengikuti arah pandang Sofi. Di landasan tangga, seorang gadis berdiri—mengenakan celana jins kasual, tunik berwarna biru muda, dan pashmina kaos warna beige netral. Raina menyadari dirinya juga pangling dengan Alya. Gadis itu terlihat sangat modis, kacamatanya langsung menunjukkan betapa cerdasnya dia, wajah glowing, dan juga tubuh yang agak lebih kurus dibanding saat SMA.
“Mbak Sofi!” Alya menghampiri mereka dengan girang. “Ya Allah, cantiknyaaa. Begini ya, kalau Mawar de Jongh pakai jilbab, apotek semua tutup!”
Raina mengernyit mendengar kalimat Alya.
“Nggak ada obat, Mbak.” Gadis bertahi lalat itu bisa menebak kebingungan Raina. Raina tertawa.
“Nggak. Kamu yang nggak ada obat. Lihat nih, Mbak Raina, cewek yang dulu selalu murung gara-gara siapa itu?”
“Andre,” tukas Raina. “Andre si kutu busuk!”
“Iya, itu maksudku,” lanjut Sofi. “Sekarang udah jadi cewek Jepang. Keren banget kamu, Alya!”
Raina mengangguk cepat. Dia juga setuju sekali dengan pernyataan Sofi. Alya terlihat jauh lebih baik sekarang, seorang gadis muda yang di matanya terpancar masa depan menjanjikan. Kalau dia sudah cukup bangga karena berhasil memperoleh pekerjaan sebagai customer service di bank BUMN dengan kerja kerasnya sendiri, dia lebih bangga pada Alya. Gadis bertahi lalat tersebut berhasil masuk University of Tokyo, belajar geografi, seperti usulan sang ayah. Pada Sofi juga. Gadis berambut ombak itu bahkan terlihat paling baik-baik saja, padahal dirinya yang paling hancur. Sejak menjalani sesi demi sesi dengan psikolog, Sofi memutuskan untuk mengenakan jilbab, menutupi rambut ombaknya yang indah.
“Jadi gimana rasanya tiga tahun di Jepang, Al? Sampai lupa pulang nih bocah.” Raina membuka obrolan begitu mereka duduk di area lesehan. Di hadapan mereka, laut menghampar.
“Luar biasa, Mbak.” Alya nyengir sambil mengeluarkan dua bingkisan dari tote bag-nya. “Aku punya oleh-oleh buat mbak-mbakku sekalian, nih!”
“Wah, apa ini?” Sofi berbinar riang saat Alya mengulurkan bingkisan kecil tersebut.
“Wiiih, Chibi Maruko Chan!” Raina tersenyum semringah. Bingkisannya sudah lebih dulu dibuka.
“Kalian kan penggemar Chibi Maruko. Di grup bilang terus, katanya kalau lagi makan sambil nontonin Maruko,” jawab Alya.
Sofi dan Raina tertawa. Mereka memang sering membicarakan itu di grup. “Iyaaa, ih! Makasih ya, Alya, ori dari Jepang, nih! Bakal kutaruh meja kerjaku,” ucap si gadis berlesung pipi itu.
Pesanan mereka datang. Pelayan yang mengantarnya diikuti Krisna yang sedang berkeliling seperti biasa.
“Sofi, tumben lagi libur ke sini.” Pemuda itu kaget melihat Sofi, yang kali ini duduk sebagai pelanggan.
“Iya, Mas.” Cengiran khas Sofi terbit. “Mau ketemu sahabat-sahabatku.” Dia mengedikkan dagu pada Alya dan Raina.
Krisna mengangguk sekilas, memperhatikan Sofi lekat-lekat. “Apa aku perlu bilang di depan sahabat-sahabat kamu, biar kamu mau nerima perasaanku?”
Sofi tergemap. Raina dan Alya tiba-tiba mematung, saling lirik.
“Kamu kenal aku sejak lama. Kamu tahu betul aku nggak seperti—”
“Maaf, Mas.” Sofi menukas cepat, dengan gelagat kikuk tak enak. “Aku belum siap.”
Krisna mengembuskan napas pasrah. “Aku tunggu sampai kamu siap.” Dan pemuda itu berlalu dari hadapan mereka.
Raina berdeham, memecah kecanggungan yang tiba-tiba mengungkung usai drama singkat barusan.
“Kayaknya Mas Krisna bakal butuh effort lebih nggak, sih?” Alya berargumen sambil melirik Sofi yang masih diam. Gadis itu menggaruk alisnya yang tidak gatal, tanpa menjawab Alya.
“Kelihatannya baik dan tulus, Sof.” Raina menyambung. “Udah tiga tahun, lho. Nggak mau dicoba?”
“Mbak Raina sendiri? Nggak mau nyoba?” Sofi membalikkan pertanyaan.
Raina nyengir sambil memutar bola mata. “Nggak dulu, masih fokus ngejar karier. Nggak ada waktu buat cowok yang cuma mau main-main.”
“Sama, Mbak.” Sofi menjawab. “Kasih sayang buat diriku sendiri udah tercukupi, dari aku sendiri dan keluarga. Belum perlu tambahan lain.”
“Cieee, mahasiswi psikologi. Ngeri banget euy, obrolannya.” Celetukan Alya membuat Sofi tertawa.
“Kalau seseorang datang hanya untuk nambahin beban pikiran dan belum jamin bakal bikin kita lebih bahagia atau nggak, nggak perlu buru-buru diiyain. Aku sih, mau fokus ke diri sendiri dulu. Bahagia sama diri sendiri, selesai sama diri sendiri, baru berbagi kebahagiaan sama orang lain.”
Ucapan serius Sofi membuat Raina dan Alya mengangguk serempak. Di depan mereka, semburat jingga langit mulai matang. Nyanyian ombak berdebur menenangkan. Sebentar lagi, momen indah yang datang setiap hari, hanya sekejap, yang nyaris selalu dilupakan orang-orang atau sengaja dinanti seperti ketiga gadis saat ini, datang. Matahari terbenam.
“Indah banget …” Sofi bergumam.
“Kamu lihat tiap hari kan, Sof?” Raina menyahut.
“Nggak pernah seindah ini, Mbak.”
“That is what friends are for. Bikin semua jadi lebih indah.” Alya menimpali.
Ketiga gadis itu tersenyum. Mereka sepakat, senja kali ini indah sekali.[]