Melangkah masuk ke dalam Rumah dengan langkah dibuat pasti walau masih ada sisa keraguan di sana. "Mireya," sapa Lelaki yang duduk di sofa panjang samping Cyntia.
Langkah Mireya pun terhenti. "Iya, Kak." Dengan wajah datar.
"Mumpung kamu di sini, tolong ambilkan kue yang sudah aku siapkan dong di meja Dapur!" perintah Cyntia yang benar-benar tidak peduli pada Mireya yang seharian menghilang. Bukankah hal pertama yang harus Cyntia katakan adalah dari mana saja kamu? Akhirnya kamu pulang aku khawatir, kamu baik-baik saja?
Namun, tentu Mireya tidak mengharapkan bahwa Cyntia akan sepeduli itu. Dengan koper yang ditariknya, Mireya pergi ke Dapur. Setelah apa yang terjadi, setelah mendengar banyak nasihat, Mireya tetap Mireya yang menerima permintaan tolong yang kerap kali seperti memerintah itu!
Mengambil piring yang di atasnya terdapat pie buah, meletakkan di atas meja. "Sudah gak ada lagi, kan? Aku mau ke Kamar."
"Silakan." Seraya tersenyum. Senyum yang sekali pun tidak pernah tulus.
Mireya bawa koper ke dalam Kamar-nya. Setelah menaruh koper di dekat nakas, Mireya merebahkan tubuh di atas kasur. Tubuhnya terasa lelah padahal Mireya tidak melakukan sesuatu yang menguras energi. Tiba-tiba merasa ingin minum, Mireya pun bergegas ke bawah, namun langkahnya terhenti saat melihat Papa-nya keluar dari dalam Kamar-nya yang ada di ujung sana.
Langkah yang sempat terhenti. Mireya mencoba melanjutkan sampai ia berhenti di hadapan pria paruh baya dengan wajah datar itu.
"Papa gak penasaran aku pergi ke mana?" tanya Mireya akhirnya.
"Papa sudah tahu kamu di Rumah Nenek kamu dari Mama kekasih kamu itu yang bernama Leo."
Mireya tidak tahu bahwa Mama Leo sempat menghubungi Papa-nya. "Sekali pun Papa tahu, kenapa Papa gak datang jemput aku?"
"Untuk apa? Bukankah sudah ada orang yang lain yang menjemput kamu?"
Mireya sudah tahu bahwa berbicara dengan Papa-nya hanya akan membuatnya kecewa, tapi Mireya masih mencoba melakukannya. "Papa tahu alasan aku memilih pergi ke Rumah Nenek dari pada tempat lain?"
"Lain kali jangan merepotkan orang lain! Keluarga Leo bukan keluarga sembarangan, jadi jangan membuat mereka sampai membuang-buang waktu hanya untuk hal gak penting!"
Bagaimana bisa seorang Ayah mengatakan itu pada anak kandungnya?! Di luar sana apa ada Ayah yang seperti Ayah-nya Mireya? Bukankah menyedihkan memiliki Ayah yang seperti itu?
"Buang-buang waktu untuk hal gak penting?" Mireya tersenyum, miris. Ternyata selain membencinya, Papa-nya tidak menginginkan Mireya ada dalam hidupnya.
"Berhenti untuk menjadi anak yang menyusahkan!"
"Menyusahkan? Apa alasan Mama pergi karena aku menyusahkan?!"
"Ada apa sih ini berisik-berisik," kata Ibu tiri-nya yang keluar dari dalam Kamar. Berdiri di samping suami-nya itu.
Mireya menoleh ke arah lain sejenak, lalu menatap kedua orang itu. Dada-nya terasa semakin tidak nyaman.
"Papa sudah boleh jujur sekarang! Alasan apa gak peduli sama aku, karena Papa benci aku, kan?!" Nada bicara Mireya mulai tidak santai. Emosinya semakin naik.
"Tentu saja Papa kamu akan membenci kamu. Bagaimana bisa seorang Ayah tetap menyayangi putri-nya saat tahu putri-nya yang menyebabkan wanita yang ia cinta pergi secepat itu?" ucap Ibu tiri-nya dengan wajah seperti puas mengatakan hal itu pada Mireya.
"Mama memang orang yang Papa cinta, tapi bukankah aku juga orang yang Papa cinta?"
Papa-nya hanya diam dan itu membuat Mireya mulai membenci Papa-nya. "Apa kamu tahu ceritanya soal kepergian Mama kamu? Ibu bisa ceritakan."
"Aku ingin tahu."
"Apa kamu ingat pernah merengek minta dibelikan handphone edisi terbaru? Mama kamu lupa memberikannya saat ulang tahu kamu karena sibuk dengan pamerannya. Seharian itu kamu diam dan gak mau makan sampai kebesokkan harinya, Mama kamu pergi membeli handphone yang kamu minta, gak peduli sekali pun cuaca buruk. Mama kamu hanya gak ingin lebih mengecewakan putri satu-satunya, dan kamu tahu apa yang terjadi?"
Ingatan Mireya mundur ke belakang. Di bawah derasnya hujan yang diserta angin kencang dan petir pagi itu, Mireya harus mendengar kabar pahit soal kecelakaan yang melibatkan Mama-nya. Mireya yang mengetahui cerita itu pun, tubuhnya jatuh ke lantai. Pikiran Mireya kacau beriringan dengan air mata yang turun membasahi pipi. Merasa... ia tak layak memaafkan dirinya sendiri.
Pada kenyataannya Mireya benar-benar penyebab Mama-nya pergi untuk selamanya. Kalau saja aku seharian gak diam dan mau makan, Mama pasti gak akan buru-buru membelikan aku handphone baru sampai gak peduli cuaca buruk...
Mireya merasa betapa egoisnya ia pada saat itu. Seorang anak yang berada di sekolah menengah pertama yang tidak mencoba mengerti Mama-nya. "Ini semua salah aku!" ucap Mireya sembari menatap Papa-nya yang melangkah pergi dari sana.
"Jangan jadi anak yang egois, Mireya! Karena keegoisan kamu hanya akan membuat orang di sekitar kamu terluka," ucap Ibu tiri-nya yang sudah seperti orang benar. Melangkah pergi dari sana juga.
Mireya merasa bahwa ia pantas disalahkan. Bahwa apa yang terjadi pada Mama-nya jelas salah Mireya. Bahkan Mireya pikir Papa-nya pantas membencinya. Rasa benci dengan alasan yang jelas dan dapat Mireya terima.
"Maafin Mireya, Ma," katanya dengan suara hampir tak terdengar, matanya sembab oleh air mata.
Di sisi lain, Leo yang berada di Balkon Kamar, berdiri memandangi langit malam yang mendung, mengkhawatirkan Mireya. Berharap bahwa Mireya baik-baik saja dan dapat melaluinya. Leo ingin tahu apa yang sedang Mireya lakukan sekarang.
Tok tok tok
Leo melangkah masuk ke dalam beriringan dengan pintu yang terbuka, menampakkan Mama-nya yang tersenyum penuh kasih pada putra-nya itu. "Ada apa nih, anak Mama kok wajahnya kusut gitu."
"Aku khawatir sama Mireya, Ma."
Mama-nya mengajak Leo duduk di tepi ranjang. "Mama yakin Mireya bisa mengatasinya karena dia anak yang kuat."
"Aku takut lukanya semakin dalam, padahal sudah sangat dalam."
"Seperti inilah hidup, sayang. Terkadang kamu harus terluka sedalam itu untuk lebih menghargai hidup."
"Tapi, aku gak harus terluka untuk mengerti. Justru aku mengerti berkat cinta yang Mama dan Papa berikan."
"Gak semua orang seperti kamu. Kadang yang dibesarkan oleh cinta itu bisa gak menghargai hidup. Bisa jadi manusia yang paling egois."
"Aku cuma ingin jadi manusia yang berguna untuk orang yang benar-benar membutuhkan bantuan aku." Lalu, Leo tersenyum manis. Anak laki-laki dingin yang hanya menunjukkan sisi manisnya hanya pada orang yang ia cinta.
.
.
Setelah melakukan pemikiran panjang Leo pun pada keputusan menemui Mireya yang ditelepon tapi tidak diangkat. Ketika Leo sedang mengendarai mobil sedan putih Mama-nya itu sedikit lagi sampai di kediaman Mireya, di bawah derasnya hujan Leo seperti melihat Mireya melalui seorang perempuan yang berjalan lamban di bawah hujan yang membasahi tubuhnya.