Raina kini mau tak mau percaya dengan ungkapan: orang yang paling dekat denganmu bisa menikammu lebih dalam. Tiwi buktinya. Entah berapa banyak waktu yang mereka habiskan bersama, saling mengeluh dan mencurahkan isi hati. Tak jarang, Raina juga curhat perihal Bagas pada temannya itu. Ketika Bagas selingkuh, bahkan Tiwi turut prihatin untuknya—yang Raina tahu kini, itu hanya topeng.
Gemuruh amarah masih meruah di dadanya. Tak berdandan seperti biasa, gadis itu meraih sembarang pashmina dan jaket, lalu menyalakan motor. Dia tak tahan berada di rumah, sendirian, dalam kenelangsaan yang berlipat-lipat. Setelah memastikan Sofi ada di D’Sunset Coffe, Raina memutuskan untuk ke sana. Dia memerlukan teman bicara agar tidak terlintas pikiran yang aneh-aneh. Akan konyol sekali jika dia terpuruk sedemikian dalam hanya karena buaya muara macam Bagas.
Di perjalanan, Raina berkali-kali menyeka air mata dengan ujung pashmina. Rasa sakit, terutama jijik, tidak terhindarkan. Dia masih tak habis pikir, bagaimana bisa dua orang terdekatnya, yang dia sama-sama percayai, mengkhianatinya tanpa ampun. Kali ini, entah bagaimana nanti Bagas akan memanipulasinya, dia berjanji tak akan terpengaruh. Dia tidak peduli apa pun—ocehan Mama, nasibnya setelah lulus kuliah. Keputusannya untuk putus dari Bagas tak bisa diganggu gugat.
Bagas sudah sangat keterlaluan kali ini. Dia dan Tiwi bahkan tidur bersama, satu hal yang selalu ditampik Raina. Raina mengerti, dengan sepenuh logikanya, hal seperti itu akan merugikan pihak perempuan. Bahkan seorang fatherless yang kata orang-orang akan mudah terbujuk rayu cowok, tidak berlaku bagi Raina. Dia tidak perlu figur ayah yang baik untuk memahami hal ini. Contoh yang bisa dijadikan pelajaran bertebaran ke mana pun dia menoleh.
Selain ekspresi Bagas yang seperti baru saja melihat hantu, Raina juga tidak bisa melupakan isi pesan Tiwi setelah dia mematikan panggilan video itu.
Akuntansi Tiwi
Gimana rasanya, Ra?
Sekali-kali kamu perlu ngerasain yang kayak gini
Masa hidupmu sempurna terus
Punya ortu yang ngasih semuanya, cowok yang jadiin kamu kayak ratu
Emang km siapa sampai hidup ini baik banget? Apa spesialnya kamu?
Pernah nggak, lihat aku? Mesti jual diri biar bisa kuliah
Gonta ganti main sama cowok-cowok yang nggak pernah aku suka
Kamu pikir aku senang kayak gitu?
Sementara kamu cuma bisa mikirin diri kamu sendiri. Mamamu bawel lah, cowokmu selingkuh lah. Ngerasa paling menderita?
Nih, sekarang aku kasih paham gimana rasanya menderita!
Raina mengesah. Demi Tuhan! Itu alasan Tiwi menghancurkan hatinya begini? Karena dia iri pada kehidupan Raina? Ambil semuanya kalau kamu mau, Wi! balas gadis itu. Kalau aja kamu tahu rasanya jadi aku. Raina sungguh tak menyangka. Namun, karena pesan Tiwi tersebut, dia jadi banyak merenung dan berpikir ulang. Begitukah pandangan orang lain, teman-temannya, terhadapnya? Apakah hidupnya kelihatan sempurna? Rumah besar dan mewah yang tanpa kehangatan itu, apakah bisa dibilang sempurna? Raina bahkan tak pernah menyebut rumah itu hidup.
Tuhan …. Air mata gadis itu semakin tak terbendung. Apakah selama ini aku tidak bersyukur?
*
Jam di pergelangan tangan Raina menunjukkan pukul setengah lima sore. Sinar matahari mulai meredup, pendarannya menembus kaca D’Sunset Coffe dan jatuh di meja Raina. Sore ini, pantai dan kafe sama ramainya. Setelah berbulan-bulan nyaris setiap hari tidak pernah cerah, akhir-akhir ini cuaca mulai berubah. Matahari siang terik kembali, untuk nantinya menghadirkan pemandangan luar biasa indah saat tiba waktu terbenamnya.
Sore yang cerah dan segelas caramel machiato tentu perpaduan yang sangat pas, andai saja suasana hati Raina sedang lebih baik. Namun, bahkan minuman favoritnya itu terasa pahit. Sofi saja langsung bisa menebak Raina sedang ada masalah berat saat menemuinya. Gadis berambut ombak itu minta maaf berkali-kali karena tidak bisa leluasa menemani Raina.
“Nggak apa-apa, Sof, aku emang mau ke sini karena sepi aja di rumah. Kamu nggak usah terbebani,” ujar Raina tak enak.
Gadis itu mengedarkan pandang ke area lesehan yang sudah tentu didominasi oleh muda-mudi. Di kafe ini, sepertinya cuma dia satu-satunya pengunjung yang datang sendiri. Pengunjung lainnya berpasangan dan bergerombol. Matanya yang sembap menangkap sekumpulan anak-anak SMA yang sama, yang waktu itu dia lihat juga—Alya dan geng kerennya. Raina merasa de javu. Kebetulan sekali!
Raina tersenyum lega karena kali ini dia mendapati Alya tidak sedang kesusahan mengerjakan tugas sendirian. Cewek bertahi lalat itu ikut makan seporsi besar kentang goreng, sambil sesekali menyeruput jus mangganya. Namun, Raina tetap saja bingung saat dia lebih dalam mengamati wajah Alya. Alya seperti tidak senang berada di antara anak-anak kece itu. Wajahnya tertekan. Senyumnya dipaksakan.
Aha! Raina punya ide. Dia mengambil ponsel dari sling bag-nya, dan mengirim pesan pada Alya. Waktu itu, dia memang sempat bertukar nomor WA. Raina butuh koneksi ke SMA-nya untuk acara reuni yang desas-desusnya akan diselenggarakan bertepatan dengan momen Idulfitri tahun ini. Ajaibnya, Raina terpilih jadi panitia.
Alya, lagi di D'Sunset Coffe ya?
Kebetulan sekali, gadis itu sedang online. Pesan Raina langsung centang biru.
*Iya, Mb, kok tahu?
Iya, aku di meja seberangmu
Alya celingukan. Wajahnya lebih semringah saat matanya beradu dengan mata Raina.
*Mb Raina sendirian? Aku temenin ya, Mb?
Iya nih sendiri.
Lho, teman2mu?
*Mereka udah pada mau pulang. Aku masih males pulang, hehe
Oh, ok deh!
Beberapa menit setelahnya, Alya sudah duduk di hadapan Raina bersamaan dengan bubarnya teman-teman gadis itu. Untuk beberapa saat, baik Raina dan Alya sama-sama canggung. Bingung harus ngobrol apa. Namun, ini lebih baik bagi Raina. Dia jadi bisa mengalihkan pikiran dari Bagas dan Tiwi dengan adanya Alya yang menemani. Raina sebenarnya agak kaget juga waktu Alya menawarkan diri untuk bergabung dengannya. Tapi tak apa, mungkin Alya memang tipe yang mudah bergaul dengan orang baru.
"Kamu kok nggak pulang bareng mereka, Al?" Raina memecahkan keheningan. Kalau lawannya anak SMA, mungkin memang dia yang seharusnya memulai obrolan.
Alya mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. "Nggak, Mbak. Nggak ada yang bisa boncengin aku," jawabnya dengan wajah tertekuk.
"Lah, tadi kamu ke sini sama siapa?" Raina makin penasaran. Dia sudah menebak ada yang tidak beres antara Alya dan teman-temannya.
"Ya sama temenku itu, Mbak. Andre. Sekarang, dianya harus jemput mamanya katanya. Jadi nggak bisa boncengin lagi, deh."
Mulut Raina mengerucut membentuk huruf O tanpa suara. "Mereka emang teman-teman dekat kamu, ya? Atau temen satu kelompok tugas aja, sih? Soalnya, sory ya, Al, pas aku lihat waktu itu, kamu yang sibuk ngerjain tugas sendiri, sementara mereka malah tiktokan. Gedeg kan, aku ngelihatnya," ujar Raina blak-blakan. Dia sengaja ingin melihat ekspresi Alya.
Gadis bertahi lalat itu mengernyit. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Dia lalu mendongak, seperti yang akan dilakukan setiap orang untuk menahan agar air matanya tidak jatuh. Namun, sayang. Usaha Alya gagal. Meski sudah mengalihkan sesak di dada dengan minum jus mangga, rasa itu tak kunjung hilang.
Dia masih kebingungan memenuhi syarat yang setiap hari ditagih oleh Andre, bahkan disertai ancaman tipis-tipis. Sementara, Alya belum berani melakukannya dan hari terus berjalan. Ulangan mid semester kurang dua mingguan lagi. Setiap kali bertemu pandang dengan sang ayah, Alya selalu memalingkan muka. Rasa bersalah dan takut bercampur di dadanya.
"Loh, Al, kok nangis? Aduh, maaf kalau kata-kataku nggak enak. Aku sama sekali nggak bermaksud apa-apa." Raina panik sendiri.
Namun, Alya menggeleng. Dia mengambil tisu dari kotak kayu estetik bertuliskan D'Sunset Coffe, lalu menyusut buliran air matanya. "Nggak, Mbak, Mbak Raina nggak salah, malah betul. Memang aku kerja sendiri, ngerjain PR mereka semua." Dia terisak lagi. "Aku ngerasa bodoh banget, Mbak. Dimanfaatin. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin mereka. Padahal ..."
"Padahal apa, Al?" Raina tidak sabaran. "Kamu bisa curhat sama aku. Aku janji nggak akan bilang siapa-siapa. Kamu bisa percaya aku."
Alya menatap wajah Raina yang super serius. Biasanya, kalau ada masalah begini dia selalu curhat dengan Abram. Namun, sekarang tak bisa lagi. Sementara, sesak di hati Alya kian mendesak, tidak bisa ditahan lagi. Dia butuh bicara pada orang lain yang bukan temannya. Bagaimana mungkin dia bisa bilang bahwa dia akan mencuri soal ulangan mid semester pada temannya? Itu sama saja tindakan bunuh diri. Maka, tanpa banyak berpikir panjang, mengalirlah cerita dari mulut Alya.
*
Setelah acara pesta ulang tahun Sandra yang fenomenal itu, Alya tidak bicara lagi dengan Andre dan gengnya. Dia benar-benar marah atas perlakuan mereka. Dia menganggap hubungannya dengan mereka sudah selesai. Namun, sepanjang waktu itu pula, Andre terus mencoba mendekatinya. Chat setiap hari. Duduk di sebelah Alya saat jam kosong atau istirahat, bahkan duduk semeja dengannya di kantin. Intinya, Andre minta maaf atas perlakuannya di pesta kemarin.
Semula Alya tidak menggubris. Dia benar-benar sakit hati. Namun, saat suatu pagi Sandra yang populer seantero sekolah menemuinya diam-diam di perpustakaan dan mengancamnya—bahwa dia bisa memanipulasi nilai-nilai Alya agar tidak bisa masuk PTN favorit—keadaan berubah. Alya sangat menyesali keputusannya waktu itu. Dia tidak menyangka, urusan dengan Andre dan Sandra bisa berbahaya bagi masa depannya begini.
Akhirnya, mau tak mau, Alya bergabung lagi dengan Andre dan gengnya, kembali memenuhi semua perintah mereka. Memang, dengan begitu—apalagi setelah semua siswa tahu Alya termasuk tamu di pesta ulang tahun Sandra—tak ada lagi teman yang memandang dia sebelah mata. Semua menaruh respek. Tidak ada lagi yang memanggilnya dengan julukan si tahi lalat. Alya, sudah resmi masuk dalam geng anak-anak populer sekarang.
Namun, nuraninya tidak bisa bohong. Dia ketakutan setengah mati. Alya sudah berkali-kali mencoba, masuk diam-diam ke kamar kerja Ayah, melihat laptop ayahnya tergeletak begitu saja. Akan tetapi, tubuhnya gemetar. Dia tidak bisa melakukan itu semudah yang dibayangkan, apalagi jika mengingat resikonya. Ketahuan, berarti tamat sudah riwayatnya. Tapi, kalau tak dilakukan, dia juga tidak bisa meremehkan ancaman Sandra. Bagaimanapun, Sandra putri pejabat berkuasa. Alya tidak berpikir ancaman itu hanya pepesan kosong.
"Aduin aja mereka, Al!" Raina berseru berang setelah Alya menyelesaikan ceritanya. "Jangan mau dimanfaatin kayak gini!"
Alya bergeming. Dia tahu itu. Tapi, masalahnya, semua sudah telanjur. Dia masih harus bersama Andre dan gengnya selama satu tahun. Jika dia macam-macam, bisakah dia menghadapi apa yang akan terjadi?[]